BU DWI, itulah janda lima anak itu biasa dipanggail. Wanita yang tinggal di daerah Wonorejo Tegalsari Surabaya ini, dulunya adalah keluarga yang bisa yang tergolong cukup secara ekonomi.
Namun kehidupannya drastis berubah ketika datangnya cobaan. Kala itu, suami yang dicintainya –yang berprofesi karyawan swasta—dipanggil Sang Khaliq karena penyakit paru-paru yang dideritanya.Ia meninggalkan dunia dan keluarga di saat anak pertamanya baru memasuki jenjang SMU.
Usai kepergian sang suami, praktis menjadikan Dwi dia sebagai single parent (orantua tunggal) yang mengasuh kelima anaknya.
Tiap pagi, ia bertugas memasakkan nasi, lauk untuk tukang-tukang yang bekerja di proyek-proyek. Kebetulan, di sekitar rumahnya banyak tukang dan kuli yang nge-kos di situ.
Di saat yang sama, anak pertamanya yang perempuan ikut membantu menjaga toko kelontong di halaman rumahnya. Sementara anak-anaknya yang lain masih duduk di SMP, SD hingga ada yang masih berumur lima tahun.
Karena kebutuhan yang semakin meningkat, dia mencoba meminjam uang kepada saudara-saudaranya. Namun karena malu jika terus-terusan meminjam kepada saudara, dia pun menghentikan meminjam kepada saudaranya dan terpaksa meminjam uang dari salah satu bank pengkreditan.
Keterlibatannya dalam bank pengkreditan ini terjadi setelah perkenalannya dengan seorang wanita yang menawarinya kredit. Dia pun mengiyakan tawarannya. Pertama-tama dia hanya meminjam uang lima ratus ribu. Dia pun bisa membayarnya. Dia kembali meminjam uang di bank dengan pinjaman yang lebih besar seiring kebutuhannya yang semakin besar pula. Namun, lama-kelamaan pinjamannya menggelembung dengan adanya bunga yang ditetapkan oleh bank tersebut.
Maklum, bank tersebut menggunakan sistem riba di dalamnya.
Dia pun memutuskan untuk meminjam uang ke bank lainnya untuk menutupi pinjaman dari bank pertama. Memang tujuan untuk menutupi pinjaman pokok tertutupi. Namun bunga yang masih terdapat di bank itu tetap saja ada. Akhirnya dia pun meminjam uang ke bank lainnya. Begitu seterusnya.
Kegiatan tambal-sulam ini menjadikan Bu Dwi pun terbelit pinjaman dari bank-bank. Bukan hanya dari pinjaman pokoknya, tetapi juga bunga bank yang semakin lama semakin membesar.
Berselang waktu yang tidak lama, datang seorang laki-laki bertubuh kekar yang mengaku debt collector ke rumahnya. Dia bermaksud menagih pinjaman bu Dwi karena pinjamannya sudah jatuh tempo. Pertama-tama dia meminjam tetangganya. Tetapi debt collector yang lain datang lagi. Namun kali ini dia tidak bermaksud untuk meminjam ke tetangganya. Dia bersembunyi di tempat lain dan bilang ke anaknya bahwa dia sedang di luar kota, ada keperluan dan macam-macam alasan lainnya.
Namun seperti pepatah, “Sepandai-pandai bangkai disembunyikan, akhirnya tercium juga.” Bu Dwi pun kepergok oleh seorang debt collector. Dan dia pun dimarah-marahi karena pinjamannya sudah jatuh tempo.
Singkat cerita, semenjak terlibat dengan urusan bank ini, hidupnya tak pernah tenang. Tiap hari, perasaannya dihantui kecemasan dan rasa ketakutan.
Pernah juga dia diancam oleh debt collector bila tak segera melunasi tagihannya. Begitu juga seterusnya seperti itu.
Ketakutannya ini akhirnya membuatnya berisikap gelap dan tak berpikir panjangan. Dia mulai menjual barang-barang kepunyaannya, mulai gelang, kalung, motor hingga TV yang biasa jadi tontonan satu keluarga. Hingga pada akhirnya, barang-barang yang sekiranya bisa dijual dengan harga mahal pun sudah tidak ada lagi alias ludes.
Ibarat harta tinggal tikar, keadaan masih tak berubah. Kondisinya masih saja seperti dulu, tertekan dan stress. Rupanya, anak-anaknya –terutama yang sudah SMP dan SMA– sudah bisa merasakan apa yang dialami ibunya.
Dalam keadaan seperti ini, Bu Dwi tak ingin membuat suasana rumah dan kondisi menjadi ikut mengguncang jiwa anak-anaknya. Semenjak itu, ia mulai mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dia mulai terlihat aktif sholat berjamaah di masjid dan mulai aktif ikut pengajian setiap malam Jum’at di RT.
Dalam kesempatan berada di masjid tersebut, dia mengadukan segala persoalannya kepada Allah SWT. Dan di kesempatan pengajian tersebut, dia mencurahkan permasalahannya kepada tetangganya yang dipercayainya.
Perubahan perilaku Bu Dwi yang menjadi semakin alim itu semula membuat heran para tetangganya. Karena pada sebelumnya dia memang dikenal jarang sholat, apalagi ke masjid atau ikut pengajian. Namun, hal itu tak diperhatikannya. Dia tetap melakukan amal kecil-kecil secara istiqomah.
Dalam kepasrahan doanya selama ini, tiba-tiba datang seorang wanita istri seorang sang pemilik toko bangunan yang juga donatur utama pengajian setiap malam Jum’at di RT. Singkat cerita, sang ibu, rupanya ibu dengan penderitaan bu Dwi setelah mendengarkan curahan hatinya.
Akhirnya, istri pemilik tokok ini berusaha membantu sesuai kemampuannya. Dia menawari mengambil anak pertamanya sebagai pegawai di tempatnya setelah pulang sekolah. Selain itu, ia menjadikan anak keempat bu Dwi yang masih SD sebagai anak asuhnya.
Bu Dwi percaya, inilah pertolongan dari Allah melalui tangan kedermawanan suami-istri yang memiliki toko bangunan ini. Singkat cerita, hati bu Dwi bahagia tak kepalang. Untuk menunjukkan rasa syukurnya kepasa Allah, ia akhirnya terus memperbanyak beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.
Kini, semua anak-anaknya telah dewasa dan bekerja. Sedikit banyak, mereka telah ikut membantu ekonomi keluarga.
Apa yang dilakukan Bu Dwi ini sebenarnya telah dijanjikan oleh Allah Ta’ala.Di antaranya,Allah telah berfirman tidak akan mengabulkan do’a bagi siapa saja yang makanannya diperoleh dengan cara haram, seperti riba (bunga bank), menipu, memakan harta orang lain dengan cara batil.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu , ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bersabda:
“Wahai Manusia, sesungguhnya Allah itu Maha Baik, Dia tidak menerima ke-cuali yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang mukmin dengan apa-apa yang diperintahkan oleh para rasul. Maka Dia berfirman, ‘Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ (Al-Mukminun: 51) dan Dia berfirman, ‘Hai orang-orang yang beriman, makan-lah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (Al-Baqarah: 172).
Dan benar saja, semenjak itu, Bu Dwi tak ingin terlibat lagi dengan urusan pinjam-meminjam di bank, apalagi urusan bunga. Dan sejak terlepas dari Bank dan urusan riba ini, hidupnya lebih menggairahkan. Semoga kisah Bu Dwi ini, dapat jadi pelajaran bagi yang lain.*/diceritakan oleh Rian
Ilustrasi: seorang debt collector/prima