Hidayatullah.com—Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia kembali menyuarakan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Hal itu sehubungan dengan rencana disahkannya RUU TPKS pada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat mendatang.
AILA dalam pernyataannya yang diterima oleh Hidayatullah.com, Senin (11/4/2022), mengungkap pandangannya tentang RUU TPKS yang berbahaya.
“Apabila RUU TPKS disahkan menjadi undang-undang, maka hal tersebut akan sangat berbahaya. Karena, masyarakat Indonesia diarahkan untuk menerima paradigma sexual consent yang secara implisit ada dalam RUU ini, yang justru bertentangan dengan UUD 1945,” ungkap AILA.
AILA mengkritik paradigma sexual consent yang digunakan dalam RUU TPKS. Lembaga tersebut menyebut sexual consent merupakan konsepsi yang bias dan ambigu, serta mengabaikan nilai-nilai agama dan sosial.
“Sexual consent menganggap hubungan seksual yang amoral sekalipun, sepanjang dilakukan dengan persetujuan, merupakan domain pribadi sehingga negara tidak boleh intervensi mengatur hubungan seksual semacam itu. Paradigma tersebut sangat kontradiktif dengan Pancasila sebagai landasan ideologi Bangsa dan UUD 1945 sebagai dasar hukum tertinggi negara,” ungkap AILA.
AILA juga menyoroti sejumlah frasa bermasalah yang mengindikasikan relativisme moral, yang ditemukan dalam draft RUU TPKS. Di antaranya seperti frasa “keinginan seksual” dan frasa “berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya”.
AILA mengungkap begitu pula jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual pada Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) RUU TPKS, juga mengandung paradigma sexual consent, dan menggunakan istilah serta substansi yang rancu, antara lain: i) pemaksaan kontrasepsi; ii) pemaksaan sterilisasi; iii) perbudakan seksual; iv). perbuatan yang melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban; v) kekerasan seksual berbasis elektronik, vi) pemaksaan pelacuran.
Dalam pernyataan ditandatangani oleh ketuanya, Rita H. Soebagio, M.Si, AILA menyebut implikasi atas ketentuan-ketentuan demikian, bukan hanya menimbulkan multi-interpretasi, tetapi juga memicu ketidakpastian dan ketidakadilan.
“Sebab, pada akhirnya, aktivitas seksual yang dapat dipidana menurut RUU TPKS, hanya yang berbasis paksaan, kekerasan dan/atau bertentangan dengan kehendak seseorang.”
Padahal, menurut AILA, realitas empiris menunjukkan, Indonesia bukan saja menghadapi darurat kekerasan tapi ‘darurat kebebasan seksual dan penyimpangan seksual’ yang dampaknya sangat mengkhawatirkan.
Bahkan sebaliknya, ungkap AILA, muatan pasal 11 huruf (c) dinilai sangat ambigu dan berpotensi disalahgunakan untuk mengafirmasi serta melindungi perilaku seks bebas dan penyimpangan seksual. Apalagi di Indonesia belum ada aturan/ perundangan yang komprehensif dalam melarang seks bebas dan penyimpanan seksual.
AILA juga mengecam RUU TPKS yang menegaskan fenomena perilaku seksual yang juga berbahaya seperti LGBT, seks anal hingga perzinahan yang menurut pandangan agama-agama di Indonesia. Hal-hal tersebut dinyatakan sebagai ‘kejahatan yang mengandung dosa’ atau ‘sexual evil’, dengan alasan telah dan akan diatur dengan undang-undang lain.
“Akan tetapi, pada saat yang sama mengafirmasi tindak pidana lain yang diatur dalam suatu undang-undang, seperti kekerasan dalam lingkup rumah tangga berdasarkan UU No.23 Tahun 2004. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sesungguhnya mendapat amanah dari Mahkamah Konstitusi (MK) atas Putusan Uji Materiil perkara No 46/PUU-XIV/2016 KUHP Pasal 284, 285, dan 292 untuk melahirkan UU yang dapat mengatur tindak pidana kesusilaan secara komprehensif. Oleh karena itu, sudah sepatutnya RUU TPKS mengatur kekosongan hukum tersebut,” ujar AILA.
RUU TPKS, menurut AILA, telah menghapus norma agama/norma iman dan takwa serta akhlak mulia yang diusulkan sejumlah fraksi di DPR berdasarkan masukan dari berbagai tokoh dan kelompok masyarakat sebagai salah satu asas dalam RUU. “Andaipun, di dalam RUU, nilai ketuhanan diakomodir pada bagian konsideran huruf b, rumusannya tidak lazim sebagaimana sila pertama Pancasila, ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, maka wajar jika dipertanyakan.”
Oleh karena itu, AILA menilai RUU TPKS masih mengadopsi nilai-nilai sekuler-liberal terkait isu seksualitas karena mengabaikan norma-norma agama yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
Terkait frasa ‘sensitivitas gender’ sebagai syarat bagi seorang pendamping korban pada Pasal 26 ayat (3) huruf a dalam RUU TPKS, AILA mengatakan tidak jelas batasan dan tujuannya, sehingga berpotensi menimbulkan multi-interpretasi.
“Syarat tersebut justru menunjukkan secara jelas pengaruh feminisme dalam RUU TPKS. Adanya syarat berperspektif HAM berbasis Pancasila bagi pendamping korban, seharusnya sudah cukup representatif, karena undang-undang ini tidak hanya ditujukan bagi satu jenis warga negara saja tetapi bagi semua warga negara,” ungkapnya.
Terakhir AILA mengaskan RUU TPKS melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam UU No.12 tahun 2011 sebagaimana diubah dengan UU No.15 tahun 2019, yaitu, asas kejelasan tujuan, kejelasan rumusan, keadilan, ketertiban dan kepastian hukum. Dengan demikian, RUU ini juga bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
“Oleh karena itu, AILA Indonesia dengan tegas menolak disahkannya draft RUU TPKS karena dinilai tidak komprehensif dan mengandung paradigma sexual consent yang problematis,” pungkas pernyataan AILA.*