HIDUP manusia penuh dengan ketakterdugaan. Setiap waktu ia sarat dengan keserbamungkinan yang terjadi. Selalu ada misteri yang mengiringi perjalanan jatah usia manusia di dunia. Itulah hidup manusia, urusannya mudah sebenarnya. Tinggal pandai-pandai dia dalam menyikapi masalahnya.
Kata al-Qur’an, “imma syakiran wa imma kafura”. Apakah ia menjadi hamba bersyukur atau sebaliknya, kufur atas nikmat yang diberikan.
Saat itu, aku baru saja menyelesaikan urusan fotokopi di pinggir jalan, di satu kota besar di Jawa Tengah. Sekonyong-konyong seorang wanita renta mendekatiku. Orang-orang di lingkungan itu biasa memanggilnya dengan sebutan ‘Mbah’.
Aku sendiri tak mengenalnya secara dekat. Tidak tahu namanya. Mungkin Mbah pun tak juga mengenalku. Tapi si Mbah sering kulihat duduk di depan rumahnya setiap pulang dari masjid.
“Mbah njaluk tulung yo le, anterne Mbah tuku soto Pak Bambang neng kidul kae,”
“Monggo Mbah,” balasku cepat sambil mempersilakan Mbah -yang minta tolong dibonceng- naik ke kendaran jenis matic yang menemaniku selama ini.
“Alon-alon yo le, ngamal yo le. Mbah iki wong tuo, nulungi wong tuo katah pahalane, Mbah dungoake diparingi selamet yo le,” ia meminta agar pelan-pelan saja berkendara.
Meski berjalan pelan, rupanya si Mbah tetap saja menasihatiku untuk berhati-hati di jalan. Tak lupa ia mendoakanku agar bisa selamat.
“Amin, matur nuwun nggeh Mbah.”
Mataku berbinar. Sungguh, saat itu entah kenapa, hatiku begitu senang didoakan keselamatan oleh si Mbah.
Tiba di warung soto tujuannya, aku sengaja menunggunya. Doa dan ketulusan si Mbah itu seperti menyihirku. Aku tak lagi mengingat urusan kuliah. Padahal ada begitu banyak agenda yang sudah kususun di rumah sejak tadi pagi.
Dalam perjalanan pulang, Mbah itu rupanya mengulang doa itu kembali.
“Alon-alon yo le, ngamal yo le. Mbah iki wong tuo, nulungi wong tuo katah pahalane, Mbah dungoake diparingi selamet yo le.”
“Amin, matur nuwun nggeh Mbah.” Aku membalasnya dengan jawaban yang sama pula.
Usai mengantar si Mbah pulang, aku pun segera balik ke rumah kontrakan. Tak terasa, ada yang mbrebes mili sejak tadi. Aku hanyut dalam rasa syukur yang menghujam kalbu. Dalam sehari dua kali didoakan selamat oleh si Mbah. Sederhana memang. Tapi ‘selamat’ itu satu keserbamungkinan dari Tuhan Maha Pencipta yang paling membahagiakan jiwa dan dan mensyukurkan hati.
Sebagaimana mesti diyakini, “ketidakselamatan” juga bagian dari keserbamungkinan lain yang bisa menimpa manusia pula.
Allah berfirman:
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir,” (Al-Insan [76]: 3).* Seperti diceritakan oleh AR, pengajar di Kaltim, kepada Masykur