Hidayatullah.com–Putaran pertama dialog rekonsiliasi yang berlangsung di Kairo, antara pemimpin gerakan Harakah Al-Muqawwamah Al-lslamiyah (Gerakan Perlawanan Islam) Hamas dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas mewakili Partai Fatah dinilai ‘positif,’ lapor Kantor Berita Xinhua mengutip sumber-sumber resmi.
Pernyataan yang dibagikan melalui e-mail, dirilis 10 jam setelah dialog di Markas Besar Intelijen Mesir di Kairo tersebut ‘dalam suasana yang positif’ dengan hasil yang masih dirahasiahkan.
“Kedua pihak, Fatah dan Hamas, mengadakan sesi pertama dialog nasional Palestina dalam upaya untuk mengakhiri perpecahan internal dan mencapai kesatuan,” menurut pernyataan yang dikeluarkan pemimpin kedua gerakan pada akhir sesi itu.
Pernyataan tersebut juga mengatakan bahwa dialog tersebut sepenuhnya disponsori oleh Mesir dan telah secara mendalam membahas beberapa masalah rekonsiliasi untuk mengakhiri penderitaan dan blokade rakyat Gaza.
Para pemimpin kedua belah pihak tiba di Kairo pada hari Senin malam untuk mengadakan dialog komprehensif untuk mencapai mekanisme untuk melaksanakan kesepakatan rekonsiliasi sebelumnya yang telah dicapai beberapa tahun yang lalu.
Mereka mengunjungi Kairo dengan undangan resmi Mesir untuk mengadakan dialog komprehensif guna mengakhiri perpecahan internal selama 10 tahun antara kedua belah pihak.
Dukungan Mesir ini dijawab dengan langkah pertama membubarkan komite administratif di Jalur Gaza dan memulai pemerintah rekonsiliasi nasional untuk menjalankan tugasnya di sana.
Perundingan antara Fatah dan Hamas ini merupakan tidak lanjut dari kunjungan Perdana Menteri Otoritas Palestina Rami Hamdallah ke Gaza untuk pertama kalinya sejak tahun 2015. Menteri-menterinya juga secara resmi mengambil alih kendali departemen pemerintah di sana.
Di sisi lain, masyarakat di Tepi Barat diselimuti kecemasan seputar masa depan rekonsiliasi, di tengah-tengah berlanjutnya penangkapan dan penahanan politik yang terur terjadi. Mereka marah dan protes karena penangkapan dan penahanan politik tidak dihentikan, di tengah-tengah pembicaraan tentang pertemuan-pertemuan yang akan terjadi untuk melakukan dialog di Kairo, tulis PIC.
Meski ada suasana optimis dan pertemuan untuk rekonsiliasi dilakukan, namun Komite Keluarga Tahanan Politik di Tepi Barat, mengabarkan ada lebih dari 150 kasus pelanggaran yang dilakukan aparat keamanan Otoritas Palestina.
Sebanyak 40 pelanggaran adalah kasus penangkapan, 100 kasus pemangilan dan juga ada penyiksaan sejumlah tahanan. Sebaian tahanan melakukan aksi mogok makan karena penangkapan ilegal yang mereka alami.
Di Hebron, anggota dinas keamanan menyerang eks tawanan Jamal Karamah saat pulang kerja di sebuah lembaga sosial.
Di Wadi Hariya di Hebron, konsensus Palestina ke Jalur Gaza, anggota intelijen Otoritas Palestina menyerang eks tawanan Munjid Abu Qubaita di depan rumahnya.
Aparat keamanan OP terus melakukan kebijakan penangkapan dan tindakan represif terhadap para kativis politik khususnya aktivis Hamas.
Anggota Dewan Legislatif, Dr. Hasan Guraisyah, mengonfirmasi apa yang terjadi di penjara Jericho. “Banyak tahanan politik dipindahkan dari berbagai wilayah di Tepi Barat ke penjara Jericho. Di sana mereka menjalani pemeriksaan, mereka disiksa tanpa alasan yang benar. Di antara mereka ada sejumlah wartawan dan awak media.” Kutip PIC.
Eks tawanan yang juga petinggi gerakan Jihad Islam Palestina, Khidir Adnan, menilai bahwa pembicaraan tentang rekonsiliasi di tengah-tengah tindakan represif terhadap kebebasan dan berlanjutnya penangkapan dan penahanan politik adalah sia-sia.
Kepada koresponden Pusat Informasi Palestina, Adnan mengatakan, “Sama sekali tidak masuk akal menunda pembicaraan tentang penghentian penangkapan dan penahanan politik, terutama di Tepi Barat, sampai masalah yang lain selesai.”
Adnan menegaskan bahwa tanpa melenyapkan penangkapan politik ini maka keluarga para tawanan dan rakyat kecil Palestina tidak akan yakin bahwa di sana ada rekonsiliasi. Mereka akan menyikapi apa yang terjadi di Jalur Gaza baru-baru ini hanya sekedar karnaval dan tinda di kertas saja.
Masyarakat di Tepi Barat juga mengaku diselimuti kecemasan seputar masa depan rekonsiliasi, di tengah-tengah berlanjutnya penangkapan dan penahanan politik yang terur terjadi. Mereka marah dan protes karena penangkapan dan penahanan politik tidak dihentikan, di tengah-tengah pembicaraan tentang pertemuan-pertemuan yang akan terjadi untuk melakukan dialog di Kairo.*