Hidayatullah.com—Keterpaksaan, sering menjadi alasan seseorang untuk berbuat nekat. Betapapun berat harus dilalui, pasti bukan sebuah halangan. Kisah ini, terjadi pada seorang Muslimah asal Jawa Timur, yang meninggalkan desanya di sebuah negara yang belum pernah ia datangi sebelumnya. Ya, bekerja di Hongkong, demi menghidupi adik dan orangtua nya di desa. Kisah Buruh Migrant Indonesia (BMI) ini ia tulisan melalui surat yang dikirim ke redaksi hidayatullah.com. Inilah kisahnya;
***
Assalamu’alaikum,
Bagaimana kabar Ibu ditanah air, apakah baik-baik saja?
Kuharap engkau selalu sehat, keberkahan Allah menyertai Ibu, dan mudah-mudahan Allah mengangkat beban Ibu dan menggantinya dengan kelapangan dan ketenangan batin. Mudah-mudahan Allah memberikan kesabaran pada Ibu yang telah bersusah payah mengasuh adik-adikku yang telah yatim.
Ibuku sayang, kutuliskan deretan demi deretan curahan hatiku ini dengan iringan airmata, karena sesaknya dadaku menahan kerinduanku terhadap Ibu, kerinduanku untuk mencium tangan Ibu dan melihat senyum Ibu. Ma’afkan anak Ibu yang tidak bisa bersama Ibu karena terpisah negara. Ma’afkan anak Ibu yang telah durhaka dan tidak bisa mengusap airmata Ibu saat Ibu letih mengasuh adik-adikku.
Ibuku sayang, jika boleh aku memilih, tentu aku tidak mau terpisah dari engkau, namun apalah daya, untuk mencukupi kebutuhan perut, untuk membesarkan adik-adik, aku tidak punya pilihan, terpaksa harus keluar negeri menjadi BMI agar adik-adikku tetap bisa mendapatkan pendidikan yang layak, ma’afkan aku Ibu jika pilihan ini tidak dapat dibanggakan.
Ibuku sayang, begitu banyak orang-orang merendahkan statusku, begitu banyak orang menghinaku, bahkan termasuk bapak-bapak DPR kita, seolah begitu buruknya derajat BMI di mata mereka. Aku tidak peduli Ibu, aku tidak mau mendengar ocehan mereka, hatiku tidak bisa berdiam diri melihatmu yang ringkih harus bekerja keras membesarkan adik-adik semenjak Bapak wafat, sebagai wanita yang sehat dan mampu bekerja, aku tidak ingin berpangku tangan melihat wanita yang kumuliakan harus bersusah payah memperjuangkan hidupnya demi anak-anak yatim itu.
Ibu, janganlah engkau ikutan kecewa dengan statusku yang hanya menjadi BMI, karena aku bekerja dengan cara yang halal, tidak mencuri apalagi menjual diri. Aku benar-benar bekerja dengan jujur, banting-tulang, keluar keringat, walau rendah di hadapan manusia. Tak masalah ibu, asal engkau dan Allah swt ridho, bagiku cukup.
Ibuku sayang, begitu banyaknya orang melecehkan kami, kadang dada ini panas dengan semua itu, namun engkau dan adik-adik adalah motivasiku, sehingga aku bisa tegar terhadap hujatan manusia-manusia yang pura-pura alim tersebut.
Ibuku sayang, kami, bahkan mengalami diskriminasi dari pemerintah. Semenjak kami berangkat dari tanah air sendiri maupun negara tujuan. Anehnya ibu, kami mendapat perlindungan dari pemerintah di negara tujuan kami, sebuah negara asing.
Tahukan Ibu, bahwa di sini, tidak ada praktek korupsi dan tidak ada rakyat kelaparan, aku sungguh merindukan negeriku akan seperti itu Ibu. Di sini kami berhak memenjarakan bos kami andai mereka melecehkan kami, hukuman di sini tidak dapat dibeli.
Ibuku sayang, kini aku banyak menemukan nilai Islam yang sebenarnya di negara yang tidak mengenal agama ini. Aku juga menemukan banyak ilmu, aku baru tahu jika ternyata syirik yang lazim dilakukan penduduk kampung kita itu adalah dosa besar yang tidak diampuni Allah. Aku bahkan benar-benar baru tahu bahwa kewajiban menutup aurat secara benar baru sekarang. Sungguh aku bersyukur di negara non Muslim ini aku bisa menemukan hidayah Allah.
Ibuku sayang, banyak yang mengatakan kami ini wanita buruk yang menyalahi agama karena meninggalkan rumah. Namun Ibu, jika mereka tahu kondisiku dan sekiranya mereka memiliki akal, tentu tidak mungkin bagiku duduk diam melihatmu banyak beban sendirian. Siapapun yang masih punya hati, tentu akan melakukan sesuatu untuk membahagiakan dan meringankan perjuangan Ibunya.
Ibu, pedihnya hati dan cucuran air mata ini, cukuplah aku saja yang merasakannya, jangan sampai Ibu yang mengalaminya. Yang menjadi BMI biarkan aku saja, dan adik-adikku biarlah mencari ilmu agar nasibku tidak sepertiku dikemudian hari.
Ibu, ingatlah satu hal, perjuanganku ini, tentu bukan apa-apanya dibanding saudari-saudariku di Palestina, di Kashmir atau Afghanistan.
Ibuku sayang, aku sungguh rindu terhadap Ibu, namun Allah belum mengizinkan kita bersua. Izinkan aku berjuang sesaat mencari uang dan mencari ilmu di negara maju ini. Mohon doa dan ridhomu yang sungguh sangat aku butuhkan. Tetaplah tegar mendengarkan ocehan orang yang merendahkan kita. Biarlah kita menangis sementara di dunia, daripada menangis di akhirat.
Kuakhiri goresan tintaku terhadap Ibu, mudah-mudahan Allah tidak menggolongkan keluarga kita menjadi manusia-manusia merugi.
Salam sayang dan rinduku pada Ibu.
Dari anakmu
Yuliana, penulis Novel “Cahaya Ilahi Dari Gaza untuk Insan Atheis”
Foto: penulis menggunakan cadar