IZIN kan saya berbagi sebuah cerita ringan yang saya alami kepada Anda semua. Suatu hari, ketika saya masih kuliah strata satu di sebuah kampus Islam negeri di Jakarta, ada kejadian menarik. Setidaknya, ini bagi saya pribadi. Sebagai seoang Muslim yang sangat mencintai agama saya.
Dalam sebuah pertemuan diskusi khusus dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF) bertema “Agama-agama Dunia” yang dilaksanakan pada awal Maret 2008 lalu, saya diminta untuk ikut menghadiri acara tersebut.
Dalam forum diskusi, menghadirkan seorang prof dan doktor filsafat sebagai pembicara tunggal.
Sekedar catatan, profesor tamu ini, adalah seorang Romo. Ia seorang romo kelahiran Jerman. Beliau adalah seorang tokoh dan dikenal sebagai pakar budaya di Indonesia. Dipanggil Romo, karena beliau memang seorang pastur.
Diskusi ini berlangsung cukup seru dan benar-benar menambah khazanah keilmuan saya, khususnya. Betapa tidak, diskusi ini hampir dihadiri oleh semua guru besar di Fakultas tersebut.
Sepanjang perjalanan diskusi yang berlangsung tiga jam lebih, ada satu pertanyaan menarik dari salah seorang dosen Filsafat Islam kepada sang Romo.
“Begini Prof, tadi Anda katakan bahwa Anda memilih Kristen sebagai agama Anda, tidak lain karena Anda kagum dengan kelembutan dan rasa kasih sayang yang dimiliki oleh Yesus, bahkan dalam Bible dikatakan jika pipi kirimu ditampar maka berikan pipi kanan mu, “akhirnya bonyok” (disambut gelak tawa para peserta). Namun, mengapa kelembutan dan rasa kasih sayang itu tidak dimiliki oleh mayoritas umatnya. Anda bisa lihat contoh kasus pada abad pertengahan, yaitu zaman hegemoni gereja yang sangat terkenal “kekejamannya”. Di abad 20 ini pun tidak kalah jahatnya, Bush seorang Katolik memiliki hobi perang, sehingga telah membunuh puluhan juta umat manusia terutama di negeri Muslim. Tidak hanya itu Prof, Anda tahu kasus pelecehan terhadap umat Islam dari pelemparan kitap suci al-Quran ke kloset di penjara Guantanamo hingga penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw dalam bentuk karikatur yang diterbitkan berulang-ulang di koran Jyllands-Posten Denmark (tahun 2005 pernah diterbitkan, kemudian 13 Desember 2006 dimuat kembali di 11 media massa terkemuka di Denmark dan televisi nasional termasuk Koran Jyllands-Posten-Pen). Bukankah Yesus tidak pernah mengajarkan hal seperti itu. Mengapa umatnya demikian. Saya sebagai Muslim sangat tersinggung dengan tindakan ini,” begitu gugat sang dosen ini.
Dengan enteng, si Romo menjawab, “Itulah orang Muslim, cepat sekali protes, kami di Eropa, Tuhan saja sering sekali dijadikan guyonan dan lelucon…”. Saya tersentak mendengar jawabannya. Anehnya, pada waktu yang bersmaan, jawaban tersebut justru disambut tawa oleh para dosen-dosen FUF yang hadir.
“Aneh tapi nyata,” slogan itu, rupanya cukup pantas disematkan di dada sebahagian para pemimpin kaum Muslimin saat ini. Betapa tidak, mayoritas penguasa di dunia Islam sering hanya diam ketika agama dan nabi kita dilecehkan. Pemerintah Indonesia pun tidak menganggap hal ini sebagai perkara penting. Buktinya tindakan paling ringan sekali pun tidak mereka lakukan. Mereka tidak melakukan protes atau memanggil duta besar Denmark dan negara lain yang terlibat penghinaan atas Islam. Bandingkan, jika kepala negara dihina segera pelakunya diprotes dan diadili.
Entah karena saya memang orang yang aneh, atau orang lain yang aneh. Bagi saya, Rasulullah adalah orang yang harusnya kita letakkan penuh kecintaan dan penuh penghormatan.
Bahkan film “Fitna” yang sangat melecehkan al-Quran dan Rasulullah saw jmustru diputarkan dan disebarkan di situs internet. Geert Wilder sang sutradara dibalik film ini mengatakan “al-Quran adalah buku fasistis yang menyebarkan kebencian dan kekerasan, setiap muslim yang tinggal di Belanda harus menyobek setengah al-Quran. Jika Muhammad tinggal disini (Belanda) sekarang, aku akan menyuruhnya keluar dari Belanda dengan belenggu,”katanya.
Lebih jauh dari itu, beberapa tahun belakangan ini kita sering mendengar kata “Pluralisme Agama” digaungkan oleh tokoh-tokoh intelektual Muslim. Padalah, istilah ini adalah dagangan kaum Orientalis. Bahkan buku-buku yang mempropagandakannyapun telah bertebaran di hampir seluruh toko buku di sekitar kampus Islam di Indonesia. Banyak dosen di perguruan tinggi Islam mengajarkan Pluralisme Agama yang berarti semua agama yang ada dimuka bumi ini sama, semua masuk surga dan kita musti mengakui keabsahan agama lain itu.
Atau hanya saya saja yang aneh? Bukankah al Quran, Surat Al Imran:19, mengatakan, “”Innaddina ‘Indallahil Islam” (Sesungguhnya agama diridhai Allah hanyalah Islam).
Bahkan dosen saya, dosen filsafat agama FUF, saat saya mengikuti kuliahnya, ia mencontohkan; “Agama-agama yang ada didunia ini ibarat para pendaki gunung yang mendaki dari berbagai sisi pada sebuah gunung, namun mereka akan mencapai pada puncak yang sama. Demikian pula dengan agama, setiap orang boleh meyakini agama mana yang disukai, karena Tuhan yang kita yakini itu satu dan sama dengan Tuhan yang diyakini oleh agama lain, dan kita tidak boleh memaksa mereka untuk memeluk agama yang kita peluk.”
Salah seorang teman penulis di kelas juga mengatakan bahwa kita harus legowo (rela, red) untuk menerima dan mengakui agama yang lain, karena semua agama itu benar, dan diciptakan Tuhan yang satu yaitu Allah swt.
Memang benar semua agama yang ada adalah ciptaan Allah, tapi tidak semuanya diridhoi secara syara’. Anehnya, bagaimana mungkin yang punya pemahaman dan pandangan seperti ini justru dosen di sebuah kampus Islam dan mahasiswa Muslim? Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun!. Sudah seperti ini pemikiran di kampus Islam.
Meminjam istilah pakar Pluralisme Agama yang juga tokoh NU, Dr. Anis Malik Toha, tidak semua yang Allah kehendaki (iradah) dikehendaki secara ontologis (kaunan) dan diridhoi (syar’an). Ada yang Allah kehendaki secara ontologis tapi tidak secara syara’, seperti diciptakannya ysetan. Ada juga yang dikehendaki secara ontologis, tapi dikehendaki juga secara syara’, seperti diciptakannya Muhammad saw.
Contoh lain, Allah swt dalam al-Quran berfirman: “In Tasykurû yardhâhu lakum wa la yardhâ li’ibâdih al-kufr.” (Syukur dikehendaki dan diridhoi oleh Allah, tapi kufur dicipta tapi tidak diridhoi). Begitu juga tatanan-tatanan keagamaan ada yang dikehendaki dan diridhoi dan ada pula yang dikehendaki tapi tidak diridhoi.
Selanjutnya, jika kita harus legowo dan menerima bahwa semua agama sama dan tidak ada “truth claim” (klaim kebenaran pada agama). Maka apa fungsi Islam sebagai agama dakwah yang harus menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, bukankah didalam al-Quran cukup jelas difirmankan oleh Allah swt “Sesungguhnya agama yang diridhai disisi Allah ialah Islam” dan di ayat yang lain dikatakan, “kamu sekalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan, untuk menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.”
Di dalam surat al-Kafirun ayat 5 dan 6: “walâ antum ‘abidûna mâ a’bud # Lakum dînukum waliya dîn”. (Dan tidaklah kamu menyembah apa yang kami sembah # bagimu agamamu dan bagiku agamaku).
Dalam tafsir “al-Bayan” Teuku Hasbi As-Shiddieqi mengatakan bahwa ayat ini menjelaskan kami tidak menyembah pujaanmu di waktu sekarang ini apa yang sedang kamu sembah dan kami tidak akan menyembah dimasa yang akan datang apa yang telah kamu sembah. Ayat ini cukup jelas menyatakan perbedaan antara Islam dengan selain Islam. Tuhan yang disembah umat Islam berbeda dengan Tuhan Yang disembah Non-Islam.
Sunnatullah
Penghinaan dan pelecehan Islam yang terjadi berulang-ulang hanyalah mema g menunjukkan di situlah watak dasar kaum kafir. Itu lahiriahnya dan sunnatullah. Allah swt. berfirman: “Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi.” [QS. Ali ‘Imran: 118)
Imam Ibn Katsir, ketika menafsirkan ayat tersebut, menyatakan bahwa kebencian telah tampak dari wajah, sikap mereka serta ucapan mereka. Karenanya, jangan heran bila kebencian mereka berulang-ulang dan tidak berhenti hingga ada yang menghentikannya. Realitas menunjukkan negara-negara yang ada tidak dapat menghentikan.
Hal ini membuktikan setelah lebih dari 80 tahun runtuhnya Daulah Islamiah tempat berlindungnya umat Islam selama kurun waktu 14 Abad, dan kini telah tepecah kepada lebih dari 50 negara, maka kasus-kasus ini mengisyaratkan umat Islam diseluruh dunia untuk kembali bersatu dalam satu kepemimpinan kepala negara Islam. Dengan persatuan umat, Islam akan menjadi kuat sehingga mampu menegakkan ‘izz al-Islam wa al-Muslimin, termasuk melindungi kehormatan Islam, al-Quran dan Nabi Muhammad saw yang mulia.
Harusnya, perguruan tinggi Islam, para dosen sekolah tinggi Islam dan para mahasiswa nya tahu betul soal ini. Merekalah yang seharusnya menegakkan ‘izz al-Islam wa al-Muslimin”, bukan bersendau gurau ketika agamanya dijadikan mainan dan bahan gurauan. Apalagi sampai terlena dan terpukau pada ide-ide kaum Orientalis yang watak dasarnya jelas tidak meyakini Islam. Wallahu a’lam.
Abdullah, mahasiwa program pascasarjana di Universitas Paramadina