Hidayatullah.com–Silwan telah menjadi medan perlawanan akibat kelompok-kelompok pemukim ilegal, yang menggunakan sistem hukum ‘Israel’ untuk mengambil alih rumah-rumah Palestina di Yerusalem Timur.
“Saya takut hari ini, sangat takut,” kata Amal Sumarin kepada The New Arab, merujuk pada perintah ‘Israel’ yang akan datang untuk mengusir keluarganya dari rumah mereka di lingkungan Silwan di Yerusalem.
Terletak berdekatan dengan Kota Tua, dan sepelemparan batu dari kompleks Masjid Al-Aqsa, 16 keluarga Palestina telah terjebak dalam perjuangan hukum selama 30 tahun untuk membuktikan kepemilikan rumah mereka di Wadi Hilweh, daerah yang didambakan oleh para pemukim ilegal Yahudi karena jaraknya yang dekat dengan Masjid Al-Aqsha.
Pada tanggal 30 Juni, pengadilan distrik Yerusalem di ‘Israel’ memutuskan bahwa keluarga Sumarin harus meninggalkan properti mereka pada tanggal 16 Agustus, membuat mereka kebingungan karena tak punya tempat untuk pergi.
“Mereka datang untuk mengambil rumah yang bukan milik mereka, rumah milik orang-orang dari Silwan,” kata Amal. Sekarang berusia 57 tahun, dia menghabiskan hari-harinya dengan duduk di teras rumahnya, menghadap masjid Al-Aqsa, berdoa dan membaca Al-Quran. “Dari mana mereka berasal? Negara mana?” dia bertanya dengan keras.
Dana Nasional Yahudi (JNF), yang mempromosikan pemukiman ilegal Yahudi di Tanah Suci, membeli properti itu dari negara bagian pada 1991 setelah rumah itu disita secara paksa di bawah Undang-Undang Kekayaan Absen Israel yang kontroversial tahun 1950.
Amal mengatakan polisi Israel muncul “tiba-tiba pada malam hari” dan mendirikan penghalang antara rumah dan tanahnya. Karena kekurangan uang, keluarga Sumarin, yang telah lama tinggal di Silwan, tidak dapat menentang perampasan tanah di pengadilan.
Undang-undang Hak Milik Absensi memungkinkan negara Israel untuk mengambil kendali atas properti yang pemiliknya tinggal di “negara musuh” dan digunakan untuk menyita tanah dan rumah ratusan ribu warga Palestina yang melarikan diri atau dipaksa keluar selama perang di sekitar Israel. Undang-udang keji tersebut diciptakan pada tahun 1948.
“Ia [JNF] adalah organisasi penting yang membantu mendirikan Negara Israel,” kata Hagit Ofran dari LSM anti-pemukiman Peace Now kepada The New Arab.
“Dalam beberapa tahun terakhir ini, ia telah digunakan sebagai alat pemukim untuk mempromosikan agenda mereka di Yerusalem Timur dan Tepi Barat,” tambahnya.
Keluarga Sumarin mengatakan rumah itu dibangun di atas tanah yang dibeli pada 1950-an – sebelum Israel menduduki bagian timur kota pada 1967 – oleh Haj Moussa, seorang paman dari suami Amal.
Tak lama setelah dia meninggal, negara Israel menyatakan rumah itu sebagai ‘properti yang ditinggal pemiliknya’ dan menempatkannya di bawah kendali negara.
Pada saat kematiannya, Haji Moussa dirawat oleh keponakannya, suami Amal, Muhammad Sumarin. Dengan putra-putra Haj Moussa yang bepergian atau tinggal di luar negeri, dan karena itu tidak dapat membuktikan bahwa Yerusalem adalah “pusat kehidupan” mereka, properti mereka pun disita paksa.
Antara 1967 dan akhir 2016, Israel mencabut status tempat tinggal setidaknya 14.595 warga Palestina dari Yerusalem Timur yang pindah ke luar perbatasan kota Yerusalem atau belajar atau bekerja di luar negeri untuk waktu yang lama.
Rumah Sumarin terletak berdekatan dengan ‘Kota Daud’, sebuah situs arkeologi di Wadi Hilweh yang didirikan oleh organisasi pemukim sayap kanan Elad. Fokus utama kelompok ini adalah untuk menyelesaikan kawasaYahudi Israel di lingkungan Palestina di sekitar Kota Tua Yerusalem dengan memfasilitasi pembelian properti gelap di Silwan, Abu Tur, Ras al-Amud dan Al-Tur.
Tetapi peran manajemen kelompok proyek arkeologi telah mendapat kecaman karena agenda politik Elad yang jelas.
“Kami tahu banyak rumah yang dirampas paksa JNF akhirnya diserahkan ke Asosiasi Elad,” kata Yonathan Mizrahi, kepala Emek Shaveh, kepada The New Arab. Emek Shaveh adalah LSM Israel yang berupaya mencegah politisasi arkeologi dalam konflik Israel-Palestina.
Seorang wakil dari Elad hadir dalam persidangan bulan lalu melawan keluarga Sumarin, meskipun mereka bukan pihak formal dalam kasus ini.
“Penerimaan mereka [ke sidang] adalah indikasi peran mereka dan niat KKL-JNF untuk menyerahkan rumah ke Elad, jika mereka berhasil memilikinya,” sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh pendukung keluarga Sumarin mengatakan.
Keluarga itu sedang mempertimbangkan banding ke Pengadilan Tinggi terhadap perintah pengusiran, tetapi pengacara mereka mengira kesempatan mereka amat kecil. Permintaan untuk naik banding pertama-tama harus diajukan kepada hakim, yang kemudian akan memutuskan apakah Pengadilan Tinggi harus membahas kasus ini atau tidak.
“Sebagian besar permintaan ditolak,” kata Hagit Ofran kepada The New Arab.
Kasus keluarga Sumarin adalah contoh kedzaliman nyata lainya terhadap warga Palestina yang tinggal di daerah Tepi Barat yang ‘Israel’ rencanakan untuk dicaplok.
“Penggunaan Undang-Undang Hak Milik Absente di daerah-daerah yang dicaplok Israel di Yerusalem Timur pada tahun 1967, dapat menjadi indikasi apa yang berpotensi terjadi pada ratusan ribu hektar tanah pribadi di wilayah yang direncanakan akan dicaplok Israel,” Pengawas pemukiman Israel Peace Now telah memperingatkan.
“Saya putra dari rumah ini. Saya lahir di sini, saya menikah di sini, anak-anak saya lahir di sini,” putra Amal, Ahmad, 37, mengatakan kepada The New Arab. Ketiga putra Amal juga tinggal di rumah tersebut, masing-masing dengan keluarga mereka sendiri. Istri Ahmad melahirkan putri baru mereka Mila beberapa hari yang lalu.
Tak satu pun dari keluarga itu yang berencana meninggalkan rumah pada 16 Agustus kendati ada perintah pengusiran. Pengadilan Tinggi bisa menjadi pilihan terakhir mereka jika banding keluarga diterima, tetapi Ahmad tidak optimis.
“Mereka punya sarana,” katanya kepada The New Arab. “Tidak seperti kita, kita lemah; kita hanya sebuah keluarga biasa. Mereka adalah tentara pemukim, tentara dari pemerintah, tentara pengacara. Maksudku, mereka memiliki jangkauan panjang.”
Ibrahim Husseini adalah jurnalis Palestina independen yang berbasis di Yerusalem. Artikel pertama terbit di The New Arab*