Oleh: Sholih Hasyim
Hidayatullah.com | SETIAP kali terjadi pergiliran dan perguliran tahun, membangkitkan kembali kesadaran kita tentang keterbatasan sumberdaya waktu dan cara merasakan serta memaknainya. Dàn strategi melipatgandakan sumber daya yang terbatas tersebut.
Semakin bertambah umur kita hakikatnya semakin dekat menuju titik (ajal). Keterbatasan ajal individu dijelaskan pada Surat Ali ‘Imran : 185
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
Keterbatasan umur bangsa dirinci pada Surat Al-A’raf Ayat 34
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۖ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.”
Keterbatasan umur peradaban terdapat pada Surat Ar-Rahman Ayat 26-27
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa.”
Ketika melihat ke belakang (flash back), dalam rentang waktu kurang dari 1/4 kurun, Rasulullah ﷺ telah memproduksi 125.000 kader dalam berbagai bidang, saat pidato perpisahan (khutbatul wada’) di hadapan para sahabat di padang Arafah. Diantara mereka terdapat 111-112 ulama.
Di antara ratusan ulama terdapat tujuh ulama besar yang namanya diawali dengan Abdullah. Diantara tujuh ulama besar ada yang sedikit berfatwa (al muqalliluna fil fatwa), sedang dalam berfatwa (al muqsithuna fil fatwa), dan ada yang produktif dalam berfatwa (al mukatstsiruna fil fatwa). Sungguh, keberhasilan dakwah yang spektakuler.
Merujuk kesuksesan dakwah nubuwwah, kita memahami bahwa cara setiap orang memaknai dan melipatgandakan keterbatasan sumber daya waktu berbeda karena “satuan waktu” yang mereka gunakan juga berbeda. Hal itu lahir dari falsafah/keyakinan hidup yang juga berbeda.
Jika kita memaknai kehidupan sebagai pertanggungjawaban (masuliyah), pengabdian (khidmah), maka waktu adalah masa kerja. Kerja, kerja, dan kerja.
Waktu adalah kehidupan itu sendiri. Al Waqtu huwal hayah, meminjam istilah Syaikh Hasan Al Banna..
Orang-orang beriman membagi waktu – seperti juga kehidupan – ke dalam dua dimensi, waktu dunia dan waktu akhirat. Waktu dunia adalah waktu kerja, waktu akhirat untuk pertanggungjawaban dan pembalasan atas nilai waktu kerja di dunia.
Waktu kerja di dunia mengharuskan kita memaknai setiap satuan waktu sebagai satuan kerja. Jika diandaikan 1 unit waktu harus sebanding dengan 1 unit amal, maka 1 unit waktu sama dengan 1 unit kerja.
Dengan demikian akan membuat hidup kita jadi padat sepadat-padatnya dan produktif. Isinya; kerja, kerja, dan kerja!
Hasan Al Banna menggambarkan produktifitas mukmin dengan perkataan:
الواجِباتُ اَكْثَرُ مِنَ الْاَوْقَاتِ
“Kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan itu lebih banyak dari waktu yang tersedia.”
Tidak ada hal yang mendasar yang tidak bisa dipertanggungjawabkan dalam kehidupan orang beriman selain kesehatan dan waktu luang. Itu hidup yang tidak terencana dengan baik.
Waktu luang lahir dari pikiran dan jiwa yang kosong, yang tidak punya daftar program hidup/pekerjaan yang harus dieksekusi. Hidup mereka longgar. Hanya, kaya serimonial, minus aplikasi. Mereka yang punya deretan pekerjaan untuk dieksekusi menempatkan waktu sebagai sumber daya tak mungkin tergantikan. Karena itu tidak boleh lewat tanpa amal dan taurits (pewarisan nilai).
Menyadari waktu adalah menyadari efeknya dan efek terpenting dari waktu adalah efek akumulasi. Sesuatu tidak terjadi seketika (instan) tapi bertahap (konstan). Akumulasi dari tindakan yang sama yang kita lakukan secara terus-menerus akan menjadi karakter pada skala individu.
Akumulasi dari karakter individu selanjutnya menjadi budaya dalam skala masyarakat. Akumulasi itu terjadi dalam rentang waktu tertentu. Akumulasi budaya dari berbagai kelompok masyarakat dalam rentang waktu tertentu itulah yang berkembang menjadi peradaban.
Karenanya efek akumulasi sebuah peradaban tidak bisa bangkit seketika atau runtuh seketika. Ada faktor-faktor yang mengiringinya/mempengaruhinya secara akumlatif.
Masyarakat bangkit melalui akumulasi kontribusi. Produktivitas individu-individu di dalamnya berupa karakter dan ide yang membentuk budaya mereka.
Mutu keislaman seseorang, diukur dari peran dan kontribusinya, bukan income dan jabatan yang didudukinya, demikian meminjam istilah ungkapan hukama. Begitu juga keruntuhan sebuah masyarakat, itu akumulasi karakter dan ide destruktif individu-individunya yang membentuk budaya keruntuhannya.
Pujangga Mesir Syauqi Bek, mengatakan :
انَّمَا الامَم الاخلاقُ ما بقيَت # وان هُمو ذَهبَت اَخلاقُهُم ذَهَبوا
“Eksistensi suatu bangsa ditentukan oleh mutu akhlaknya, jika moralitas hilang, otomatis hilang juga bangsa tersebut.”
Itulah sebabnya, al-Quran melarang kita mendekati zina, harta anak yatim, perbuatan keji secara lahir dan batin . (Surat 17 : 32, Surat 6 : 151-152). Sebab, sebagaimana berfikir dan bersikap konstruktif itu beranak-pinak, kejahatan juga mengajak kejahatan berikutnya..
Contoh lain adalah kesehatan. Kualitas kesehatan fisik dan mental kita di atas usia 40 tahun adalah akumulasi dari pola hidup sehari-hari kita. Sebagian besar penyakit yang kita alami di atas usia 40 tahun itu adalah akumulasi ketidakseimbangan pola hidup yang berlangsung lama.
Usia membuat orang lebih arif karena ia mengalami akumulasi pengetahuan. Tehnologi hari ini adalah akumulasi tehnologi kemarin. Karena itu Nabi Muhammad ﷺ mengatakan “Jangan pernah meremehkan kebajikan sekecil apa pun itu.” Itu karena sifat akumulasinya.
Nabi juga mengatakan “amal yang paling baik dan paling dicintai Allah adalah yang berkelanjutan walaupun hanya sedikit.” Itu akumulasi. Kebajikan kecil-kecil yang kita lakukan secara terus-menerus menunjukkan perhatian dan konsistensi serta keterlibatan emosi yang dalam. Karena itu, waktu jadi alat uji iman dan karakter yang efektif.
Tantangan ke Depan
Di dalam Islam ada hal yang tetap dan ada yang berubah. Demikian pula organisasi Hidayatullah. Yang tetap (tsawabit) adalah prinsip (mabda) adalah manhaj, cita-cita dan idealisme, jatidiri, penugasan kader dan sistem komando.
Yang terus mengalami perubahan (mutaghayyirat) adalah bentuk (syakliyyah) organisasi, orsos, ormas, BPH, orpol. Tegas dalam prinsip, tasamuh dalam tehnik.
Hidayatullah mengajarkan untuk konsisten dalam meraih tujuan, dan tasamuh dalam mendapatkan hadaf (tujuan antara). Tegas dalam berprinsip dan lunak dalam berwasilah (media untuk meraih cita-cita).
Untuk mempertahankan eksistensinya, Hidayatullah perlu membaca ulang konsep perjuangannya, sebagaimana mengikuti jejak Nabi, ada pada fase pra-wahyu, fase wahyu, dan keterlibatannya dalam memainkan peran dan kontribusinya untuk bangsa dan negara lebih kontekstual. Hal ini agar tidak terpinggirkan dan termarginalkan dalam mengawal pengambilan keputusan.
Allah berfirman pada Surat Asy-Syura Ayat 7
وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لِتُنْذِرَ أُمَّ الْقُرَىٰ وَمَنْ حَوْلَهَا وَتُنْذِرَ يَوْمَ الْجَمْعِ لَا رَيْبَ فِيهِ ۚ فَرِيقٌ فِي الْجَنَّةِ وَفَرِيقٌ فِي السَّعِيرِ
“Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al-Quran dalam bahasa Arab, supaya kamu memberi peringatan kepada ummul Qura (penduduk Makkah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya serta memberi peringatan (pula) tentang hari berkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. Segolongan masuk surga, dan segolongan masuk Jahannam.”
Hidayatullah juga harus berkomitmen untuk berpegang dengan kaidah:
المُحافظةُ على القديم الصالح والاخذُ بالجَدِيدِ الاَصْلَحِ
Memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik..
Jika merujuk hadits Rasulullah ﷺ bahwa setiap satu abad, Allah Swt akan mengirim sosok yang dipilih untuk memperbaharui kesadaran beragama (tajdidud din). Semoga dalam hal ini, Hidayatullah bisa memetakan ulang tahapan kerjanya ke depan.
Jika dihitung satu abad bisa ditapaki setiap tahap 1/4 abad awal mewujudkan kampus pratama yang berfungsi mendidik sumberdaya qurani, pada 1/4 kedua fokus pada perwujudan kampus madya yang memberi titik tekan pada ishlahul bait (reformasi keluarga), pada 1/4 ketiga memberi tekanan pada perwujudan kampus utama yang berkontribusi ishlahul mujtama’ (rekonstruksi masyarakat).
Sedangkan pada 1/4 keempat mewujudkan kampus utama yang terlibat dalam ishlahul wathan (reformasi negeri), dan 1/4 berikutnya mengarah pada ishlahul ‘alam al Islami (reformasi dunia Islam). Seorang ulama berpendapat bahwa kelahiran mufakkir dari rahim individu, juga bisa dilahirkan dari sebuah lembaga perjuangan.
Semoga dengan usia setengah abad menjadikan Hidayatullah lebih dewasa, matang, terus berubah kea rah yang labih baik, dan tentu saja, masuk dalam golongan orang-orang yang diberi petunjuk dan dipilih Allah. Sebagaimana Allah memberikan taujih di Al-Quran;
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ مِنْ ذُرِّيَّةِ آدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِنْ ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا *وَاجْتَبَيْنَا ۚ إِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَٰنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا ۩
“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (Surat Maryam Ayat 58).*
Anggota Dewan Murabbi Pusat Hidayatullah