Hidayatullah.com–Anggota Komite Komite Tinggi untuk Warga Arab ‘Israel’ dan ADALAH, pusat hukum hak-hak minoritas Arab di ‘Israel’, hari Selasa mengumumkan peluncuran perjuangan mereka dengan menuntut pembatalan Undang-Undang ‘rasis’ ‘Negara Bangsa Yahudi”.
Mereka mendesak Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan Federica Mogherini dan Sekjen PBB Antonio Guterres ikut terlibat membatalkan undang-undang apartheid.
“Kami mengatakan hal ini bukan atas nama partai atau gerakan dalam populasi Arab, tetapi atas nama masyarakat Arab secara umum,” kata mantan MK Mohammad Barakeh, Kepala Komite Tinggi untuk Warga Arab ‘Israel’.
Komite bermaksud untuk bertemu dengan perwakilan dari PBB karena mereka percaya bahwa Undang-Undang “Negara Bangsa Yahudi” mengancam kemungkinan solusi penyelesaian penjajahan di Palestina.
Baca: Sejarawan Menyebut “UU Negara Bangsa” ‘‘Israel’’ Rasis
“Hukum meremehkan solusi masalah Palestina karena mengacu pada ‘Tanah ‘Israel’’ sebagai sebuah wilayah yang dimiliki oleh orang Yahudi, dengan membatalkan kemungkinan untuk solusi dua negara,” kata Barakeh dikutip palestinemonitor.
Hal ini diikuti oleh tindakan dari Adalah – pusat hukum hak-hak minoritas Arab di ‘Israel’— mengisi petisi ke Pengadilan Tinggi ‘Israel’ terhadap Undang-Undang Kebangsaan.
ADALAH sebagaimana dikutip Maan News, mengatakan, bahwa hukum “memiliki karakteristik apartheid yang berbeda” dan menyangkal “hak sipil dan nasional Palestina di tanah air mereka.”
Undang-Undang ‘rasis ‘Negara Bangsa Yahudi’, yang disahkan bulan lalu, segera mendapat kecaman secara internasional. Pada akhir Juli, Uni Eropa menyatakan keprihatinan atas hukum yang disetujui oleh Knesset ini.
Juru bicara urusan luar negeri UE, Maja Kocijancic dan Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan Federica Mogherini mengatakan, Uni Eropa tidak mengakui kedaulatan ‘Israel’ atas Wilayah yang didudukinya (yang dijajah) pada tahun 1967 dan tidak menganggap mereka wilayah ‘Israel’.
Undang-undang ‘Negara Bangsa Yahudi’ yang disahkan Knesset pada Rabu (18/07/2018) menyatakan bahwa “‘Israel’ adalah tanah air bangsa Yahudi yang bersejarah sehingga mereka punya hak eksklusif menentukan nasib sendiri di dalamnya”.
Sebagai dampaknya, UU tersebut mencabut Bahasa Arab dari daftar bahasa resmi, mengakui Bahasa Ibrani sebagai bahasa resmi dan mengklaim Yerusalem (Baitul Maqdis) yang “utuh dan bersatu” sebagai Ibu Kota ‘Israel’.
Menurut para kritikus, undang-undang apartheid itu meminggirkan minoritas Arab di negara itu, sementara para pendukung mengatakan UU ini memastikan karakter Yahudi negara untuk generasi yang akan datang.
Undang-undang membagi status Palestina menjadi dua aspek; kewarganegaraan individu yang tidak lengkap untuk orang Palestina di wilayah 1948 dan semua hak kolektif orang Palestina pada umumnya di tanah Palestina akan dihapus, terutama hak mereka untuk penentuan nasib sendiri, dan pembangunan pemukiman di seluruh Palestina.*