Hidayatullah.com–Lantunan ayat suci al-Qur’an terdengar indah. Suara itu mirip suara Imam Masjidil Haram, Syaikh Abdurrahman As-Sudais. Tapi, jangan salah. Sumber suara itu bukan dari Masjidil Haram, tempat kiblat umat Islam, melainkan dari sebuah puncak pegunungan. Tepatnya, dari Mushala Shiddiqul Huda.
Mushola mungil bercat putih dengan ukuran kira-kira 7 x 10 m ini terletak di Dusun Turi, Desa Geger, Kec. Sendang, Kab. Tulungagung, Jatim. Dusun ini terletak di sebelah selatan lereng Gunung Wilis. Tingginya sekitar 875 m dari permukaan laut. Tak pelak, hawanya sangat dingin. Ditambah lagi, jika sore tiba, embun tebal turun.
Adalah Adnan Ahmad, guru ngaji di mushala yang berdiri tahun 2004 itu bertugas memutar kaset Syaikh As-Sudais. Bacaan murattal itu sebagai tanda jika waktu berbuka puasa akan segera tiba. Dari corong di atas masjid, bacaan surah al-Baqarah sore itu menggema hingga ke berbagai penjuru. Tak pelak, dusun yang semula sunyi itu pun mendadak merdu oleh suara lantunan ayat suci al-Quran.
Seolah tak ingin kalah dengan Syaikh As-Sudais, di dalam mushala sejumlah anak perempuan berjilbab putih juga terlihat khidmat mengaji. Dipandu Adnan, anak-anak tersebut membaca al-Qur’an secara bergilir. Kegiatan ngaji bareng itu digelar setiap hari, sehabis Ashar.
Menurut Adnan, yang juga mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Lukman Al-Hakim (STAIL) Surabaya semester 6 ini, program tersebut diadakan hingga khatam al-Qur’an.
“Hari ini, mereka telah sampai juz ke-9,“ ujar Adnan.
Menurut Adnan, acara seperti ini menjadi bagian tradisi menyambut Ramadhan. Terlihat gurat-gurat kebahagiaan dari setiap wajah anak-anak dusun kecil itu. Erni Wahyuni, salah dari mereka mengatakan, “Saya seneng banget bisa puasa dan menjalankan ibadah lainnya,” ujar siswi SMP kelas 1 ini menuturkan.
Teman Erni, Anggraeni, menuturkan hal sama. Mengaji bersama sambil menunggu waktu berbuka merupakan waktu terindah dalam hidupnya.
“Sangat menyenangkan, bisa mengaji bersama teman-teman sambil menunggu beduk buka,” ujar perempuan murah senyum ini.
Semarak Ramadhan terasa tidak hanya di Dusun Turi. Di empat dusun lainnya juga demikian. Tadarus al-Qur’an, shalat tarawih, ceramah agama juga dilakukan di empat dusun lainnya.
Aksi makin semarak setelah datangnya mahasiswa STAIL Surabaya yang menjalankan tugas safari dakwah dari kampus. Selama 20 hari di bulan Ramadhan, mereka menemani masyarakat di desa tersebut.
Perkembangan Islam
Keislaman penduduk desa Geger melalui proses cukup panjang dan berliku. Bermula tahun 1975 ketika ada seorang dai asal Pare, Kediri, Muhadi Muhammad Nur. Ketika itu, pak Puh, demikian lelaki berumur 63 tahun ini biasa disapa, sebenarnya bukan untuk berdakwah, melainkan bekerja di Pusat Koperasi Daerah (Puskopad) di Geger. Namun, karena kondisi umat Islam yang sangat memprihatinkan, naluri dai pak Puh akhirnya bangkit.
Betapa tidak, kala itu di Desa Geger tidak ada masjid ataupun mushala. Satu-satunya tempat ibadah hanya sebuah mushala kecil nan reot dengan kondisinya yang sangat memprihatinkan. Tepatnya, lebih mirip kandang ayam.
Para penduduk pun tak ada yang shalat Jum’at, apalagi shalat lima waktu. Padahal, waktu itu mereka mayoritas muslim.
“Ya, Islam mereka masih sebatas KTP. Tapi tidak menjalankan Islam,” ujar Muhadi Muhammad Nur.
Pak Puh pun makin miris lagi, sebab ketika itu tidak ada dai yang mengarahkan mereka ke jalan Islam. Akhirnya, alumnus PGA ini pun tergerak mengajak mereka kembali ke jalan yang benar, Islam.
Tapi, bukan hal mudah melaksanakan niat mulia itu. Apalagi harus mengubah tradisi yang telah berakar puluhan tahun lamanya. Para penduduk sendiri waktu itu banyak yang melakukan perbuatan menyimpang dari agama; judi, main perempuan, dan animisme (menyembah candi).
Pak Puh mengaku harus hati-hati membawa misi dakwah. Jika tidak, dia khawatir dakwahnya bakal terancam gagal. Ia menjadikan pelajaran berharga dua dai sebelumnya di tempat ini yang akhirnya kabur gara-gara dakwah mereka yang tidak diterima warga.
Untuk melakukan pendekatan, ia bahkan beberapa kali berpura-pura ikut berjudi. “Biar tidak ada kecurigaan mereka pada saya,” ujar pria ramah ini pada hidayatullah.com.
Jika ada penjudi yang kalah, pak Puh buru-buru mengeluarkan jurus nasihat. “Nah kan, judi itu nggak ada untungnya. Pasti kalah. Dan nggak bakalan menang terus,” tuturnya. Tak jarang, wejangan Puh pun manjur. Satu per satu orang berhenti berjudi.
Kebetulan, satu-satunya mushala di Geger berada dekat rumahnya. Mushala yang sudah ditumbuhi ilalang dan penuh tanah karena tidak pernah dipakai itu lantas dibersihkan. Mushala itu lantas dipakai pak Puh untuk mengajari baca al-Qur’an anak-anak warga. Lambat laun, anak-anak pun bisa baca al-Qur’an. Disusul kemudian para orangtuanya yang mulai shalat.
Tak lama kemudian berdiri 17 mushala dan satu masjid. Masjid itu bernama Jami’ Al-Huda yang awalnya mushala kecil yang kotor.
Memangkas Animisme
Di Geger, ada satu candi bernama Candi Penampihan atau biasa disebut Asmorobangun. Candi ini terletak di atas bukit jauh dari pemukiman warga. Jaraknya sekitar 5 km. Seperti candi pada umumnya, Candi Penampihan berbentuk candi dengan memiliki tiga teras; teras utama, teras kedua, dan teras ketiga. Candi di teras utama berbentuk seperti kura-kura besar. Di sini, menurut Winartin, juru kunci candi yang telah menjaga selama 28 tahun, teras utama dijadikan sebagai tempat sesembahan.
Sedangkan di teras ketiga, terdapat prasasti berbentuk lonjong dengan bagian atasnya elips. Dalam prasasti tersebut tertulis sejarah candi dengan bahasa Jawa kuno. Suasana angker di candi ini begitu terlihat. Apalagi, di sisi timur ada pohon beringin tua yang besar. Menurut Winartin, candi itu dulu ditemukan oleh warga negara Belanda bernama JLA Brandes. Sebab, dulu tempat itu digunakan untuk kebun teh. Oleh JLA Brandes, candi kemudian dibersihkan.
Dulu candi tersebut, menurut pak Puh, sering digunakan sebagai tempat sesembahan warga. Jika ada warga yang memiliki hajat atau keperluan, maka akan membawa sesajen, dupa, atau yang lainnya ke candi. Tujuannya meminta dawuh (wangsit). Melihat hal itu, pak Puh pun tidak tinggal diam. Hanya saja, untuk melarang secara terang-terangan juga tidak mungkin. Pak Puh pun membuat tamsil (perumpamaan) yang masih akal (logika).
Dalam setiap ceramah, pak Puh mengatakan bahwa memuja dan meminta pada pohon, batu, dan benda tidak masuk akal. “Masa, batu, dan pohon disembah. Padahal kan itu benda mati,” ujarnya. Jika warga mulai paham yang dimaksud, pak Puh kemudian mengarahkan bahwa yang wajib disembah adalah Allah SWT, selain itu syirik.
Kini, menurut ayah empat anak ini, sudah sangat jarang warga desa Geger yang melakukan praktik sesembahan di candi tersebut. Sayangnya, Winartin mengatakan, kebanyakan yang datang dan melakukan sesembahan justru dari luar Geger. Baik dari pulau Jawa atau luar Jawa.
Kendati berada di puncak bukit, tapi jumlah penduduk Dusun Turi termasuk padat, ada sekitar 700 jiwa. Mereka tinggal bergerombol dan biasanya di dataran tinggi. Tak jarang yang berada tak jauh dari sungai atau tebing. Dari jumlah tersebut, sekitar 95 persen penduduknya beragama Islam. Selain Dusun Turi, ada empat dusun lainnya yang terletak di Desa Geger; Sukorejo, Geger, Tambibendo, dan Ngrejeng. Total jumlah penduduk, kira-kira 4000 jiwa. Jumlah warga Kristen sangat sedikit, hanya sekitar 250 jiwa. Selebihnya Islam.
Kini, semarak dakwah iIslam dirasakan di desa itu. Mengaji al-Qur’an, pengajian hingga semarak Ramadhan selama sebulan penuh. Tapi, masalahnya, pak Puh telah sepuh. Usianya menginjak 63 tahun dan kondisinya tubuhnya mulai rapuh.
Pak Puh khawatir, pasalnya jika tidak ada yang melanjutkan debut dakwah, jangan-jangan Islam kembali mati dan animisme tumbuh subur kembali. Ia khawatir semarak Ramadhan tak lagi seperti sekarang ini. Lantas, siapa mau turut membantu dan terketuk hati? [anshor/hidayatullah.com]