Hidayatullah.com—Bertempat di Bandung baru–baru ini sejumlah elemen masyarakat serta beberapa perwakilan konsorsium hadir dalam ‘Workshop Pengamatan Hilal dengan Memberdayakan Tekhnologi Multimedia”
Acara bertempat di Meeting Room Hotel Grand Royal Panghegar, Bandung,Jawa Barat ini pada Selasa, 13-14 Mei 2014 ini menghadirkan beberapa utusan.
Di antaranya Lembaga Penelitian dan Antariksa (LAPAN), perwakilan Badan Meteoreologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dari berbagai wilayah serta Ketua Asosiasi Maestro Ilmu Falak Indonesia Sugeng, M.Si, juga hadir perwakilan Hisab Ru’yat Kemenag dari berbagai daerah, juga perwakilan beberapa konsorsium.
Dalam paparannya, Ketua LAPAN Prof. Dr Thomas Djamaluddin menjelaskan bahwa persoalan hilal tidak bisa dilihat dari kaca mata teori saja, namun juga ada aspek hukum Islam dan fiqih. Karena itu astronom juga harus belajar dalil fiqih.
“Ahli astronomi juga harus belajar dalil fiqih, karena persoalan hilal bukan hanya sebatas teori science, tetapi juga berkaitan dengan ibadah bagi umat Islam. Sebaliknya para ahli fiqih semestinya harus belajar astronomi, karena permasalahan hilal bukan hanya menyangkut hal ibadah melainkan juga selalu berimplikasi pada teori astronomi.
Dalam workshop ini, diangkat secara luas dan gamblang mengenai hilal dari persfektik astronomi karena seluruh pematerinya adalah ilmuwan, seperti ketua BMKG Pusat, Ketua bidang Pemberdayaan Kominfo serta Ketua LAPAN pusat, ketua Planetarium & Observatorium Boscha, dan pihak Kemenag Pusat yang diwakilioleh Dr. Ahmad Izzuddin, M.Ag sebagai Kasubdit Hisab Ru’yat. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa, tekhnologi media dalam hal ini “Live Streaming Pengamatan Hilal”sudah seharusnya memberikan pelayanan kepada masyarakat khususnya dalam polemik ru’yat-hilal setiap tahun.
Selain itu, otoritas penetapan hilal dapat diberikan kepada elemen pemerintah yang berkompeten di bidangnya seperti; BMKG, LAPAN, Kominfo, agar dalam interpretasi hilal tidak meragukan dan bahkan dapat menimbulkan disagreements di kalangan masyarakat.
Adanya perbedaan kesepakatan dalam penetapan hilal yang terjadi pada masyarakat adalah karena tidak ada otoritas, tidak ada kriteria, dan tidak ada batas wilayah implikasi.
Solusinya, pertama harus ada otoritas tunggal dalam penetapan hilal di Indonesia.
Sebagaimana otoritas kalender masehi oleh Paus Gregorian, tercatat tidak pernah ada perbedaan yang cukup signifikan dalam perhitungan kalender tersebut.
Kedua, harus ada kesepakatan kriteria dalam penetapan hilal. Khusus pada masalah kriteria ketetapan hilal, masih banyak perdebatan panjang di kalangan para ulama.
“Andai saja semua kalangan ahli falak sudah sepakat dalam nilai kriteria hilal maka tidak adalagi perbedaan penentuan awal dan akhir dalam berpuasa bagi umat Islam.
Ketiga, Indonesia sebagai sebuah tatanan wilayah hukum yang sudah disepakati oleh seluruh rakyat Indonesia.Dengan wilayah yang sangat luas dapat ditetapkan berdasarkan wilayahnya masing-masing agar penentuan hilal tersebut dapat berimplikasi pada pelaksanaan ibadah umat Islam, tutur Thomas Djamaluddin.
Tidak kalah pentingnya pihak BMKG juga telah melakukan pengamatan sekaligus pendataan hilal setiap bulannya, sebagaimana disampaikan
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG Dr.Masturyono.
“Ada beberapa analisa di luar masalah penentuan hilal, yaitu pengamatan bintang, analisis gerak permukaan bumi, analisis gerhana, analisis cuaca dan lain-lainnya,” ujarnya.
“Semoga dengan adanya workshop pengamatan hilal dengan media streming video ini dapat memberikan solusi dalam polemik penentuan hilal Ramadhan yang sebentar lagi tiba,” demikian disampaikan Dr. Masturyono.*/Rivan (Bandung)