Hidayatullah.com — Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Miftahul Huda menegaskan bahwa MUI telah mengeluarkan fatwa tentang larangan mengubah kelamin. Hal itu dipaparkan dalam Fatwa Nomer 3 pada Munas MUI ketujuh Tahun 2010 Tentang Perubahan dan Penyempurnaan Alat Kelamin.
Dalam fatwa MUI itu disebutkan bahwa mengubah alat kelamin dari laki-laki ke perempuan maupun sebaliknya hukumnya haram, karena termasuk mengubah ciptaan Allah SWT.
“Pada dasarnya Allah itu telah menciptakan manusia dengan bentuk secara fisik yang sempurna. Baik fisik sebagai jenis kelamin laki-laki atau kelamin perempuan,” kata Miftahul Huda kepada MUIDigital, Senin (7/2/2022).
Miftahul Huda menjelaskan, Allah telah menciptakan manusia dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan meskipun di antara itu terdapat yang tidak sempurna jenis kelaminnya. Dalam kajian fiqih, ungkap Miftahul, hal itu dinamakan khunsa, yaitu orang yang mempunyai alat kelamin ganda.
Dalam kajian fiqih khunsa ini terbagi menjadi dua yaitu khuntsa musykil dan khuntsa ghairu musykil.
“Dua-duanya memiliki alat kelamin ganda tetapi yang (khuntsa) ghairu musykil itu kecenderungan kearah salah satu jenis kelamin lebih kuat. Misalnya, air kencingnya keluar dari penis atau sebaliknya keluar dari vagina,” tuturnya.
Sementara khuntsa musykil, kata dia, hal ini sangat sulit untuk diketahui apakah dia ini laki-laki atau perempuan. Miftahul Huda mengungkapkan, khuntsa musykil biasanya bisa baru diketahui setelah dewasa atau baligh dengan muncul tanda secara fisik.
Untuk itu, Miftahul menyampaikan bahwa untuk penyempurnaan alat kelamin bagi yang mempunyai alat kelamin ganda atau khuntsa hukumnya diperbolehkan.
“Ingat ya untuk menyempurnakan, bukan mengganti alat kelamin. Misalnya dia punya alat kelamin ganda, tapi dia kecenderungannya secara fisik lebih ke laki-laki, disempurnakan menjadi laki-laki atau sebaliknya itu diperbolehkan,” kata dia.
Sementara untuk penggantian alat kelamin baik dengan operasi maupun penyuntikan hormon, kiai Miftahul Huda menegaskan, hal itu tidak boleh dilakukan dan hukumnya haram karena mengubah ciptaan Allah SWT.
Kiai Miftahul Huda menerangkan bahwa banyak hukum fiqih terkait dengan khuntsa mulai dari menutup aurat, shaf sholatnya dimana atau menjadi imam atau tidak bagi laki-laki atau perempuan.
“Bagaimana memandikannya, mengkafaninya, mensholatinya, maka dikembalikan kepada status awal ketika dilahirkan. Itu kalau yang transgender yang mengubah alat kelaminya. Maka dikembalikan kepada asal penciptaanya, yaitu apakah dia laki-laki atau perempuan,” ungkapnya.
Miftahul mengingatkan bahwa dalam syariat agama Islam sangat melarang bagi umatnya untuk berperilaku menyalahi kodratnya. Contoh, misalnya yang berjenis kelamin laki-laki tetapi berperilaku seperti perempuan maupun sebaliknya, hal itu sangat dilarang agama.
“Dan sifat seperti itu adalah menyebabkan bisa jadi penyakit mental yang harus dijauhi dan bisa mendorong seseorang melakukan hal-hal yang dilarang Allah SWT seperti homoseksual baik itu lesbi maupun gay,” ujar dia
Perdebatan mengenai transgender menjadi ramai beberap waktu lalu setelah artis Dorce Gamalama menyampaikan wasiat untuk dimakamkan sebagai wanita. Dorce Gamalama lahir dengan jenis kelamin laki-laki dan bernama asli Dedi Yuliardi Ashadi.
Sekitar 1983 Dorce Gamalama melakukan operasi menjadi transgender di Surabaya.
Menanggap wasiat tersebut, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis telah menegaskan bahwa transgender yang meninggal dunia harus diurus berdasarkan jenis kelamin awal saat dilahirkan. Semisal, laki-laki yang pindah menjadi seorang perempuan jenazahnya diurus secara laki-laki. Begitu pula sebaliknya.
“Jenazah transgender itu diurus sebagaimana jenis kelamin awal dan asalnya ya,” ungkap Cholil.*
Baca artikel lain tentang fatwa MUI di sini