INI adalah pertama kali saya mengunjungi masjid Imam As Syafi’i menggunakan angkutan umum. Tidak terlalu sulit sebenarnya, hanya karena pertama kali melakukan perlu sedikit jerih payah untuk terus bertanya.
Dari perempatan Sayidah Aisyah Kairo menuju masjid Imam As Syafi’i hanya perlu masuk “ke dalam” sejauh satu kilometer.
Namun meski demikian ternyata tidak banyak yang tahu, di lokasi yang terdapat masjid yang di depannya terhadap makam Sayidah Aisyah putrid Imam Jakfar Shadiq.
Saya perlu bertanya sampai 4 orang hingga mengerti di mana posisi masjid tempat Imam As Syafi’i menyebarkan ilmunya itu. Pertama saya bertanya kepada seorang bapak, iya hanya menjawab,”Saya tidak tahu”.
Saya memilih seorang anak muda yang kelihatan terpelajar, ia malah manjawab dengan bahasa Inggris, “ I don’t know.” Meski saya bertanya berkali-kali menggunakan bahasa Arab, ia tetap menjawab dengan Inggris.
Saya memilih-milih lagi orang yang kira-kira mengetahui di mana posisi masjid ulama mujtahid itu berada. Akhirnya saya menjatuhkan pilihan kepada seorang laki-laki yang menunggu angkutan, kali ini ia menyarankan untuk masuk ke kiri. Sebelum saya pergi ia bertanya kepada laki-laki lainya yang kebetulan melintas dan laki-laki itu pun menyarankan saya untuk masuk ke arah kanan.
Saya pun mantap dengan jawaban terakhir karena laki-laki itu memberi petunjuk lebih rinci.
Saat kendaraan yang saya tumpangi tengah bergerak menuju Imam Syaf’i saya pun bertanya lagi kepada lelaki remaja yang duduk di samping saya untuk memastikan agar tidak kebablasan, ia pun menjawab,”Saya tidak tahu”.
Belakangan saya tahu ternyata saya sudah di jalan Imam As Syafi’i dan jaraknya dengan masjid Imam As Syafi’i hanya sekitar 200 meter.
Pesan Imam Al Waqi
Akhirnya di tepi jalan yang dijadikan pasar oleh penduduk setempat, sebelum memasuki area masjid, sekitar 100 meter dari masjid saya menemukan makam Imam Al Waqi, guru Imam As Syafi’i.
Di tembok makam terpampang syair Imam As Syafi’i, ”Syakautu ila Al Waqi su`a al hifdzi fa arsyadani ila tarki al ma`asyi wa akhbarani bianna ilmu nur wa nurullah la yuhda li al asyi.” (Aku telah mengadu kepada Al Waqi mengenai buruknya hafalanku maka beliau menasehatiku agar meninggalkan maksiat).
Beliau menyampaikan bahwa ilmu adalah cahaya sedangkan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat).
Ketika membaca syair itu saya merasakan seakan-akan Imam Waqi’ yang langsung menyampaikannya, berbeda rasanya ketika saya membacanya dari lembaran buku-buku.
Untuk menuju Masjid Imam As Syafi’i perlu menyusuri jalan pasar yang becek dan banyak sampah , meski merupakan tempat bersejarah yang mana pemerintah Mesir memberi tanda sebagai tempat bersejarah no. 281 namun kondisi halaman masjid terlihat kotor dengan sampah yang bertebaran dan air pun terlihat menggenang di beberapa tempat.
Truk dan kendaraan pengangkut bak terbuka pun menjadikan halaman sebagai tempat parkir.
Kalau di zamannya, di masjid ini majelis ilmu khususnya berkenaan dengan madzhab As Syafi’i digelar bermula dari Imam As Syafi’i kemudian diteruskan Imam Muzani, namun kini tidak tampak ada kajian keilmuan seperti kala itu.
Beberapa waktu lalu beberapa ulama Mesir berinisiatif untuk berupaya menyemarakkan masjid ini, hingga digelarlah pengkhataman dan periwayatan Musnad Imam As Syafi’i yang disampaikan oleh salah satu ulama musnid Mesir yakni Syeikh Dr. Rif`at Fauzi Abdul Muthallib yang juga dikenal sebagai ulama yang berkonsentrasi mentahqiq karya Imam As Syafi’I antara lain Al Umm, Ar Risalah dan Musnad Imam As Syafi’i itu sendiri. Tidak hanya terdapat makam Imam As Syafi’I, di samping masjid berimpitan dengan dinding sebelah kanan sendiri terdapat makam Syeikh Al Islam Zakariya Al Anshari ulama besar Syafi’iyah yang merupakan murid dari Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani.
Sedangkan makam Imam As Syafi’i sendiri berada di pojok kanan samping masjid yang berhimpitan dengan makam murid beliau Ibnu Abdil Hakam dan Imam As Syafi’i sendiri dimakamkan di hujrah Ibnu Abdil Hakam.
Toleran dalam Madzhab
Dari perjalanan ini saya merasa memperoleh pelajaran dan hikmah besar.
Dalam Manaqib Imam As Syafi’i yang ditulis Imam Al Baihaqi disebutkan bahwa sebelum wafat para murid Imam As Syafi’i pun berkumpul di sekeliling beliau di situ ada Imam Al Buwaiti juga Ibnu Abdil Hakam.
Ibnu Abdil Hakam sendiri menginginkan bahwa kelak beliau bisa menggantikan posisi Imam As Syafi’i dalam menyampaikan ilmu beliau akan tetapi Imam As Syafi’i memutuskan bahwa pengganti beliau adalah Imam Al Buwaiti.
Mengenai Ibnu Abdil Hakam Imam As Syafi’i menyampaikan kepada Ibnu Abdil Hakam, ”Adapun engkau wahai Muhammad engkau akan kembali kepada madzhab ayahnya.”
Ayah Ibnu Abdil Hakam yakni Abdul Hakam sendiri adalah ulama penganut madzhab Maliki. Dari kisah itu tercermin betapa para ulama terdahulu amat toleran hingga tidak memaksakan madzhabnya, Imam As Syafi’i tidak mencegah muridnya untuk berbalik mengikuti madzhab Maliki.
Demikian juga Ibnu Abdil Hakam, meski akhirnya menganut madzhab yang berbeda dengan Imam As Syafi’i, tetap menyediakan hujrahnya sebagai tempat dimakamkan guru beliau itu dan beliau sendiri akhirnya juga dimakamkan berhimpitan dengan makam sang guru.
Padahal, di awal Imam As Syafi’i masuk Mesir dengan mambawa madzhab beliau, para ulama madzhab Miliki yang terlebih dahulu menyebar madzhabnya marasa khawatir atas eksistensi madzhab mereka hingga ada yang berdoa agar Allah segera mewafatkan Imam As Syafi’i.
Namun ketika kita menyaksikan hubungan antara Imam As SyafiiI dengan Ibnu Abdil Hakam terlihat bahwa Imam As Syafi’i juga tidak memiliki niat untuk mempengaruhi penganut Maliki apalagi mengusik madzhab mereka.
Karena rasa ingin tahu lebih banyak mengenai ulama yang dimakamkan di sekitar lokasi ini, saya pun bertanya kepada dua penjaga yang terlihat mengarahkan para pengunjung.
Keterangan keduanya menyebutkan bahwa Imam Ibnu Hajar juga dimakamkan di daerah tidak jauh dari masjid adapun makam Imam Ath Thahawi berada di sekitar Sayidah Aisyah.
Namun karena waktu sudah menjelang sore saya pun memutuskan untuk mengakhiri perjalanan ini. Mudah-mudahan di lain waktu bisa memperoleh hikmah dan pelajaran kembali dari para ulama besar lainnya meski mereka sudah wafat.*