Hidayatullah.com–Warga Palestina di Gaza membakar foto para pemimpin ‘Israel’, Amerika, Bahrain, dan Uni Emirat Arab (UEA) pada hari Sabtu (12/09/2020). Protes tersebut menentang langkah kedua negara Teluk itu untuk menormalisasi hubungan dengan ‘‘Israel’’.
Bahrain pada hari Jum’at mengikuti jejak UEA dalam menyetujui normalisasi hubungan dengan ‘‘Israel’’, lapor Al Jazeera. Protes di Gaza, dihadiri oleh beberapa lusin orang, diorganisir oleh kelompok perlawanan Hamas.
“Kami harus melawan virus normalisasi dan memblokir semua jalurnya sebelum berhasil mencegah penyebarannya,” kata pejabat Hamas Maher al-Holy.
Demonstran membakar gambar Presiden AS Donald Trump, Perdana Menteri ‘‘Israel’’ Benjamin Netanyahu, Raja Bahrain Hamad bin Isa Al Khalifa, dan Putra Mahkota UEA Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan. Sementara Amerika Serikat, ‘‘Israel’’, UEA, dan Bahrain memuji langkah diplomatik sebagai langkah signifikan menuju “perdamaian dan stabilitas” di Timur Tengah, Palestina melihatnya sebagai pengkhianatan.
Terlepas dari keretakan politik sejak 2007, Presiden Otoritas Palestina (PA) Mahmoud Abbas, yang memiliki kekuasaan terbatas di Tepi Barat yang diduduki Zionis, dan Hamas telah bersatu melawan langkah negara-negara Teluk itu.
Aliansi Militer
Di Tepi Barat, Sekretaris Jenderal Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Saeb Erekat mengatakan dorongan diplomatik tidak akan mencapai perdamaian jika konflik ‘Israel’-Palestina selama puluhan tahun tidak diselesaikan terlebih dahulu. “Perjanjian Bahrain, ‘Israel’, Amerika untuk menormalisasi hubungan sekarang menjadi bagian dari paket yang lebih besar di kawasan ini. Ini bukan tentang perdamaian, ini bukan tentang hubungan antar negara. Kami menyaksikan aliansi, aliansi militer yang sedang dibuat di wilayah,” kata Erekat.
Iran, sementara itu, mengatakan pada hari Sabtu bahwa langkah Bahrain berarti akan terlibat dalam kebijakan negara Yahudi yang mengancam keamanan regional, televisi pemerintah Iran melaporkan. Pengawal Revolusi Iran mengatakan Bahrain akan menghadapi “balas dendam yang keras” dari rakyatnya sendiri dan Palestina atas langkah negara Teluk itu.
Turki juga mengutuk kesepakatan itu dengan mennyebutnya merusak perjuangan Palestina dan akan “semakin memberanikan ‘‘Israel’’ untuk melanjutkan praktik ilegalnya … dan upaya untuk membuat pendudukan wilayah Palestina permanen”.
Warga Bahrain yang menentang perjanjian pemerintah mereka untuk menjalin hubungan diplomatik dengan ‘‘Israel’’ melampiaskan penolakan keras mereka di media sosial pada hari Sabtu. Hal itu menggarisbawahi kompleksitas pemulihan hubungan Teluk dengan negara penjajah ‘‘Israel’’.
Tagar #Bahrainis_against_normalisation dan #NormalizationIsBetrayal menjadi tren di Twitter setelah Trump mengumumkan kesepakatan itu pada Jum’at malam. Bahrain, sebuah kerajaan yang diperintah Sunni dengan populasi Syiah yang besar, berbagi dengan ‘‘Israel’’ permusuhan yang mendalam terhadap Iran. Negara tersebut bergantung pada Amerika Serikat, yang menempatkan Armada Kelima di kepulauan kecil tapi strategis itu. Menteri Luar Negeri Bahrain Abdullatif bin Rashid al-Zayani mengatakan kesepakatan itu merupakan langkah bersejarah untuk mencapai perdamaian di Timur Tengah, tetapi PA dan Hamas mengutuknya sebagai “tusukan lain dari belakang” oleh pemerintah Arab.
Berbeda dengan UEA, penentangan terhadap normalisasi berjalan jauh di Bahrain, yang memiliki sejarah politik terbuka bahkan jika telah ditekan selama 10 tahun terakhir. Mantan anggota parlemen Ali Alaswad menulis bahwa itu adalah “hari hitam dalam sejarah Bahrain”.
Kelompok oposisi Al-Wefaq mengkritik kesepakatan normalisasi tersebut. “Perjanjian antara rezim despotik di Bahrain dan pendudukan Zionis tentang pemerintah adalah pengkhianatan total terhadap Islam dan Arabisme dan penyimpangan dari Islam, Arab dan konsensus nasional,” katanya di Twitter.
Kelompok anti-normalisasi lainnya, yang berbasis di Bahrain dan luar negeri, mengungkapkan kemarahan mereka dalam pernyataan yang dikirim ke media yang menyebut kesepakatan itu “memalukan”.
Persatuan yang Memburuk
Masalah Palestina telah menjadi kurang sentral karena wilayah tersebut telah diguncang oleh pergolakan Musim Semi Arab, perang Suriah, dan serangan berdarah oleh kelompok bersenjata Daesh (ISIS). Pada saat yang sama, permusuhan antara Arab Saudi dan Iran semakin dalam.
“Ada berbagai macam masalah di dunia Arab – perselisihan, revolusi, perang saudara, ketegangan antara negara-negara Arab yang berbeda,” kata analis Palestina, Ghassan Khatib. “Palestina sekarang membayar harga atas kemerosotan persatuan Arab.”
PA mempertahankan validitas yang disebut “konsensus Arab” dan menolak anggapan bahwa itu terisolasi. Konsensus itu telah lama menyatakan bahwa negara-negara Arab hanya akan menormalisasi hubungan jika pemerintah Zionis memenuhi sejumlah persyaratan.
Salah satu tuntutannya adalah ‘‘Israel’’ menarik diri dari wilayah yang didudukinya dalam Perang Enam Hari tahun 1967. Yang lainnya adalah menyetujui negara Palestina dengan Yerusalem Timur (Baitul Maqdis) sebagai ibukotanya, dan yang ketiga adalah menemukan solusi yang adil bagi jutaan pengungsi Palestina dan keturunan mereka.
“Kami berharap negara-negara Arab akan tetap berkomitmen pada konsensus ini,” kata Jibril Rajoub, seorang pejabat senior Palestina, menambahkan menyimpang darinya “tidak akan menghasilkan apa-apa”. “Mereka yang melanggar konsensus Arab … akan diisolasi” dalam jangka panjang, “ katanya memperingatkan.*