SEBUT saja Ahmad, rutinitas kerjanya dimulai kira-kira jam sembilan pagi. Di kios tanpa dinding yang beratap seng itu, Ahmad mencari nafkah dengan menjual jasa las knalpot dan reparasi bodi mobil. Kadang ia sendiri terlihat ditemani satu dua anak belia yang ikut bekerja bersamanya. Tentu, kondisi tempat ia bekerja penuh dengan noda mesin sebagai layaknya sebuah tempat reparasi demikian juga kondisi pakaian mereka mereka yang “bergelut” di tempat itu.
Dalam aktifitas, Ahmad bersama para rekannya ditemani sebuah radio yang disalurkan ke kotak salon, yang sengaja ditempatkan dalam “rak” khusus yang menempel di salah satu tiang bangunan tempat mereka berteduh. Dari kotak itu, lantunan ayat-ayat suci Al Qur`an berkumandang mengiringi kegiatan para lelaki “benkel” itu, baik di saat konsumen datang maupun tidak. Bengkel dan “mengaji” masih terluhat aktif hingga waktu isya.
Ya, di Kairo, di toko kelontong, penjual di pasar-pasar, bengkel juga bus dan kendaraan angkutan umum telinga akan “akrab” dengan suara “mengaji” seperti yang terdengar di bengel Ahmad.
Idza’ah Al Qur`an Kairo telah berjasa menggaungkan “lantunan wahyu” ke seluruh antero Mesir, ke jutaan pasang telinga para penduduknya. Radio yang didirikan awal enam puluhan di masa Jamal Abdul Naser ini melakukan tugasnya sebagaimana dikatakan ulama besar Al Azhar, Syeikh Abdul Halim Mahmud, saat awal mula radio itu mengudara, “Di hari pertama, kami mendengarkan Al Qur`an, baik di jalanan, rumah-rumah serta perokoan yang menciptakan ketenangan.”
Merespon Pemalsuan Zionis terhadap Al Qur`an
Radio yang mengudara pertama pada Rabu 11 Dzulqa’dah 1383 (25 Maret 1964), didirikan bertolak dari ayat Al Qur`an, yang artinya,”Sesunggunya Kamilah yang telah menurunkan Al Qur`an dan sesunggunya Kami benar-benar penjaga baginya.” [Al Hijr: 9]
Dimana dijelaskan oleh salah satu tokoh pendirinya, profesor Syari’ah Islam di Universitas Alexandria Muhammad Kamal Imam, bahwa radio Idza’ah Al Qur`an (Siaran Al Qur`an) merespon apa yang dilakukan pihak penjajah Zionis yang mencetak Al Qur`an dengan pemalsuan yang disebarkan di Afrika.
Kala itu, di mushaf yang dicetak dengan format lux namun dengan harga murah itu, mengandung pemalsuan pada ayat Al Qur`an yang artinya “Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” [Ali ‘Imran: 85]
Dimana yang tertulis di mashaf itu, hilangnya kata “ghairu” yang artinya selain. Tentu bisa ditebak, maknanya berlawanan dengan makna semestinya yang menunjukkan bahwa hanya Islam yang diterima Allah.
Untuk merespon, akhirnya, Majelis Al A’la li Syu’un Al Islamiyah dan Hai’ah Kibar Ulama Al Azhar pun menerbitkan piringan hitam bacaan Al Qur`an murattal riwayat Hafsh dari ‘Ashim yang dibacakan oleh Syeikh Mahmud Khalil Hishri dan membagikannya ke berbagai negara dan dunia Islam.
Namun para penggerak melihat bahwa tidak semua pihak bisa mendengarkan piringan hitam karena terbatasnya alat pemutar piringan yang dimiliki, juga terbatasnya listrik, terutama untuk kalangan rakyat jelata. Akhirnya ide terus bergulir dan jatuh kepada keputusan untuk mendirikan radio Al Qur`an.
Saat ini Radio Al Qur`an telah mengudara lebih dari setengah abad. Ia tidak hanya berperan dalam penjagaan keaslian Al Qur`an, namun lebih dari itu, ia telah menjadi bagian dari “urat nadi kehidupan” masyarakat Mesir.*