Hidayatullah.com—Hilangnya frasa madrasah dalam draf RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menarik perhatian banyak pihak. Salah satunya adalah Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti,
Menurut Abdul Mu’ti, hilangnya frasa madrasah di RUU Sisdiknas berpotensi terjadinya dikotomi dalam sistem pendidikan nasional. “Tidak adanya madrasah dalam RUU Sisdiknas ini berpotensi menyebabkan terjadinya dikotomi sistem pendidikan nasional yang tentu saja bertentangan dengan UUD 1945 yang menginginkan adanya integrasi pendidikan dalam satu pendidikan nasional,” ujar Mu’ti dalam keterangannya di Jakarta, Senin (28/3/2022).
Abd Mu’ti khawatir penghilangan ini akan memunculkan kesenjangan mutu pendidikan di madrasah. Hilangnya kata madrasah dikhawatirkan Mu’ti menjadi alasan pemerintah untuk tidak mengalokasikan anggaran untuk madrasah.
Mu’ti juga mengaku khawatir dikotomi pendidikan tersebut jika tidak dikelola dengan baik, maka berpotensi menimbulkan masalah disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, penting untuk memasukkan madrasah ke dalam RUU Sisdiknas 2022 seperti yang sudah tercantum dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sementara itu, Ketua Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara, Arifin Junaidi, meminta pemerintah untuk kembali memasukkan madrasah dalam RUU Sisdiknas. Hilangnya kata madrasah, lanjut Arifin, merupakan kemunduran setelah sekolah dan madrasah diintegrasikan dan tidak dikotomi dalam UU 20/2003.
“Madrasah harus tetap diatur dalam UU, bukan pada aturan turunan. Tujuannya agar madrasah dapat didukung baik dari sisi kebijakan maupun anggaran,” kata Arifin dikutip laman Antara News.
Sementara itu, Kepala Badan Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, Anindito Aditomo, mengatakan kata madrasah memang tidak tercantum dalam draf RUU Sisdiknas. Akan tetapi dicantumkan pada bagian bawah atau penjelasan.
“Dalam revisi RUU Sisdiknas, semua nomenklatur bentuk satuan pendidikan seperti sekolah dan madrasah akan muncul dalam penjelasan. Hal ini dilakukan agar penamaan bentuk satuan pendidikan tidak diikat pada tingkat UU, agar lebih fleksibel dan dinamis,” kata Anindito.*