Hidayatullah.com | Jabatan tinggi di perusahaan, rumah besar dan nyaman, kendaraan mewah dan istri cantik telah saya dapatkan. Tapi entah mengapa masih ada yang terasa kurang. Kasur empuk di kamar luas ber-AC tak pernah membuat tidur saya terasa nyenyak.
Segalanya yang telah saya miliki entah kenapa bukannya membuat saya merasa nyaman menjalani hidup, malah membuat pikiran dan hati saya tak tenang. Minum obat tidur sudah seperti konsumsi harian bagi saya. Sudah beberapa kali saya konsultasi dengan sejumlah dokter, hasilnya nihil. Tak ditemukan juga gejalanya.
Kalau dibilang kekayaan saya kotor, tiap tahun saya selalu berqurban, rutin membayar zakat, bahkan infaq dan bersedekah sering saya lakukan. Dari segi ibadah pun, saya shalat lima waktu, mengaji selalu saya lakukan. Entah kenapa hati dan pikiran saya masih tak tenang.
Di lingkungan pekerjaan, saya dihormati sebagai seorang manejer dan hasil kerja saya cukup memuaskan. Di lingkungan keluarga saya dikagumi karena bisa sukses dan meraih cita-cita menghasikan pundi-pundi kekayaan. Saya sudah melaksanakan haji, bahkan saya juga telah memberangkatkan haji ibu. Tapi seakan semuanya tak ada efek sama sekali dalam hidup saya.
Beberapa waktu kemudian saya memutuskan konsultasi kepada seorang ustadz. Saya mencurahkan isi hati tentang keresahan dan ketidaknyamanan selama ini. Usai bercerita, sang ustadz spontan bertanya, siapa orang yang paling saya cintai di dalam hidup ini, dengan spontan juga saya menjawab, “Ibuku.”
Terus sang ustadz bertanya, apa saja yang telah saya lakukan untuk sang ibu. Saya bilang saya telah memberangkatkan haji. Semenjak ayah saya meninggal, saya rutin mengirimkan uang setiap bulan. Dulu saya bantu biaya kuliah adik-adik dan biaya hidup mereka sampai memiliki pekerjaan masing-masing.
Ustadz bertanya, seberapa sering saya berkomunikasi dengan ibu, saya bilang cukup sering. Saya juga bilang hampir setiap tahun saya mengajak keluarga kecil saya ke kampung ibu.
Pertanyaan selanjutnya, dengan siapa ibu saya tinggal sekarang. Saya bilang, ibu tinggal sendirian, adik-adik saya hampir semua bekerja di luar kota, tapi tetangga di sekitar rumah ibu hampir semuanya adalah keluarga dekatnya.
Tiba-tiba raut wajah sang ustadz berbeda. Namun kemudian kembali seperti sebelumnya. Dia mengatakan bahwa saya butuh refreshing, istirahat sejenak. Dia menyarankan untuk berkujung ke kampung halaman ibu dan rehat sejenak di sana.
Meskipun awalnya saya merasa berat karena pekerjaan di kantor kian menumpuk, tapi akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti saran ustadz: liburan di tengah sibuknya pekerjaan kantor. Saya mengambil cuti sepekan dan mengunjungi ibu di kampungnya, dan meninggalkan istri dan anak agar tetap beraktifitas seperti biasa.
Saya sengaja tak mengabari ibu tentang kedatangan saya. Ketika saya sampai, ibu tengah menyapu halaman depan rumah yang penuh sejarah bagi keluarga kami. Melihat kedatangan saya, raut wajah ibu merekah. Ia terlihat sangat bahagia. Kemudian langsung menghampiri dan memeluk saya.
Kami masuk ke dalam rumah dan bercengkrama banyak hal, dari masalah keluarga, pekerjaan, tentang sekolah cucu-cucunya, dan lelucon-lelucon lainnya. Usai shalat Maghrib, kami makan bersama dan melanjutkan obrolan. Hampir semua yang kami bicarakan tentang diri saya, istri dan anak-anak.
Usai isya kami lanjut ngobrol dan tak terasa saya tertidur pulas di sofa ruang keluarga. Hilang semua beban pikiran, entah kenapa malam itu saya merasa nyaman sekali. Subuh harinya saya terbangun. Sebuah selimut tebal menutup tubuh saya. Kulihat ibu tengah sibuk di dapur. Saya lekas mengambil air wudhu dan menuju masjid untuk shalat Shubuh.
Menghirup udara pagi itu membuat badan saya terasa segar, entah tiba-tiba semua perasaan tidak tenang itu hilang. Pikiran saya terasa segar. Hal itu saya rasakan beberapa hari di rumah ibu.
Namun ketika kembali ke rutinitas saya di kota, perasaan itu kembali lagi. Berkali-kali saya berpikir, dan kemudian mengambil kesimpulan. Penyebab selama ini saya merasa tidak tenang karena meninggalkan ibu hidup sendirian.
Hari itu saya merasa durhaka sekali, sudah bertahun-tahun saya meninggalkan ibu hidup sendiri sementara saya sibuk mengurus keluarga baru dan pekerjaan. Maafkan saya ibu, yang telah membuat ibu kesepian selama bertahun-tahun.
Saya pikir dengan memberangkatkan haji, mengirimkan uang setiap bulan, meneleponnya sesering mungkin itu sudah cukup.
Akhirnya saya memutuskan untuk mengajak ibu tinggal bersama di kota. Ibu tidak menolak, malah dia terlihat bahagia. Maafkan saya ibu!
Saya mulai sadar, selama ini saya tidak tenang karena membuat ibu kesepian. Semenjak ibu tinggal bersama kami, perasaan itu hilang tergantikan dengan kebahagiaan. Ibu adalah sumber ketenangan dan kebahagian, karena ridhanya adalah ridha Allah Subhanahu Wata’ala.*
Seperti dikisahkan Rudi (nama samaran), dikutip dari Majalah Suara Hidayatullah.