Hidayatullah.com– Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Amidhan menegaskan, berdasarkan fatwa banyak ulama, perorangan ataupun institusi, baik di Indonesia maupun dunia Islam umumnya, aliran Ahmadiyah dinyatakan menyimpang dan keluar dari Islam.
Kiai Amidhan menjelaskan, awalnya pendiri aliran Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai mujadid (pembaharu).
Namun, pada tanggal 4 Maret 1889 Mirza Ghulam Ahmad mengaku dan mengumumkan dirinya menerima wahyu langsung dari Tuhan yang menunjukkan dirinya sebagai Imam Mahdi yang dijanjikan dan menyeru agar umat Islam berbaiat kepadanya.
Baca: Wantim MUI Menolak Ahmadiyah karena Mengubah Prinsip Dasar Islam
Hal itu disampaikan Kiai Amidhan saat menjadi ahli dalam dalam sidang lanjutan gugatan Pengujian UU Nomor 1/PNPS/1965 nomor perkara 56/PUU-XV/2017 yang diajukan oleh Komunitas Ahmadiyah di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, baru-baru ini.
Ia menambahkan, Mirza mengaku “penunjukan Allah terhadap dirinya merupakan wahyu”. Sebagaimana termuat dalam kitab Ahmadiyah, Tadzkirah, halaman 190 yang berbunyi ‘Al-Masih anak maryam Rasulullah telah wafat sesuai janji dan engkau datang menyandang warna sifatnya, janji Allah pasti akan genap’.
Baca: Sosiolog: Mentolerir Ahmadiyah Berarti Membiarkan Kegaduhan
“Pengakuan itu juga dapat dilihat dalam berbagai buku dan tulisan Mirza baik buku-buku karyanya sendiri maupun di berbagai media massa seperti surat kabar dan majalah,” ujarnya Kamis (08/02/2018) itu.
Di antaranya, sambung Kiai Amidhan, dalam Dafi’ul Bala (Qadian: 1946) cetakan ketiga halaman 11; Haqiqati Al-Wahyi (Qadian: 1934) halaman 68; Nurul Nujud Al-Masih 1909 cetakan pertama halaman 3; dan Ijalal Al-Hauham (Qadian: 1901) halaman 8.
Ada juga dimuat dalam majalah Al-Furqon terbitan Januari 1942 yang mengutip langsung dari Koran Al-Hakam tanggal 18 Juli 1908 yang menyebutkan ‘Allah Maha Kuasa untuk menciptakan seorang nabi dan memilih seorang yang dipercaya, dan orang yang berbaiat kepadanya. Mirza Ghulam Ahmad adalah orang yang terpercaya dia adalah orang yang terpilih dan suci’.
Baca: ‘Akhiri Kekerasan Terhadapnya tapi Ahmadiyah Jangan Menista Agama’
Sebelumnya, sekelompok anggota Ahmadiyah mengajukan gugatan Pengujian UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU P3A) juncto UU Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang (Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3) ke MK. Mereka menilai UU itu merugikan hak konstitusional kelompoknya. Dan berpandangan bahwa pasal-pasal tersebut bisa ditafsirkan sangat luas.
Yang mana, menurut pemohon, pasal tersebut menjadi dasar dari pembuatan Surat Keputusan Bersama terkait dengan keberadaan Jamaah Ahmadiyah (SKB Ahmadiyah) dan SKB tersebut menjadi rujukan bagi pemerintah daerah menetapkan aturan.*