SEBUAH mikrolet jurusan Kampung Melayu bergerak perlahan di Jalan Otista Raya, Jakarta Timur yang sedang macet. Di dalam mikrolet, duduk berhimpitan belasan anak muda dengan seragam berwarna khas kostum Persatuan Sepakbola Indonesia Jakarta (Persija). Pasukan orange ini bukan The Jakmania yang hendak mendukung klub kebanggaan ibukota. Mereka masih berstatus mahasiswa di sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi di Depok, Jawa Barat.
Para mahasiswa tersebut jauh-jauh datang dari sudut Kelurahan Kalimulya, Kecamatan Sukmajaya, Depok guna menjadi relawan penanggulangan banjir di Jakarta. Padahal, mereka sendiri bukan berasal dari kalangan berada. Saat menempuh perjalanan menuju ibukota pun, 16 mahasiswa ini harus menguras akal dan nyaris batal.
Kamis, 17 Januari 2013, banjir besar sudah melanda Jakarta. Malam harinya selepas shalat Isya’, para relawan langsung bergerak meninggalkan kampus mereka di Depok.
“Kita perginya dadakan sekali,” ujar Muhtadin, 19 tahun, dalam bincang-bincang dengan hidayatullah.com di basecamp mereka, Jalan Cipinang Cempedak Jakarta Timur (19/01/2013).
Tadin, sapaan akrabnya, bercerita. Saat itu salah seorang pembina mereka di Search and Rescue (SAR) Ir. Muh. Musafir meminta mereka untuk bergeser ke lokasi banjir di Jakarta. Mendapat perintah tersebut, Tadin dan kawan-kawan langsung berangkat dengan persiapan seadanya.
“Sami’na wa’atho’na (kami dengar dan kami taat),” tambah bujang asal Aceh ini.
Polisi Dermawan
Masalah muncul saat mereka tiba di Stasiun Depok Lama. Kereta Rangkaian Listrik (KRL) tujuan Jakarta yang akan datang adalah Commuter Line, dengan tarif lebih mahal dari KRL Ekonomi. Sementara dana darurat dari kas SAR yang mereka bawa hanya cukup untuk Kereta Ekonomi. Sementara para petinggi SAR termasuk ketua dan bendahara justru sedang bertugas di Kalimantan dan Sulawesi.
Sebelumnya, Musafir berpesan, agar setiba di stasiun mereka menyampaikan kepada petugas soal status mereka sebagai relawan penanggulangan banjir.
“Bilang aja dari Tim SAR, Insya Allah pasti ada kemudahan,” ujar Tadin, menirukan pesan guru yang juga pembinanya itu.
Para relawan pun melobi pihak stasiun. Tapi petugas loket karcis, lanjut Tadin, mengaku tidak bisa memberikan tiket gratis buat Tim SAR.
“Kata (petugas) nya harus tetap beli,” terangnya.
Saat itu di Stasiun Depok Lama sejumlah petugas keamanan sedang berjaga, di antaranya dua personel Brimob. Para relawan lalu menyampaikan tujuan mereka kepada keduanya.
Anggota polisi tersebut, cerita Tadin, cukup mengapresiasi keinginan relawan. Tapi aparat militer ini mengaku tidak bisa bertanggung jawab soal tiket gratis di kereta. Sementara keberangkatan relawan belum ada kepastian, KRL Commuter Line tujuan Jakarta sebentar lagi datang.
Tiba-tiba saja, salah seorang polisi meminta kartu anggota SAR Dhiyauddin, 19 tahun, pimpinan rombongan relawan. Setelah mengamati kartu SAR milik Dhiyauddin, anggota Brimbo tersebut langsung mengeluarkan selembar uang berwarna biru.
“Ya sudah, ini tambahan buat kalian untuk beli karcis,” kata polisi itu seperti ditirukan Tadin.
Tapi uang segitu belum cukup untuk membeli tiket kereta seharga Rp 8.000. Tahu-tahu, polisi yang satunya memberikan uang senilai yang sama dengan rekannya kepada mereka. Tadin cs pun girang bukan main. Setelah berterima kasih kepada kedua polisi dermawan itu, mereka bergegas membeli tiket kereta.
“Yang penting jalan dulu. Yakin dengan (niat) membantu sesama, pasti dibalas,” ujar Tadin, merasa bersyukur atas bantuan Allah lewat kedua polisi tersebut.
Keyakinan Tadin dan kawan-kawan semakin kuat saat di atas kereta menuju Stasiun Duren Kalibata, malam itu juga. Dian, sapaan ketua rombongan ini, bercerita. Mereka bertemu seorang ibu di atas KRL. Ibu itu menanyakan tujuan mereka ke Jakarta. Dijelaskanlah bahwa mereka hendak membantu para korban banjir. Mungkin karena terharu dengan niat tulus anak-anak muda tersebut, ibu tadi lantas menyerahkan sejumlah uang kepada Sholihin, kawan mereka yang bertindak sebagai bendahara.
“Dia berikan uang Rp 200.000,” kata Dian yang berasal Balikpapan, Kaliman Timur.
Panggilan Agama
Jika ongkos kereta saja para mahasiswa tersebut harus dibantu polisi untuk sampai ke Jakarta, mengapa mereka rela capek-capek meninggalkan Depok?
“Panggilan agama,” aku Sholihin, 20 tahun, asal dari Penajam Paser Utara, Kaltim.
Sholihin mengaku keikutsertaannya dalam tim relawan ini karena agama Islam memerintahkan membantu orang yang sedang mendapat musibah dan butuh pertolongan. Setali tiga uang, Dian merasa terpanggil jiwa sosialnya untuk membantu meringankan beban warga Jakarta.
“Ini sentakan sosial saya sebagai Muslim,” kata Tadin dengan mantapnya.
Tadin, Dian dan Sholihin saat ini duduk di semester VI STIE Hidayatullah, Depok. Meski bukan berasal dari kalangan berada, para relawan muda ini tetap semangat memberikan sumbangsih buat para korban banjir.
“Semaksimal mungkin apa yang kita bisa bantu,” tambah Dian.
Sholihin berpendapat, “Dalam keadaan bagaimanapun, selalu ada orang yang di bawah kita.”
Tentu saja, para relawan muda ini datang bukan bermodal nekad dan keyakinan saja. Walau statusnya masih mahasiswa, mereka sudah sering mendapat pembinaan SAR, baik untuk aksi penyelamatan di darat maupun air.
“Selama ini sudah sering latihan. Di Cikaret kemarin kita main perahu (water rescue),” terang Dian.
Aksi Perdana
Kepada hidayatullah.com (19/01/2012), Musafir, pembina mereka menjelaskan, para mahasiswa tersebut sengaja “dilepas” ke medan banjir besar di Jakarta sebagai bentuk pendidikan.
Menurut Musafir, perintah mendadak terjun ke lapangan kepada anak-anak muda justru sebagai upaya meningkatkan kemampuan mereka.
“Kemampuan di segala bidang,” ujarnya juga, dengan maksud agar mereka semakin cakap secara pribadi dan kesolidan tim.
Sejak Jumat (18/01/2013) pagi hingga Sabtu ini, para relawan muda tersebut sudah menunjukkan aksinya. Jumat pagi itu, setelah persiapan di basecamp mereka Masjid Baitul Karim, para relawan langsung bergerak menuju Kampung Melayu. Bukan dengan mobil khusus ala tim Badan SAR Nasional misalnya.
Dari Baitul Karim, mereka berjalan kaki menuju pertigaan Polonia – Otista Raya. Dari situ lalu melanjutkan perjalanan ke Jatinegara menggunakan mikrolet. Dengan seragam orange, mereka berjubel di atas angkutan umum.
Saat hidayatullah.com meninjau lokasi pengungsian banjir Jalan Jatinegara Barat, Jakarta Timur, sejumlah relawan SAR Hidayatullah tampak sigap bekerja sama dengan Islamic Medical Service (IMS) melayani pengungsi. Dari Jatinegara, sebagian bergeser ke Bidaracina.
“Kita sudah maping, membaca kondisi. Soalnya persediaan teman-teman terbatas. Sambil menunggu arahan selanjutnya,” terang Dian lagi, yang mengaku ini kali pertamanya dia mengevakuasi korban banjir.
Mereka juga berdoa semoga musibah ‘rutin’ Jakarta ini segera berakhir.
“Saya berharap (banjir) menyadarakan masyarakat,” tandas Sholihin.*