Hidayatullah.com | “LEBIH suka kerja,” jawab lelaki paruh baya itu singkat.
Tidak bekerja atau memasak selama berhari-hari, menurut Samin (59 tahun) malah dianggap lebih berat dan menyiksa dirinya. “Justru lebih capek kalau begitu (tidak memasak),” terang petugas dapur umum santri putra itu.
Itulah kesaksian Pakde Samin, panggilan akrabnya, saat ditanya tentang hari-harinya menjalani masa “lockdown lokal” ala Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan Kalimantan Timur.
Kalau kebijakan resmi pemerintah pusat, namanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Jauh hari, sebelum putusan Istana diluncurkan beberapa waktu lalu, para santri memang sudah lebih dulu dipulangkan ke rumah masing-masing. Akibatnya asrama jadi kosong melompong.
Aktifitas sekolah dipindahkan untuk belajar di rumah saja. Kini pondok pesantren yang seluas 138 hektare itu hanya dihuni oleh warga (yang berumah tangga) saja.
Bagi Pakde, hari-hari itu seharusnya bisa dinikmati lebih tenang bersama keluarga di rumah. Apalagi anak-anaknya yang selama ini tinggal berpencar di beberapa kota, ikut-ikutan pulang semua ke rumah.
“Sekarang di rumah itu berkumpul lima anak (kepala keluarga). Lengkap dengan anak-anaknya. Pokoknya ramai,” terangnya tersenyum baru-baru ini.
Samin bahkan mengaku selama “masa tenang” itu dirinya tidak lagi pernah beraksi di dapur. Anak-anaknya secara bergiliran yang memasak. Samin dan istrinya Mujayatin, hanya menunggu apa-apa yang dihidangkan di meja makan. Pokoknya ia tidak tahu menahu tentang urusan dapur lagi. Tinggal menikmati saja.
Uniknya, pelayanan full service dari anak-anaknya itu justru tidak membuatnya betah di rumah. Apalagi ditambah dengan anjuran untuk shalat berjamaah di rumah saja. Tidak perlu datang ke masjid. Semua itu diakuinya sebagai ujian kesabaran dan ketaatan.
“Tidak memasak di dapur umum dan tidak shalat di masjid itu rasanya gimana gituh,” ucapnya polos.
Saban hari, ia harus menyediakan makanan untuk porsi lima ratus santri putra. Tiga kali dalam sehari semalam. Itupun harus tepat waktu. Artinya, untuk sebanyak itu, sekali masak bisa menghabiskan lima karung sekaligus.
“Sebulan itu bisa habis sampai 150 karung (masing-masing ukuran 25 kg),” jelasnya. Itu baru urusan nasi saja. Belum lagi dengan memasak sayur dan lauknya.
Memenuhi kebutuhan ratusan santri di atas, Pakde Samin mengaku biasa mengolah hingga 25 ekor ayam untuk sekali makan. Sedang lauk ikan, dibutuhkan 30-40 kg dan kalau telur sampai 13-15 rak telur sekaligus.
Untuk diketahui, semua kegiatan dan proses memasak itu hanya dikerjakan berdua saja, Samin bersama istrinya. Itu sudah termasuk belanja setiap hari ke pasar.
Capek? Jelas. Melelahkan? Itu sudah pasti. Tapi itulah yang kini dirindukan oleh Samin hari ini. Berharap virus corona jenis baru (Covid-19) yang mewabah tersebut segera diangkat dan semua orang bisa beraktifitas dan shalat berjamaah kembali di masjid seperti biasa.
Pria yang hijrah ke kampus Gunung Tembak sejak tahun 1980 itu rindu untuk kembali ke dapur. Dan kembali memasak untuk ratusan santri lagi.
Baca: ‘Bapak Rela Disemprot Setiap Waktu Asal Bisa Shalat di Masjid Lagi’
“Turis”
Koki atau jago memasak, sebenarnya bukan pilihan hidup Samin. Dari Sepaku, Penajam Paser Utara (PPU) ia masuk pesantren di usia 18 tahun. Hal itu disebutnya karena didorong ingin belajar ilmu agama lebih dalam.
Untung tak bisa diraih, pesantren yang dituju saat itu baru di tahap perintisan, bahkan baru sedang membuka lahan di tengah hutan.
Akhirnya, bukan belajar formal di sekolah yang didapat seperti diidamkan, Samin muda malah lebih banyak bekerja dan bekerja. “Bisa dikata “selingan” kerja hanya shalat berjamaah di masjid saja, waktu itu,” kenangnya sambil tersenyum.
Bertahun-tahun ditempa di lapangan, Samin malah didapuk jadi ahli mesin pemotong kayu, atau operator machine shaw. Urusan potong-memotong batang pohon atau kayu gelondongan di hutan akhirnya diserahkan kepada Samin selalu.
Tidak hanya itu, Samin juga dikenal sebagai “dokter turis” (tukang rintis). Dia bukan cuma piawai menari-nari dengan mesin pemotong rumput, tapi juga bisa membongkar mesin dan memperbaikinya.
Sampai kemudian, Samin mendapat titah untuk mengurus dapur umum khusus santri putra. Tidak tanggung, ratusan santri menjadi tanggungannya sejak itu.
“Urus dapur itu modalnya taat saja sampai sekarang,” terangnya.
Kini sambil menunggu pandemi Covid-19 mereda, Samin lebih memilih bertanam singkong dan beternak ayam di belakang rumahnya.*