MENGENANG 14 tahun lalu, ketika istri hamil anak pertama. Tujuh bulan pertama senang, gembira, bahagia, dan sudah membayang-bayangkan untuk memberi nama, aqiqah, serta mengendong anak.
Namun masuk bulan ke delapan, istri ada gangguan kehamilan yaitu eklamsia. Tiba-tiba tensi darah naik tinggi hingga 170/120. Langsung dibawa ke rumah sakit dan diopname.
Dalam masa opname selama dua pekan, segala cara dokter lakukan untuk menurunkan tensi tapi tidak bisa dan keluarga juga pakai obatobat herbal juga tidak mampu.
Hingga akhirnya dokter memanggil saya dengan pertanyaan yang tidak bisa saya jawab dan sebenarnya saya mau balik bertanya, kenapa ada pertanyaan seperti itu.
“Bapak pilih istri atau anak?”
Terlalu konyol kalau saya memilih salah satunya. Itu bukan pilihan dan bahkan bukan pertanyaan.
Akhirnya janin meninggal dalam perut karena tidak mampu bertahan akibat tingginya tensi darah ummi-nya.
Kejadian itu disebut eklamsia. Yaitu tensi darah ibu hamil tiba-tiba naik pada usia kehamilan tujuh bulan ke atas. Sebab setahu saya belum disepakati para dokter penyebabnya, ada yang menyebut karena gen, makanan, atau pikiran.
Alhamdulillah satu tahun kemudian, istri hamil lagi. Kehamilan kedua normal hingga lahir. Sekarang sang putra sedang menghafal al-Qur’an di Darul Hijrah, Surabaya, Jawa Timur, kelas dua SMP.
Kehamilan ketiga, istri mengalami eklamsia lagi dan janin meninggal dalam rahim berumur 9 bulan.
Namun mendadak, tidak ada gejala seperti eklamsia pertama dan tidak diopname. Diketahui, eklamsia karena janin gosong akibat pengaruh tensi ibunya.
Sedih juga, karena kejadiannya mendadak. Tapi iman yang harus dipegang.
Kehamilan keempat di Yogyakarta saat istri menemani saya kuliah S-2. Alhamdulillah normal hingga lahir, sekarang, Agustus 2017 ini, sang anak sudah duduk kelas tiga Madrasah Ibtidaiyyah putri.
Kehamilan kelima, istri eklamsia lagi. Ada sedikit trauma karena sudah dua kali eklamsia dan janin meninggal semua. Menegangkan dan mengkhawatirkan.
Alhamdulillah, pertolongan Allah, bayi bisa lahir meskipun prematur 7 bulan dan beratnya hanya 1,5 kilogram.
Alhamdulillah, sang anak sekarang sudah sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Al-Aulad, sehat dan cerdas.
Tiga kali eklamsia, menjadi kehati-hatian bagi istri untuk tidak hamil dulu atau menunda kehamilan. Artinya, cukup lima kali melahirkan dan tiga anak yang masih diamanahkan Allah saat itu.
Subhanallah, ternyata Allah memberikan rezeki, istri hamil yang keenam.
Respons pertama ketika mengetahui hamil keenam, kami -saya dan istri- berdua hanya bisa saling memandang dan diam dengan pikiran masing masing tapi sama, yaitu bayangan eklamsia.
Artinya ada rasa was-was, bayangan eklamsia terasa menghantui. Tidak bisa saling menyalahkan.
Namun setelah itu sadar dan kembali kepada keimanan.
“Semoga Allah ingin ada generasi yang baik lagi akan lahir dari rahim ummi.”
Kami saling menguatkan.
Untuk eklamsia, kami berharap semoga hanya untuk kehamilan ganjil saja. Karena pengalaman eklamsia terjadi pada kehamilan anak pertama, ketiga, dan kelima. Sedangkan pada kehamilan di angka genap, berlangsung normal.
Subhanallah, ternyata kehamilan keenam saat memasuki usia tujuh bulan, istri juga eklamsia.
Hanya kepada Allah memohon, berdoa untuk kesehatan ibu dan janin.
Dan Alhamdulillah, bayi mungil kami lahir di tengah perayaan hari kemerdekaan RI yang ke-72, Kamis, 17 Agustus 2017 lalu.
Baca kisahnya: Tak Disangka, Bayi Kami Lahir di Usia 72 Tahun Republik Indonesia
Meskipun prematur dan lewat operasi caesar, sang bayi akhirnya keluar “menyambut” kemerdekaan bangsa ini.
Di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Kanujoso Djatiwibowo di Balikpapan, Kalimantan Timur, rintihan hujan mengiringi kelahiran bayi putri kami tercinta.* Diceritakan kepada hidayatullah.com oleh Abdul Ghofar, aktivis pendidikan di Balikpapan