Hidayatullah.com—Tim Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan (Sulsel) mengeluarkan rumusan masalah terkait uang panai. Perumusan masalah tersebut menjadi bagian dari prosedur untuk penerbitan fatwa terkait uang panai.
Rapat perumusan masalah tersebut diadakan di Kantor MUI Sulsel, Jl Masjid Raya, Makassar, Rabu (22/6/22). Kegiatan ini juga disiarkan langsung melalui media sosial MUI Sulsel.
Sekretaris Umum MUI Sulsel Muammar Bakry, memandu rapat perumusan sekaligus membacakan satu per satu poin draf fatwa uang panai.
MUI Sulsel, dalam rapat ini, menguraikan pertimbangan dan latar belakang masalah berikut ini.
a. Pemberian uang panai’ telah menjadi adat di kalangan masyarakat Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja;
b. Uang Panai’ merupakan pemberian uang yang berasal dari pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai wanita sebagai rasa penghargaan dengan memberikan sejumlah untuk prosesi pesta pernikahannya. Uang panai’ pada suku Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja digunakan sebagai uang pesta pernikahan atau biasa juga disebut dengan uang belanja sebagai bentuk keseriusan pihak laki-laki menjadi calon kepala rumah tangga.
c. Uang panai‘ berbeda dengan mahar. Mahar adalah kewajiban agama yang menjadi mutlak dalam prosesi nikah. Sementara uang panai‘ adalah tuntutan adat yang mentradisi pada masyarakat bugis, makassar, mandar toraja sebagai biaya yang disediakan oleh pihak laki-laki untuk prosesi acara pesta dan nikah. Jumlahnya variatif sesuai dengan kesepakatan antara kelauarga pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan;
d. Beberapa jenis pemberian dalam pernikahan dalam tradisi Bugis-Makassar seperti uang panai‘, leko, erang-erang (seserahan), sompa atau sunrang (mahar) dan passio (pengikat);
e. Beberapa realitas yang terjadi di tengah masyarakat terkait uang panai’ antara lain:
1) Terjadinya pergeseran budaya uang panai’ yang awalnya dimaksudkan untuk memberikan penghargaan kepada keluarga mempelai wanita, menjadi ajang prestise dan pamer di tengah masyarakat;
2) Sebagian masyarakat menjadikan anak perempuan sebagai komoditas untuk mendapatkan uang panai’ yang setinggi-tingginya;
3) Menjadikan uang panai yang derajatnya sebagai pelengkap (tahsiniyat) menjadi hal yang paling utama (dharuriyat) dalam perkawinan dibandingkan dengan mahar yang hukumnya adalah wajib;
4) Menjadikan uang panai’ sebagai penentu realisasi sebuah perkawinan dibandingkan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum Islam;
5) Terjadinya berbagai bentuk kejahatan (riba, mencuri dll) untuk memenuhi uang panai’;
6) Terjadinya kasus perzinaan yang dilakukan oleh muda-mudi karena ketidaksanggupan untuk menikah karena tingginya uang panai’;
7) Terjadinya kawin lari (silariang) dan nikah siri yang dilakukan oleh kedua mempelai karena laki-laki tidak sanggup memenuhi uang panai’;
8) Banyaknya pria dan wanita lajang yang tidak menikah karena ketidaksanggupan
untuk memenuhi uang panai’.
9) Munculnya dampak psikologis yang dirasakan oleh laki-laki seperti stress dan
kecemasan karena tingginya uang panai’.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
f. Bahwa dengan hal itu, MUI Provinsi Sulawesi Selatan perlu menetapkan fatwa dan memberikan rekomendasi seputar fenomena uang panai’.
Hasil pembahasan ini nantinya akan diperbaiki dan dibawa pada tahapan selanjutnya dan kemudian dirilis sebagai produk fatwa ke publik.*