SYEIKH MUHAMMAD ZAHID AL KAUTSARI, partama saya bersinggungan dengan pemikiran ulama ini saat membaca kumpulan artikelnya yang ditulis di sejumlah majalah yang terbit di Mesir, Al Maqalat Al Kaustari.
Dalam Al Maqalat, Wakil Ulama Kekhalifahan Al Utsmani ini banyak membahas masalah aqidah, hadits, fiqih, tarikh dan lainnya. Dari Al Maqalat, akhirnya jatuh cinta kepada karya-karyanya lainnya, yang mayoritas berbentuk tahqiq kitab dan komentar (ta’liq).
Sebagaimana ulama yang lain, Syeikh Zahid Al Kautsari memiliki rival yang mengkritiknya seperti Syeikh Abdurrahman Al Mua’llimi dan kelompok yang mengkritiknya. Ulama madzhab Hanafi yang ahli di bidang fiqih, hadits sekaligus ilmu kalam bahkan disesatkan oleh pihak yang berseberangan pemikiran dengannya.
Tentu, sebagai penuntut ilmu, perbedaan pandangan antar ulama tidak menjadikannya enggan untuk mengambil manfaat dari karya-karyanya, lebih-lebih jika tuduhan datang dari sejumlah pihak yang memang sejak awal berbeda pandangan dengan ulama ini. Dengan demikian minat untuk mengkaji karya Syeikh Al Kautsari tetap tidak terganggu.
Namun, “kenyamanan” ini akhirnya mulai terusik, setelah pihak pengkritik menukil dari Syeikh Mahmud Said Mamduh, ulama hadits Mesir yang kami hadiri majelisnya. Kata mereka, Syeikh Mahmud menilai bahwa Syeikh Zahid Al Kautsari adalah seorang penganut madzhab Hanafi yang fanatik.
Tentu, perlu memastikan keabsahan kutipan itu. Usaha itupun saya lakukan, dan akhirnya kami mendapati hal itu benar. Ya! Syeikh Mahmud menyatakan dalam desertasinya Al Ittijahat Al Haditsiyah mengenai Syeikh Zahid Al Kaustari ini,”kefanatikannya cukup dikenal.”
Dan perkataan itu tentulah bisa diambil ibrah, karena yang berkata sudah mengkaji banyak karya Syeikh Zahid Al Kautsari dan guru-gurunya adalah murid dan orang yang pernah hidup sezaman dengan ulama yang hijrah ke Mesir ini, pasca kekhalifahan digulingkan Inggris.
Sejak itu cara memandang pribadi Syeikh Al Kautsari dan karya-karyanya mulai berbeda. Minimal, semangat dalam mengkaji karya-karyanya tidak sekuat sebelumnya. Dan semakin lama, semakin hilang minat pada karya-karya Syeikh Al Kautsari. Ya, apa gunanya mengkaji pemikiran seorang yang ta’ashub? Demikian pikiran yang muncul.
Hingga suatu saat, Syeikh Mahmud Said mengajak para penuntut ilmu melakukan ziyarah makam sejumlah ulama besar di Al Qarrafah, pemakaman yang dibuka oleh Umar bin Al Khaththab saat umat Islam menguasai Mesir. Kami bersama menziyarahi makam beberapa ulama besar antara lain Sayyidah Nafisah, Imam Asy Syafi’i, Ibnu Athailah, Ibnu Daqiq Al Ied, Ibnu Abi Jamrah. Tidak cukup deretan ulama itu, ternyata Syeikh Mahmud juga membawa kami ke makam Syeikh Muhammad Zahid Al Kautsari! Ya, seorang guru mengajak para anak didiknya untuk menziyarahi makam dan berdoa untuk orang yang ia sebut sebagai ulama yang fanatiknya cukup dikenal!
Di makam Syeikh Muhammad Zahid dan putrinya itu, agak lama sang guru berdoa untuk ruh penguni kubur dan puluhan penuntut ilmu mengamini. Tidak hanya ziyarah dan berdoa, Syeikh Mahmud juga menjelaskan mengenai riwayat sahib al qabr dan keshalihan serta keilmuannya. Setelah kami meninggalkan makam Syeikh Muhammad Zahid juga pemakamanAl Qarrafah, “kuliyah” sang guru mengenai Syeikh Zahid Al Kautsari berlanjut di mobil, di sepanjang perjalanan pulang dari ziyarah.
“Ia adalah seorang allamah (sangat alim)”, “Beliau fanatik, tapi fanatiknya berdasarkan ilmu!”, “Dalam kata-katanya terdapat cahaya!” Itulah kata-kata yang masih terngiang-ngiang di telinga mengenai Syeikh Muhammad Zahid Al Kaustari, yang keluar dari lisan murid Musnid Al Ashr, Syeikh Yasin Al Fadani ini.
Pada kesempatan itu, kami pun banyak memperoleh informasi mengenai Syeikh Zahid Al Kautsari. Lalu, semangat untuk kembali mengkaji pemikirannya pun berkobar.*