Hidayatullah.com– Kamis, tanggal 19, bulan 9, tahun 2013, tepat pukul 13.56 WIB di ponsel saya, adalah detik waktu yang rasanya tak mampu terlukiskan dengan kata-kata.
Sejak dua pekan sebelumnya, saya dilanda kegalauan. Kontrakan tempat tinggal saya memasuki bulan kedua pembayaran. Sementara kocek pribadi sudah terkuras untuk memenuhi kebutuhan awal saya dan istri sebagai pengantin baru.
Mulai dari membeli perkakas rumah tangga hingga kebutuhan makan sehari-hari, cukup menelan biaya yang lumayan banyak. Kepada Pak Ahmad, sebut saja nama pemilik kontrakan itu, saya telah membayar biaya sewa kontrakan pada bulan pertama dicicil dua kali.
Pembayaran pertama Rp 250.000 akhir bulan 7 tahun 2013, saat serah terima kunci kontrakan. Pembayaran kedua pada tanggal 19 bulan 8 lalu dengan nilai yang sama. Saya mengira untuk bulan kedua, Pak Ahmad akan menagih pembayaran di awal bulan 9. Namun hingga pertengahan bulan ini, pria asli Betawi itu tak kunjung menagihnya.
“Mungkin Pak Ahmad menghitung pembayarannya mulai tanggal 19 tiap bulannya,” ujar saya kepada istri, dalam satu kesempatan.
Istri pun mengaku heran, mengapa Pak Ahmad belum datang-datang ke rumah. Saya pun berharap dugaan di atas benar. Singkatnya, mendekati tanggal 19 saya mulai galau. Uang Rp 500.000 –harga sewa bulanan– bukannya tidak ada. Tapi ada pembayaran lain yang harus diutamakan.
Alhasil, pasca tanggal 15, saya semakin galau. Beberapa kali ada rezeki berupa uang tunai dari arah tak terduga, namun digunakan untuk kebutuhan primer sehari-hari. Belum lagi sepeda motor saya butuh tindakan perawatan khusus. Saya benar-benar galau.
“Tapi ini hanya ujian, belum seberapa. Duit Rp 500.000 kecil banget di mata Allah,” batin saya menghibur diri.
Sebagai santri yang tak terbiasa berbisnis, mencari duit di luar “rejeki bulanan” bukan perkara mudah. Apalagi bagi pria yang tak terbiasa menabung banyak seperti saya. Maka jalan satu-satunya adalah meminta kepada Yang Maha Memiliki duit, Allah Subhanahu Wata’ala.
Namun timbul satu “godaan”, yaitu meminjam uang kepada orang lain. Sederet nama terbetik di benak saya; ada rekan seorang pengusaha, misalnya. Tapi kemudian sadar, kewajiban saya padanya beberapa waktu lalu belum tertunaikan.
Ada lagi satu nama yang paling kuat dalam harapan manusiawi saya, yaitu staf keuangan di kantor. Saya berniat meminjam padanya.
“Nanti saya ganti secepatnya jika honor telah turun,” janji yang akan saya katakan padanya jika jadi meminjam duit.
Tapi teringat, beberapa waktu lalu staf keuangan tidak bisa mengucurkan dana talangan kepada saya. “Harus bicara dulu ke pihak kantor,” dalihnya.
Saya pun mengurungkan niat meminjam duit ke staf keuangan. Tapi tanggal 19 terus mendekat. Doa-doa dan ibadah kepada Allah pun terus dikencangkan. Alhamdulillah, ada bonus penulisan dari sebuah media, Rp 150.000. Terjawab sedikit. Meski ternyata duit ini terkuras untuk transport dan konsumsi.
Akhirnya, Kamis “keramat” pun tiba. Saya meninggalkan kontrakan sekitar pukul 09.55 WIB. “Nanti kalau ada Pak Ahmad, tolong sampaikan kalau pembayarannya insya Allah besok,” pesan saya kepada istri sebelum pamitan. Meski agak bimbang, saya kembali memantapkan niat untuk pinjam duit ke kantor.
Usai zuhur, saya bergeser ke meja staf keuangan. “Alasan” awal saya menyerahkan lembar klaim dana operasional kantor. Lumayan, Rp 111.000 akan saya terima dari staf keuangan sebagai dana pengganti biaya tugas saya beberapa waktu ini.
“Mas, sini!”
Staf tadi memanggil. Saya berdebar-debar. Bukan karena akan dapat duit klaim. Tapi saya akan memberanikan diri meminjam (kembali) duit bendahara.
Sekitar pukul 13.55 WIB, staf tadi menyerahkan beberapa lembar kuitansi beda warna dalam satu ‘paket’. Di situ tertulis nama saya dan kolom yang harus ditandatangani. Tapi mata saya menatap keanehan di kertas tersebut. Nilai angka yang tercantum bukan Rp 111.000, tapi Rp 500.000. Sejenak saya berpikir, apa tidak salah kasih kertas nih.
Kebingungan saya tak bertahan lama, ketika sebuah kalimat mengalir dari mulut staf keuangan.
“Ini ada yang terlupakan. Pak Muhammad yang mengingatkan,” ujarnya sembari menyebut nama salah seorang atasan di kantor.
Kontan pikiran saya melayang-layang. Perasaan seakan terbang. Senang dan haru menyatu dalam gemuruh sang pengantin baru. Bayangan istri dan kontrakan hijau muda bergantian.
Sementara mata ini tak lepas menatap sebaris tulisan di kertas kuitansi. “Sumbangan Pernikahan, Rp 500.000.”
Pas, enggak kurang, enggak lebih. Teringat naskah sebuah tulisan di media bulanan yang pernah saya baca, bercerita tentang rezeki. Terbukti. Doa-doa saat tahajud dan shalat dhuha terjawab sudah.
“Alhamdulillah! Allahu Akbar!” dua kalimat ini yang mampu melukiskan euforia detik itu.* Seperti dituturkan oleh Abu Fawwaz, peserta pernikahan mubarakah 49 pasang santri di Balikpapan (16/06/2019), dengan penyesuaian redaksi