Hidayatullah.com–Perjalanan Shrawan Nayak dari rumah ke tempat kerja pp. setiap harinya dihiasi perasaan sedih dan frustasi. Bekerja sebagai buruh harian, Nayak harus melewati sebuah pabrik bubuk mineral yang berdiri di atas lahan luas, termasuk 7 hektar lahan pertanian milik Nayak dan ayahnya dulu.
Tidak lama setelah Coca-Cola mendirikan pabrik itu, Kala Dera, sebuah wilayah di Rajastan yang kering, semakin kekeringan. Pabrik milik Coca-Cola yang berada di tengah pertanian rakyat itu mengeksploitasi persediaan air tanah, sehingga lahan-lahan pertanian rakyat menjadi tandus.
“Permukaan air tanah sangat dalam, sehingga hampir mustahil untuk pertanian. Seperti kebanyakan petani lainnya di Kala Dera, kami terpaksa menjual tanah kepada pabrik pembuat bubuk mineral itu, delapan tahun lalu,” kata Nayak, 41, yang dulu bertani gandum, padi-padian dan sayuran. Dia juga terpaksa menjual sapi dan kerbaunya.
Para petani tidak menuding pabrik raksasa itu tanpa bukti. Mereka didukung hasil penelitian Badan Pusat Air Tanah India (CGWB), yang menyebutkan bahwa permukaan air tanah di Kala Dera menyusut 22,36 meter sejak pabrik berdiri. Selama tahun 2007 hingga 2008 saja, permukaan air tanah menyusut hingga 6 meter.
Amit Srivastava, Direktur India Resource Centre, giat menentang pabrik Coca-Cola yang tersebar di berbagai tempat di India. Menurutnya, perusahaan itu menguras air tanah dan menimbulkan polusi pada lingkungan. Ia menunjukkan, selama sembilan tahun–sebelum pabrik itu berdiri–air tanah di Kala Dera hanya turun 3 meter saja.
“Coca-Cola membangun pabrik-pabrik pembotolannya di daerah-daerah yang rawan kekeringan di India, sesuatu yang semestinya tidak mereka lakukan,” kata Srivasta.
“Jelas sekali, di daerah-daerah ini, masyarakat menyaksikan akses mereka atas air–sebuah HAM fundamental–secara nyata dicampakkan dengan hadirnya Coca-Cola,” imbuh Srivasta.
Mahses Yogi, mantan petani yang menjadi aktivis, menyebut kondisi di Kala Dera sebagai “bencana”.
“Di sebuah daerah yang tergantung pada air tanah, pabrik itu membawa bencana bagi 10.000 keluarga dalam radius 5 km dari pabrik. Coca-Cola menjarah sumber daya alam kami, sumber daya yang menjadi milik masyarakat,” kata Yogi, anggota Jan Sangharsh Samiti, sebuah kelompok advokasi yang menuntut penututpan pabrik Coca-Cola di Kala Dera.
Hindustan Coca-Cola Beverages Pvt Ltd (HCBPL), anak perusahaan Coca-Cola India, mengatakan tuduhan itu tidak berdasar, karena pabrik mereka hanya memakai sebagian kecil dari air yang ada–hanya sekitar 1%–untuk operasinya.
“Pabrik Kala Dera sudah meningkatakan rasio penggunaan airnya hingga lebih dari 25% dalam 5 tahun terakhir. Kami terus memfokuskan diri untuk mengurangi dan mendaur ulang air yang digunakan dalam proses pembotolan kami,” kata seorang jurubicara HCBPL.
Mungkin Coca-Cola lupa, zat cair dalam botol-botol yang diproduksi pabriknya adalah menggunakan bahan baku air tanah. Mengurangi penggunaan air berarti mengurangi produksinya.
Tidak hanya pabrik Coca-Cola di Kala Dera yang dituduh menguras air sehingga tanah menjadi kering. Masyarakat India lain yang mengalami hal serupa, mengincar pabrik-pabrik milik Coca-Cola dan saingannya, Pepsi.
Sebuah komite yang dibentuk pemerintah Negara Bagian Kerala awal April ini mengatakan, HCBPL bertanggung jawab atas pengurasan air tanah dan pembuangan sampah-sampah beracun di sekitar pabrik mereka, yang terletak di Palakkad antara tahun 1999 hingga 2004, sebelum dipaksa tutup oleh para aktivis dan masyarakat setempat. Komite tersebut mengharuskan raksasa minuman ringan itu membayar kompensasi USD 47 juta, sebagai ganti rugi kerusakan lingkungan.
Sebuah pernyataan HCBPL membantah klaim komite tersebut. “Sayang sekali komite di Kerala itu menunjukkan asumsi penyebab kerusakan yang tidak terbukti, bahwa penyebabnya adalah Hindustan Coca-Cola Beverages.”
Bulan lalu, juga masih di Kerala, PepsiCo mendapat sorotan karena mengeksploitasi air tanah. Sebuah panel Dewan Kerala meminta pabrik yang terletak di Puducheri memangkas penggunaan airnya hingga 60%.
Tidak terima dengan hasil temuan panel tersebut, seorang jurubicara Pepsi mengatakan, “Tuntutan terhadap pabrik tidak benar. Pabrik itu adalah sebuah pabrik percontohan dan salah satu dari unit PepsiCo yang paling efisien dalam penggunaan air.”
Srivasta menyebut Coca-Cola menjalankan perusahaannya dengan “sangat arogan dan merasa kebal hukum” di India. Ditambahkan oleh Srivasta, perusahaan tersebut tidak menghormati hak-hak masyarakat setempat, para petani dan lingkungannya.
“Dari hasil susu dan pertanian, keluarga kami dulu bisa menghasilkan uang hingga 150.000 rupee setahun. Tapi sekarang, sebagai buruh harian, saya harus bekerja keras untuk mendapatkan seperempatnya saja,” kata Shrawan Nayak.
Coca-Cola adalah perusahaan yang mendapat penghargaan tinggi dari komunitas Yahudi, karena memberikan sumbangan yang sangat besar kepada eksistensi Zionis Israel. [di/tnae/hidayatullah.com]