Hidayatullah.com–Direktur Jerusalem Center for Social and Economic Rights, Ziad Hamouri, hari Jumat (9/4), mengatakan bahwa sebanyak165.000 warga Yerusalem tinggal di sebelah timur tembok yang memisahkan Yerusalem dengan Tepi Barat.
Hamouri menjelaskan kepada Arab News, warga Yerusalem kemungkinan akan “kehilangan hak mereka untuk tinggal di dalam kota itu.” Menurutnya, 70.000 warga yang tinggal di lingkungan Al-Barid, Kafr Aqab dan Samiramis terancam digusur.
Sedikitnya 30.000 warga Yerusalem telah kehilangan tempat tinggal, sejak Israel menjalankan pengusiran dan pembersihan etnis pada awal tahun 1990an.
Hamouri mengatakan, pihak Kementerian Dalam Negeri Israel menolak untuk memberikan data lengkap siapa saja warga yang telah kehilangan tempat tinggalnya tiga tahun terakhir ini.
Penghancuran intensif rumah-rumah orang Palestina di Yerusalem dilakukan untuk mengurangi jumlah orang Palestina hingga kurang dari 80.000.
Hamouri memperingatkan,bahwa rencana jahat Zionis di kota suci itu hampir rampung.
Israel sekarang sedang melakukan rencana akhir dari proyek Yuhudisasi Yerusalem, dengan menjarah properti milik oerang-orang Palestina. Rencana selanjutnya adalah mengubah landmark kota Yerusalem.
Israel mendapatkan jalan mulus untuk melakukan Yahudisasi Yerusalem, setelah ditandatanganinya Perjanjian Oslo, yang melarang Otoritas Palestina melakukan aktivitas apapun di Yerusalem. Langkah Israel itu semakin lancar dan meningkat sejak Konferensi Annapolis November 2007.
Hamouri menjelaskan cara licik Israel guna menguasai Yerusalem.
Pada bulan Januari 2010, Yakir Segev, pejabat sayap kanan Israel yang memegang kuasa di pemerintahan kota Yerusalem, mengumumkan bahwasanya wilayah pemukiman Palestina yang terletak di sebelah timur tembok pembatas, “bukan lagi bagian dari wilayah kota.”
Penduduk di wilayah itu kini hidup di bawah tekanan anarki. Otoritas Israel, pemerintah kota, polisi dan lainnya hampir tidak pernah masuk ke daerah itu,. Pada saat yang sama Otoritas Palestina tidak bisa masuk karena terikat Perjanjian Oslo, yang melarang mereka beroperasi di dalam wilayah Yerusalem.
“Negara Israel lepas tangan,” kata Segev, seraya menambahkan, “Daerah itu diluar yuridiksi negara ini , dan tentu di luar pemerintah kota. Untuk kebutuhan praktis, ada kota Ramallah di Tepi Barat. Di luar setengah khayalan sayap kanan saya tidak tahu, apakah ada orang yang mau agar Israel menegakkan kedaulatannya atas wilayah itu,” katanya licik.
“Untuk mengatasi masalah-masalah di Yerusalem Timur, kita harus memutuskan masa depan politik kota itu,” tambah Segev.
“Sulit meyakinkan para pembuat keputusan dan pihak keuangan agar memberikan bantuan kepada Yerusalem Timur, jika masa depan politiknya tidak jelas.”
Israel merebut Yerusalem Timur pada perang Juni 1967, dan sejak itu membangun pemukiman-pemukiman yang ditempati oleh lebih dari 200.000 orang Israel.
Kontrol atas kota tersebut menjadi isu sensitif dalam konflik Palestina-Israel. Masing-masing ingin menjadikan kota Yerusalem sebagai ibukota negaranya. [di/an/hidayatullah.com]
Dukung kafilah kemanusiaan Palestina melalui hidayatullah.com atau
kafilah Viva Palestina Indonesia