Hidayatullah.com—Bayi Omar Yaghi yang berusia delapan bulan tidak dapat melakukan perjalanan dari Gaza ke ‘Israel’ untuk melakukan operasi jantung demi keselamatan jiwanya. Hal itu menyusul pemutusan hubungan Palestina-‘Israel’ sebagai dampak atas rencana pencaplokan wilayah Tepi Barat yang dicanangkan oleh Perdana Mentri ‘Israel’ Netanyahu dengan dukungan Presiden AS Trump.
Ibu dari sang bayi, Raneen tidak dapat berbicara atau makan sejak kehilangan putranya minggu lalu, pamannya Mohammed Yaghi mengatakan kepada AFP. Mereka adalah salah satu dari sejumlah keluarga yang terjebak dalam situasi rumit pasca penyataan aneksasi dan tanggapan otoritas Palestina atasnya.
Hal ini berujung pada dampak dramatis bagi sejumlah warga Palestina di Tepi Barat dan Gaza yang membutuhkan dokumen ‘Israel’ untuk mengakses layanan kesehatan di ‘Israel’ yang tidak tersedia di wilayah Palestina.
“Omar seharusnya menjalani operasi besar pada 24 Mei, tetapi mereka mengatakan kepada kami bahwa perjalanan kami ke ‘Israel’ tidak dapat dilakukan karena koordinasi dihentikan,” kata paman bayi tersebut sebagaimana dilansir oleh the new arab (23/06/2020).
Beberapa organisasi HAM berhasil melobi untuk mendapatkan jadwal operasi yang baru, tetapi Yaghi meninggal pada tanggal 18 Juni, hanya tiga hari sebelum tanggal yang direncanakan.
Dua juta penduduk Gaza telah hidup di bawah blokade ‘Israel’ yang melumpuhkan berbagai sektor kehidupan mereka sejak 2007. Warga Palestina harus mengajukan izin keluar-masuk untuk meninggalkan daerah kantong tersebut.
Cabang militer ‘Israel’ yang bertanggung jawab atas urusan sipil di wilayah Palestina, COGAT, mengatakan bahwa penyeberangan antara Erez dengan Gaza telah dipersiapkan untuk memfasilitasi transfer.
“COGAT akan tetap memberikan, termasuk pada saat-saat seperti ini, izin masuk penduduk dari Jalur Gaza untuk perawatan medis demi keselamatan jiwa dan dalam kasus-kasus kemanusiaan lainnya,” kata seorang juru bicara dalam sebuah pernyataan berbahasa Inggris.
Yaghi dilahirkan dengan masalah jantung yang kompleks dan ia mulai berobat di Pusat Medis Sheba ‘Israel’ ketika ia baru berusia satu bulan. Karena tidak dapat kembali untuk operasi, Yaghi mengalami gagal jantung pada hari Rabu dan diresusitasi di rumah sakit Gaza.
“Mereka memberi tahu kami bahwa situasinya sangat serius,” kata Mohammed Yaghi, yang berusaha keras untuk mengatur transfer darurat ke ‘Israel’ sementara keponakannya memakai ventilator.
“Pada pukul 10:00 pagi, manajemen rumah sakit menelepon dan memberi tahu kami bahwa dia telah meninggal.”
Ayah anak itu, yang juga bernama Omar, mendapati putranya tidak akan selamat saat ia sedang dalam perjalanan ke rumah sakit.
“Adikku benar-benar hancur, terutama ketika dia menerima tubuh anak itu,” kata Mohammed Yaghi.
Dokter untuk Hak Asasi Manusia ‘Israel’ menyalahkan keputusan pemutusan hubungan dengan ‘Israel’ oleh Komite Urusan Sipil Otoritas Palestina (PA) atas meninggalnya bayi tersebut. Pemutusan hubungan itu atas protes pencaplokan ‘Israel’ terhadap Tepi Barat.
Haitham al-Hadra dari kementerian kesehatan Palestina, yang bertanggung jawab atas transfer medis, mengatakan bahwa mayoritas pasien masih dapat mendapatkan perawatan di wilayah Palestina.
“Sembilan puluh lima persen dari kondisi medis dapat dirawat di rumah sakit Palestina, baik pemerintah maupun swasta,” katanya kepada AFP.
Tetapi banyak pula pasien yang membutuhkan transfer karena perawatan medis yang tidak tersedia.
Hala al-Johari, 58, belum menjalani pengobatan leukemia selama hampir satu setengah bulan.
Tinggal di Nablus di Tepi Barat utara, Johari telah melakukan perjalanan ke Yerusalem selama delapan bulan sebelumnya untuk perawatan kanker di Rumah Sakit Hadassah di kota Ein Kerem.
Pasien kanker melakukan protes pada hari Rabu di luar kantor pemerintah Palestina di kota Ramallah Tepi Barat, dan beberapa hari kemudian Johari menerima kabar baik.
“Mereka menelepon saya kemarin dan memberi tahu saya bahwa akan ada cukup obat selama sebulan,” katanya.
Namun tanpa akhir yang terlihat dari situasi ini, Johari dan pasien lain tidak yakin kapan mereka akhirnya bisa mengakses layanan kesehatan yang lebih layak.
Hingga saat ini, Netanyahu tetap bersikeras untuk melaksanakan proses pencaplokan wilayah sesuai dengan target pada tanggal 1 Juli. Pemerintah AS pun telah memulai diskusi untuk memberikan lampu hijau kepada Netanyahu pada Selasa (23/06/2020). Otoritas Palestina yang menolak keras hal itu pun melakukan langkah reaktif, termasuk salah satunya adalah pemutusan koordinasi.
“Saya berada di dunia yang serba tidak pasti, kurangnya obat membuat saya gugup dan membuat saya terus-menerus takut,” kata Johari. “Aku tidak ingin mati.”*