Hidayatullah.com—Tokoh Muhammadiyah Din Syamsuddin menjadi salah satu pemohon Pengujian Formil dan Materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) dalam perkara nomor 34/PUU-XX/2022. Ia bersama Azyumardi Azra dan pemohon lainnya disebut akan menghadirkan satu orang saksi pada sidang Kamis (12/5/2022) pekan ini.
Perwakilan kuasa hukum para Pemohon mengatakan dalam persidangan pihaknya masih mempertimbangkan perihal akan menghadirkan ahli atau tidak. Hal tersebut disampaikan dalam sidang yang disiarkan di kanal Youtube Mahkamah Konstitusi (MK) RI pada Senin (9/5/2022).
“Kami berencana mengajukan satu saksi Yang Mulia, dan ahli kami masih pertimbangkan,” kata perwakilan kuasa hukum para Pemohon.
Ketua Majelis Hakim Panel yang memimpin sidang Anwar Usman kemudian mempersilakan para Pemohon untuk mengajukan saksi tersebut. Anwar kemudian menunda sidang tersebut sampai Kamis (12/5/2022).
“Sidang ini ditunda hari Kamis 12 Mei 2022 untuk mendengar keterangan saksi satu orang dari perkara 34 tahun 2022,” kata Anwar.
Sebelumnya, Mantan Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, dan sejumlah pemohon menggugat Undang-Undang (UU) Ibu Kota Negara (IKN) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Tidak dipenuhinya hak untuk dipertimbangkan (right to be considered) dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained),” demikian tertulis dalam petitum permohonan uji materi itu, sebgaimana dilansir oleh Kompas.
Pengajuan gugatan itu diterima MK pada Selasa (1/3/2022) pukul 16.00 WIB.
Para pemohon menilai tidak terpenuhinya hak untuk dipertimbangkan dan hak untuk mendapatkan penjelasan dalam pembentukan UU IKN itu bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan pembentukan UU mesti menempatkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai salah satu pilar utama.
UU IKN juga dinilai tidak mengakomodasi partisipasi masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28C Ayat (2) UUD 1945.
“Apabila pembentukan undang-undang dalam proses dan mekanisme yang justru menutup atau menjauhkan keterlibatan partisipasi masyarakat untuk turut serta mendiskusikan dan memperdebatkan isinya, maka dapat dikatakan pembentukan undang-undang tersebut melanggar prinsip kedaulatan rakyat,” jelas petitum tersebut.
Para pemohon juga menilai pembentukan UU IKN tidak memenuhi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait partisipasi masyarakat secara bermakna dalam pembentukan UU.
Pada putusan itu dikatakan, partisipasi masyarakat secara bermakna adalah hak untuk didengar pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atas pendapat yang diberikan.
Para pemohon mengungkapkan, tiga hak itu telah diabaikan oleh DPR dalam proses pembentukan UU IKN.
Sebab, ada pendapat beberapa ahli yang mempersoalkan materi UU IKN. Namun, pendapat itu diabaikan.
“Sedangkan kriteria dipenuhinya hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan tidak mampu dilakukan pembentuk undang-undang,” imbuh petitum tersebut.
Selain Din dan Azyumardi, dalam permohonan itu ada pula nama Nurhayati Djamas, Didin Damanhuri, Jilal Mardhani, Mas Achmad Daniri, Massa Djafar, Abdurahman Syebubakar, Achmad Nur Hidayat, dan Moch Nadjib. Total pemohon berjumlah 19 orang.*