Ibnu Taimiyyah dalam Al Fatawa Al Kubra, mengatakan pendapat dalam masalah talqin mayit ini ada tiga yakni sunnah, makruh dan mubah. Dan ia (mubah) merupakan pendapat yang paling adil
Hidayatullah.com | TALQIN MAYIT setelah dimakamkan dihukumi berbeda-beda oleh para ulama. Nah, bagaimana pendapat para ulama dalam masalah ini?
Madzhab Hanafi
Abu Bakr Az Zabidi (800 H) salah satu ulama Madzhab Hanafi menyatakan,”Adapun talqin mayit di dalam kubur, maka perkara itu disyari`atkan bagi kalangan Ahlus Sunnah, karena Allah Ta`ala menghidupkannya (mayit) di dalam kubur.” (dalam Jauharah An Nayirah, 1/102). Hal yang sama disampaikan Asy Syurunbulali dalam hasyiyahnya terhadap Durar Al Hikam. (1/160)
Madzhab Maliki
Imam Abu Hamid berkata,”Mustahab talqin mayit setelah dimakamkan.” Ibnu Al Arabi dalam Al Masalik berkata, ”Tatkala mayit dimasukkan tiang lahatnya, maka sesungguhnya disunnahkan mentalqinkannya di saat itu.” (dalam At Taj wa Al Iklil, 3/52).
Madzhab Syafi`i
Imam An Nawawi berkata, ”Telah berkata sekumpulan dari para sahabat kami (dalam madzhab) disunnahkan talqin mayit setelah ia dimakamkan.” ( dalam Majmu` Syarh Al Muhadzdzab, 5/303).
Madzhab Hanbali
Imam Ahmad ketika ditanya mengenai talqin mayit berkata, ”Aku tidak melihat seorang pun melakukannya kecuali penduduk Syam.” Syeikh Taqiyuddin menyatakan, ”Mentalqinkannya (mayit) setelah dimakamkan mubah menurut Ahmad.” Al Mardawi berkata, ”Disunnahkan mentalqin mayit setelah dimakamkannya bagi mayoritas ulama madzhab.” (dalam Al Inshaf, 2/548).
Ibnu Taimiyah menyatakan, “Adapun sebagian dari para imam merukhshahkannya (talqin mayit) seperti Imam Ahmad.” (dalam Al Fatawa Al Kubra, 3/25).
Pihak yang Membid`ahkan
Namun di samping para ulama dari kalangan madzhab empat yang menyatakan sunnah atau mubah amalan talqin, ada pula yang membid’ahkannya. Ibnu Taimiyah berkata, ”Dan sebagian ulama ada yang memakruhkannya, karena kayakinan bahwa perkata itu merupakan bid`ah. Maka pendapat dalam masalah ini ada tiga: sunnah, makruh dan mubah. Dan ia (mubah) merupakan pendapat yang paling adil.” ( dalam Al Fatawa Al Kubra, 3/25).
Salafus Shalih
Di samping para ulama dari empat madzhab menyatakan bahwasannya talqin mayit merupakan perkara yang dibolehkan oleh para ulama. Para salaf shalih telah mengamalkan hal itu.
Ibnu Ar Rif’ah menyatakan, ”Dan penduduk Syam masih terus melakukan hal ini (talqin mayit) sejak generasi pertama, dan di setiap masa ada yang mengikutinya.” (dalam Kifayah An Nabih, 5/148).
Al Hafidz Ibnu Al Arabi berkata, ”Dan ia (talqin mayit) merupakan amalan penduduk Madinah, orang-orang shalih serta orang-orang baik.” (dalam Al Masalik fi Syarh Muwatha` Malik, 3/521).
Ibnu Taimiyah Menyatakan, ”Dan dari sahabat yang telah melaksanakannya (talqin) seperti Abu Umamah Al Bahili, dan Watsilah bin Al Asqa` serta selain dari keduanya dari kalangan para sahabat.” (dalam Al Fatawa Al Kubra, 3/25).
Dalil-dalil Talqin Mayit
Dalil dari Al Qur`an
Al Hafidz Ibnu Al Arabi berhujjah mengenai kesunnahan talqin dengan firman Allah Ta’ala:
(وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ) (الذاريات: 55)
Artinya: “Dan berilah peringatan, sesungguhnya peringatan bermanfaat bagi orang-orang mukmin.” (Adz Dzariyat: 55).
Ibnu Al Arabi berkata, ”Dan keadaan yang paling dibutuhkan oleh seorang hamba untuk memperoleh peringatan adalah ketika kondisi berubah, keluarnya ruh serta ketika ditanya para malaikat.” (dalam Al Masalik fi Syarh Muwatha` Malik, 3/520).
Dalil As Sunnah
عنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْأَوْدِيِّ، قَالَ: شَهِدْتُ أَبَا أُمَامَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهُوَ فِي النَّزْعِ، قَالَ: إِذَا أَنَا مُتُّ فَاصْنَعُوا بِي كَمَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَصْنَعَ بِمَوْتَانَا، أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ فَسَوَّيْتُمُ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: يَا فُلَانُ ابْنَ فُلَانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلَا يُجِيبُ، ثُمَّ يَقُولُ يَا فُلَانُ ابْنَ فُلَانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْتَوِي قَاعِدًا، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلَانُ ابْنَ فُلَانَةَ، فَإِنَّهُ يَقُولُ: أَرْشِدْ رَحِمَكَ اللَّهُ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ، فَلْيَقُلِ: اذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّكَ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيرًا يَأْخُذُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ وَيَقُولُ: انْطَلِقْ مَا نَقْعُدُ عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتَهُ، فَيَكُونُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ حَجِيجَهُ دُونَهُمَا، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمَّهُ قَالَ: «يَنْسُبُهُ إِلَى حَوَّاءَ عَلَيْهَا السَّلَامُ، يَا فُلَانُ ابْنَ حَوَّاءَ» (أخرجه الطبراني في الدعاء: 1214, ص364, والمعجم الكبير: 7979, 8/249)
Artinya: Dari Sa`in bin Abdillah Al Audi ia berkata,”Aku menyaksikan Abu Umamah -radhiyallahu `anhu- sedangkan ia dalam keadaan naza`. Ia berkata,’Jika aku telah wafat maka kalian lakukanlah sebagaimana yang telah diperintahkan kepada kita oleh Rasulullah ﷺ terhadap orang-orang yang tekah wafat di antara kita. Rasulullah ﷺ telah memerintahkan kita, beliau pun bersabda, ’Jika telah wafat salah satu dari saudara-saudara kalian, maka kalian ratakan tanah di atas kuburnya, maka hendaklah salah satu dari kalian berdiri di sisi kepala dari kuburnya, lantas hendaklah ia berkata, ’Wahai fulan bin fulanah.’ Maka sesungguhnya ia berkata, ’Berilah bimbingan -semoga Allah merahmatimu-,’ Akan tetapi kalian tidak merasakannya. Lantas hendaklah ia berkata, ’Sebutlah apa yang engkau meninggal dunia di atasnya, yakni syahadat bahwa tidak ada ilah kecuali Allah, dan Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Dan engkau telah ridha dengan Allah sebagai Rabb dan Islam sebagai dien dan Muhammad sebagai nabi, serta Al Qur`an sebagai imam.’ Sesungguhnya Munkar dan Nakir menggandengkan salah satu tangan di antara keduanya dan berkata, ’Pergilah kita tidak duduk pada orang yang sudah ditalqinkan hujjahnya, maka Allah yang menjawah hujjahnya bukan keduanya.’ Maka berkatalah seorang laki-laki, ’Wahai Rasulullah, jika tidak diketahui ibunya?’ Maka Rasulullahﷺ bersabda, ’Dinisbatkan kepada Hawa `alaiha as salam, ‘Wahai fulan bin Hawa`.’” (Riwayat Ath Thabarani di Ad Du`a: 1204, hal. 364, juga Al Mu’jam Al Kabir: 7979, 8/249).
Pendapat Para Ulama tentang Hadits Abu Umamah
Al Hafidz Ibnu Al Mulaqqin berkata mengenai hadits ini, ”Isnadnya tidak mengapa, dan Al Hafidz Abu Manshur memasukkannya dalam Al Jami` Ad Du`a` Ash Shahihah.” (dalam Al Badr Al Munir, 5/334).
Al Hafidz Ibnu Hajar juga menyatakan, ”Isnadnya shalih dan telah dikuatkan oleh Al Hafidz Dziya` Al Maqdisi dalam Al Ahkam-nya.” (dalam Talkhis Al Habir, 2/270).
Imam An Nawawi berkata, ”Hadits ini meski ia dhaif namun ia bisa diambil dan telah bersepakat para ulama muhadditsun dan lainnya untuk mentoleransi dalam hadits-hadits fadhilah-fadhilah, motivasi dan ancaman dan ia dikuatkan oleh syawahid dari beberapa hadits seperti hadits (وَاسْأَلُوا لَهُ التثبيت ) dan wasiyat Amru bin Al Ash` dan keduanya shahih.” (dalam Al Majmu` Syarh Al Muhadzdzab, 5/304).
Al Hafidz Ibnu Shalah juga berkata, ”Talqin mayit, itulah yang kami pilih dan kami amalkan. Dan kami telah meriwayatkan tentangnya (talqin) hadits Abu Umamah yang diriwayatkan oleh Abu Al Qasim Ath Thabarani tentangnya sebuah hadits yang sanadnya tidak tegak, akan tetapi ia dikuatkan dengan syawahid dan amalan penduduk Syam sejak lampau.” (dalam Al Majmu` Syarh Al Muhadzdzab, 5/304).
Ibnu Qayyim Al Jauziyah juga berkata, “Hadits ini, walau tidak tsabit (dhaif), akan tetapi terus berkesinambungan pengamalan dengannya di seluruh penjuru dan masa tanpa ada pengingkaran, cukup untuk dijadikan dasar amalan.” (dalam Ar Ruh, 14).
Walhasil, para ulama ada yang menghukumi hadits di atas masuk dalam hadits shahih atau hasan, namun ada pula yang menyatakan bahwa hadits itu dhaif, namun meski demikian tetap bisa diamalkan, karena ada beberpa faktor penguat. Salah satunya adalah pengamalan terhadap hadits itu secara berkesinambungan.
Al Hafidz As Sakhawi mengatakan, “Dan demikian pula jika umat menerima hadits dhaif, maka ia bisa diamalkan menurut pendapat shahih.” (dalam Fath Al Mughits bi Syarh Alfiyah Al Hadits, 120-121).
Hal yang sama disebutkan Hafidz As Suyuthi, ”Sebagian dari mereka (huffadz) mengatakan, ‘Hadits dihukumi shahih, jika manusia menerimanya, walau isnadnya tidak shahih.” (dalam At Tadrib Ar Rawi, 24).
Dalil Amalan Penduduk Madinah
Bagi Madzhab Maliki, amalan penduduk Madinah merupakan hujjah, sehingga sebagian dari mereka, seperi Al Hafidz Ibnu Al Arabi dalam Syarh Muwatha` menyatakan bahwasannya talqin mayid hukumnya mustahab, karena ia merupakan amalan penduduk Madinah. (dalam Al Masalik fi Syarh Muwatha` Malik, 3/521).
Bid’ah Dhalalah?
Para ulama telah menjelaskan bahwasannya amalan talqin mayit telah dilakukan oleh beberapa sahabat, lebih-lebih hal itu dilakukan berdasarkan dalil. Dengan demikian ia bukan bagian dari bid`ah dhalalah.
Sa`duddin At Taftazani seorang muhaqiq dalam Madzhab Hanafi menyatakan, ”Bahwasannya bid’ah yang tercela yakni hal baru dalam dien yang terjadi tidak di masa sahabat dan tabi`in dan tidak menunjukkannya dalil syar`i terhadapnya.” (dalam Syarh Al Maqasid, 2/71).*