Hidayatullah.com | MAKIN ke sini suara itu kian jelas terdengar. Tanpa perlu menengoknya, sebagian warga memang sudah hafal dengan teriakan itu. Ada beberapa alasan memang untuk analisis itu.
Pertama, suaranya yang terdengar serak-serak. Nyaris semua orang yang biasa interaksi dengannya hafal dengan genre suara itu.
Kedua, nama kue yang diteriakkan. Bisa dikata penganan itu tak banyak yang menjualnya di daerah ini. Karena memang ia butuh proses yang tak singkat dalam mengolahnya.
Ketiga, soal waktu. Meski tak juga rutin jualan setiap hari. Tapi sore hari selalu jadi pilihan waktu favorit bagi yang ingin keliling jualan. Khususnya di sekitar perumahan warga yang terletak di ujung timur kota Balikpapan tersebut.
“Donat…! Donat…!”
Benar saja. Tidak lama kemudian muncul pemilik suara itu. Cuma seperti ada yang aneh dari tampilannya. Kalau dulu ia menjajakan donat bikinannya dengan mengendarai motor. Kali ini homemade itu dibawa keliling pakai kereta bayi yang didorongnya pakai tangan kanannya.
Ah, soal terlihat aneh, sebenarnya bukan hal baru lagi. Kadang penjual penganan yang berbentuk bulat dan ada lubang di tengahnya itu berkeliling jalan kaki pakai tongkat, memakai jubah atau gamis panjang, lengkap dengan surban di kepala. “Seperti zaman Nabi Musa,” ujarnya tersenyum.
“Laris saja kah jualannya?” tanyaku to the point. Kali ini penjual yang tak lain sahabat sejak santri itu tiba di samping rumah. Aku sendiri sejak tadi sedang bersih-bersih halaman dan bakar sampah daun kelapa yang jatuh karena kering.
“Alhamdulillah, namanya rezeki ya ada saja,” jawabnya tersenyum. “Wah apinya besar sekali. Tinggi sampai ke atas,” kawan itu tiba-tiba mengomentari api yang memang sedang berkobar.
Soal api, kawan ini memang tergolong sensitif. Konon, ada banyak kisah hidupnya terkait dengan api. Suka bakar-bakar sampah, juga maksudnya. Makanya tak heran, ia langsung komentar tentang sampah yang lagi dibakar itu.
“Eh tahu tentang corona kah? Apa itu, orang bicara tentang corona semua sekarang.”
Namanya juga ngobrol pinggir jalan. Tema apa saja bisa muncul dalam percakapan. Kali ini teman itu bertanya soal wabah yang sedang melanda. Semua orang memang terkena efek virus flu jenis baru tersebut.
“Biasa. Ada virus yang menyebar,” jawabku singkat.
“Bahaya kah itu?”
Saya menjelaskan jika virus corona yang telah menelan banyak korban itu penyebarannya sangat cepat.
“Eh pulang dulu ya, sudah jelang Maghrib,” kali ini penjual donat itu pamit sambil menyodorkan tangannya hendak salaman.
Waduh, karena terlanjur diulur, akhirnya tangan itu kusambut dan kami berjabat tangan sebelum dia pamit pergi.
“Lho kok ketawa?” ungkapku. Heran saja. Setelah salaman, eh dia langsung tertawa senang.
“Iya soalnya beberapa kali saya ajak orang salaman, tidak ada yang mau salaman dengan saya,” jelasnya sambil pergi dengan tawanya. Aku sendiri buru-buru masuk rumah. Cuci tangan dan langsung mandi.* Masykur