AKU adalah seorang anak dari desa di jalur pantura.Keluargaku, adalah keluarga biasa saja seperti keluarga yang lain di desaku pada umumnya.
Namun ibuku adalah wanita luar biasa. Walau kami tak berpunya, ia ingin anaknya mengenyam pendidikan setinggi-tingginya.
Ia rela hampir 10 tahun berpisah dengan keluarga, menjadi seorang pekerja di negeri penghasil minyak di Timur Tengah.
Semuanya ia lakukan, karena ia ingin aku dan adikku menggapai cita-cita kami. Terimakasihku kepadamu ibu, atas segala perjuanganmu, sungguh aku takkan bisa membalasnya sampai kapanpun jua.
Menjadi seorang guru adalah cita-citaku sejak aku masih mengenakan seragam merah putih.
Aku selalu terkesima dengan guruku di desa yang setiap hari dengan tulus dan telaten mengajariku banyak hal.
Menulis, membaca, berhitung, dan banyak hal lainnya. Betapa mulia apa yang dikerjakannya, pikirku saat itu.
Walau masih kecil, jika ditanya ingin menjadi apa, dengan mantap aku akan menjawab “menjadi guru.”
Tekadku yang membulat, menghantarkan langkahku menggapai cita-cita ke sebuah kota yang terkenal dengan sebutan “Kota Pelajar”.
Ya Yogyakarta, kota yang sangat ingin kukunjungi saat aku SMP. Namun batal, karena rencana studi tour kami diurungkan, karena peristiwa reformasi 1998.
Namun, rupanya Allah mempunyai skenario yang lebih indah. Karena Ia tetap mengaminkan doaku untuk datang ke kota ini.
Aku datang ke kota ini untuk menimba ilmu dalam rangka menggapai cita-citaku, menjadi seorang guru.
Aku memutuskan belajar di Jurusan Pendidikan Sejarah, di sebuah kampus yang dulu bernama IKIP ini, dan sekarang berganti menjadi UNY.
Dan sungguh perjalanan di kampus ini ternyata penuh dengan liku. Tak semulus yang kuduga, dan memang penuh dengan godaan dan tantangan, mampukah aku membuktikan tekadku itu.
Selain bangku kuliah, aku juga mendapatkan “kuliah kehidupan”, dari berbagai peristiwa yang ternyata telah menempaku menjadi seorang pribadi yang berbeda dari sebelumnya.
Diriku yang dulu tidak feminim mulai belajar mengenakan rok panjang karena ajakan seseorang yang mengajakku mengikuti kegiatan kerohanian di fakultas.
Diriku yang tadinya belum berhijab, belajar berhijab setelah gejolak batin yang kurasakan saat momen Bedah Film “Ramadhan di Kampus“, yang membahas “Arti Cinta Sebenarnya“.
Bedah film menyandingkan kisah cinta sejati, seorang pemuda Palestina yang memilih syahid “Mohammad Fathi Farhat” Vs “Meteor Garden” yang menjual cinta dunia. Anak muda Era 2000-an pasti tak asing dengan drama mandarin itu.
Di kampus itu, aku mulai berhijrah dari anak manja yang hanya pandai bermain dan tak tahu arah, kini mulai berjilbab besar yang diajak memikirkan tentang dakwah dan umat.
Sungguh hidayah ini adalah suatu anugerah terindah dari Rabbku, dalam kisah hidupku. Terima kasih yaa Allah, engkau masih memberiku kesempatan kepadaku belajar menjadi muslimah yang sempurna.
Banyak rona kehidupan kudapatkan di “Kampus Hijau” ini. Kuliah kehidupan aku dapatkan dari berbagai macam organisasi yang aku ikuti.
Dari Himpunan Mahasiswa, Unit Kerohanian Islam, hingga Koperasi Mahasiswa.
Tanpa kusadari semuanya telah menempaku menjadi pribadi yang tangguh, tidak mudah menyerah, dan yang pasti lebih mengenal indahnya Islam.
Pun Allah menghadirkan seseorang yang kini menemaniku dalam babak baru kehidupanku, kutemui di “Kampus Hijau” ini.
Bersyukur, sebelum aku menyelesaikan studi, aku sempat mengikuti sebuah pembelajaran membaguskan bacaan dari sebuah metode membaca al-Quran.
Dan ternyata hal inilah yang kemudian kini banyak menggoreskan pena dalam lembaran baru kehidupanku.
Bakda wisuda, saat itu aku sudah menggendong permata hatiku yang berusia 8 bulan.
Walau begitu, tak menyurutkan cita-cita ku untuk tetap menjadi seorang guru. Hingga kemudian, kulayangkan surat lamaran ke sebuah pondok pesantren yang baru pertama kali aku dengar namanya.
Konon, pesantren yang juga ormas Islam itu didirikan pertama kali di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Aku pun melamar menjadi guru SD
di sana, namun saat itu yang dibutuhkan adalah guru PAUD.
Karena keinginanku untuk terus belajar dan menggapai cita-cita, tawaran itu aku terima, dengan catatan “aku harus belajar”.
Karena jelas bidang studiku tidak tentang itu. Dan selama 3 tahun aku berjuang di PAUD ini.
Jalan kehidupanku kembali menemui likunya, saat itu aku memutuskan keluar dari PAUD dan berwirausaha bersama suami.
Berjualan jilbab dan budi daya jamur tiram, sempat kami jalani selama setahun. Namun, karena ketidaksiapan modal yang memadai dan usia muda kami, membuat kami belum bisa menjalani kehidupan menjadi wirausaha.
Pun kerinduanku menjadi guru kembali membuncah saat aku melintasi sebuah sekolah.
Kembali aku layangkan sebuah lamaran menjadi guru SDIT di Pondok Hidayatullah. Alhamdulillah, bekal belajar tahsin dan hafalan tahsin Juz 30 yang belum juga sempurna, aku diterima menjadi guru “Tahfidz Tadarus” saat itu.
Dan kini sudah 2 tahun lebih tak terasa aku telah menjadi guru al-Quran di sekolahku tercinta.
Huruf demi huruf aku ajarkan kepada mereka. Ayat demi ayat aku sampaikan kepada mereka.
Bersama murid-murid kecilku, aku belajar mencintai al-Quran, menghafal dan mengaji al-Quran.
Dalam untaian doaku, aku selalu memohon “Ya Rabb, beri hamba keistiqamahan meniti jalan ini.”
Jalan dakwah yang sudah sunnatullah tidak akan seindah taman bunga, karena pasti akan banyak kerikil dan jalan terjal disana.
Namun… walau akan berat jalan itu, tekadku akan selalu kupegang, aku ingin menjadi seorang guru.
Dan tekad itu, kini ia semakin indah karena di belakang kata guru itu terdapat tambahan kata al-Quran. Yaa menjadi “Guru al-Quran” itulah yang kini aku jalani.
MaaSyaaAllah sebuah kesyukuran luar biasa atas karunia nikmat Mu ini Yaa Allah.
Ijinkan hamba terus mensyukurinya, dengan terus bersabar melewati prosesnya.
Murid-muridku dan segala pernik di sekolah ini telah mengajarkanku arti cinta sebenarnya.
Perjuangan, kesabaran, ketulusan, memberi, dan rasa ikhlas. Terutama kepada murid-muridku, kuucapakan terima kasih, karena kalian telah memberikan warna-warna pelangi indah dalan lembar perjalanan gurumu ini.
Doakan semoga gurumu ini terus istiqamah menapaki jalan ini, agar kita bisa menjadi golongan orang yang terbaik, yang “belajar dan mengajarkan al Quran”. Aamiin.*/Ayun Afifah, seorang guru al-Quran di Yogya