Hidayatullah.com—Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah telah menyusun sepuluh isu-isu strategi yang akan diusung dalam Muktamar. Sebagaimana diketahui, Muktamar ke 48 ‘Aisyiyah akan digelar pada November 2022 mendatang.
Nantinya sembilan isu strategis yang akan menjadi bagian dari rekomendasi ‘Aisyiyah kepada pemerintah. ‘Aisyiyah juga akan mendorong agar isu-isu strategis ini menjadi isu proritas yang harus segera ditindaklanjuti.
“Isu strategis adalah isu-isu yang harus segera direspons dan dampaknya luas,” terang Siti Noordjannah Djohantini selaku Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dalam pernyataan yang diterima redaksi hidayatullah.com, Rabu, (2/11/2022).
Kesembilan isu tersebut adalah penguatan peran strategis umat Islam dalam mencerahkan bangsa, penguatan perdamaian dan persatuan bangsa, pemilihan umum yang berkeadaban menuju demokrasi substantif, optimalisasi pemanfaatan digital untuk atasi kesenjangan dan dakwah berkemajuan.
Selain itu isu menguatkan literasi nasional, ketahanan keluarga basis kemajuan peradaban bangsa dan kemanusiaan semesta, penguatan kedaulatan pangan untuk pemerataan akses ekonomi, penguatan mitigasi bencana dan dampak perubahan iklim untuk perempuan dan anak, serta akses perlindungan bagi pekerja informal, dan penurunan angka stunting.
Menurut Noordjannah, ‘Aisyiyah juga menjadikan isu pemilihan umum yang berkeadaban menuju demokrasi substantif sebagai salah satu dari isu strategis. Pemilu 2024 merupakan pemilihan serentak, mulai dari pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan legislatif di tingkat pusat, provinsi, dan daerah, hingga pemilihan kepala daerah.
Sekretaris Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Tri Hastuti Nur Rochimah mengatakan, fenomena politik pragmatis, politik uang yang sangat memprihatinkan, oligarki politik, orientasi kekuasaan yang sangat kuat sehingga segala cara ditempuh untuk mendapatkan kekuasaan tersebut.
Tri mengaku prihatin dengan menguatnya politik identitas yang masih berlanjut pasca-pemilu sehingga mengganggu kehidupan kebangsaan yang damai dan kolaboratif.
“Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan keragaman suku, ras, agama, golongan, dan budaya memerlukan sistem pemilu dan perilaku politik yang memperkuat persatuan dan menjunjung perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,dan bernegara. Bukan sebaliknya, pemilu yang menyisakan permasalahan yang membawa perpecahan sosial, sikap masyarakat yang pragmatis dengan politik uang, saling menyerang antar pendukung di media sosial, permainan hasil suara dan lain-lain,” ujarnya.
Terkait dengan mulai ramainya wacana pencalonan menjelang Pemilu 2024, Tri berpesan, agar tidak membuat gaduh dan menimbulkan perpecahan yang dapat menjadi embrio kemunculan kembali politik identitas. Ia berharap wacana yang muncul dan diperbincangkan justru terkait dengan isu-isu maupun problem sosial ekonomi yang dihadapi bangsa ini dan harus dicarikan jalan keluar.
Tri juga menggarisbawahi tentang keterwakilan perempuan dalam kelembagaan penyelenggara pemilu di semua tingkatan. Misalnya saja, ia mengingatkan, bahwa pendaftaran Panitia Pemilihan Kecamatan dan Panitia Pemungutan Suara sudah dimulai pada pertengahan dan akhir November 2022 ini.
“Pemilu selama ini belum menunjukkan keberhasilan proses rekruitmen perempuan dalam lembaga legislatif dan eksekutif. Keterwakilan perempuan belum mencapai 30%,” ujar Sekretaris PP ‘Aisyiyah ini.
Tri melihat, ada beberapa faktor penyebab, seperti budaya patriarki yang masih mengutamakan laki-laki sebagai pemimpin khususnya di bidang politik, kaderisasi partai bagi perempuan belum optimal, daya dukung ekonomi dan lainnya.
Apalagi fenomena politik berbiaya tinggi yang masih mewarnai praktik politik di negeri ini, juga menjadi kendala tersendiri dan turut mengurangi ketertarikan perempuan di wilayah politik.
Padahal keterwakilan dan kepemimpinan perempuan sangat penting di berbagai level dan ruang publik untuk memajukan kehidupan masyarakat dan bangsa.
Perempuan dipandang memiliki tingkat kepedulian yang lebih tinggi pada persoalan yang dihadapi masyarakat. Apalagi terkait dengan isu-isu perempuan, anak, maupun kelompok marjinal.*