MENGGAPAI kehidupan keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah (samara) adalah impian setiap orang yang menikah. Rasanya, tak ada manusia di dunia ini yang menikah hanya karena ia berharap sengsara. Justru faktor yang mendorong seseorang menikah karena dia ingin bahagia dan berbagi kebahagiaan dengan orang yang menjadi pasangan hidupnya. Demikian yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam (SAW) melalui sabdanya, “Sebaik-baik kalian, adalah orang yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku.” (Riwayat at-Tirmizi).
Lalu bagaimana jika seseorang menikah dengan orang yang belum dikenal sebelumnya? Benarkah ia bisa meraih kehidupan samara di tengah keluarga? Umumnya, yang jamak terjadi orang menikahi wanita yang dicintai sebelumnya. Bahkan boleh jadi (maaf) telah dipacarinya selama bertahun-tahun. Tapi inilah yang terjadi di Pesantren Hidayatullah, khususnya di kampus pusat Gunung Tembak, Balikpapan, Kalimantan Timur. Santri putra justru menikahi santri putri yang tidak dikenal sebelumnya. Alih-alih berpacaran, mereka justru saling mengenal setelah keduanya bertemu setelah prosesi akad nikah.
Pernikahan semacam itu lumrah terjadi di Pesantren Hidayatullah Balikpapan. Sudah menjadi tradisi positif di Hidayatullah, para santri yang telah menginjak usia dewasa lalu dinikahkan oleh pesantren. Meski sama-sama tinggal di lingkungan pesantren, namun letak lokasi yang berbeda dan aktifitas yang berjauhan menjadikan mereka tak pernah bertemu atau saling kenal sebelumnya. Oleh para ustadz, mereka lalu dijodohkan dan akhirnya menjadi sepasang suami-istri dan membentuk sebuah keluarga bersama anak-anak mereka yang tercinta.
Awalnya, pernikahan di atas populer dengan sebutan Pernikahan Massal (walimah jama’iy). Sebab biasanya pernikahan di Pesantren Hidayatullah diikuti oleh sejumlah pasangan. Sejak pertama kali digelar, panitia sudah menikahkan belasan, puluhan, hingga pernah mencapai 100 pasang mempelai sekaligus (1997). Ia biasa pula disebut Pernikahan Mubarakah atau Nikah Mubarak, tak lain karena di sana ada titipan doa untuk mendapatkan berkah. Santri-santri Hidayatullah yakin, jika pernikahan dilangsungkan sesuai sunnah Nabi niscaya keberkahan dalam keluarga benar-benar bisa diraih nantinya.
Berikut ini beberapa alasan mengapa Pernikahan Mubarakah tetap dipertahankan sebagai tradisi positif di Pesantren Hidayatullah Balikpapan hingga sekarang;
Pertama, syar’i mengundang berkah
Inilah alasan utama mengapa para santri Hidayatullah ikut Pernikahan Mubarakah. Mereka yakin jika pernikahan dilangsungkan secara syar’i (sesuai dengan tuntunan syariat), niscaya ada garansi pasangan suami istri (pasutri) tersebut mendapatkan kebahagiaan yang diberkahi. Sebaliknya, ketika pernikahan yang diadakan bercampur dengan hal-hal yang bertentangan dengan agama, maka yang terjadi hanyalah acara pernikahan menjadi ajang pamer dosa dan kemaksiatan saja.
Dalam pelaksanaannya, Pernikahan Mubarakah di Hidayatullah benar-benar diupayakan secara syar’i. Oleh panitia, semaksimal mungkin mengawal acara Pernikahan Mubarakah dengan ketat. Hal itu dimulai dari proses pemilihan jodoh, khitbah (pelamaran), hingga walimah (acara pernikahan). Seluruh rangkaian proses tersebut diusahakan sesuai dengan tuntunan sunnah Nabi.
“Inilah alasan mendasar kenapa peserta sangat antusias mengikuti pernikahan mubarakah,” ucap Hidayat Jaya Miharja (36), ketua panitia Pernikahan Mubarakah berturut-turut (2011 dan 2013). Hidayat sendiri adalah jebolan pernikahan yang sama tahun 2007 silam.
Pernikahan yang terasa membahagiakan tak selamanya mengandung berkah di dalam keluarga. Sedang berkah pasti mendatangkan kebahagiaan dalam keluarga. Inilah rumus yang berlaku sekaligus membedakan. Boleh jadi ada pasangan yang merasa bahagia dengan pernikahannya. Namun kebahagiaan itu menjadi semu, jika ternyata tidak mendapat jaminan berkah oleh Allah.
Kebahagiaan yang diberkahi adalah kebahagiaan yang hakiki. Ia dirasakan dalam kehidupan berkeluarga di dunia sekaligus dinikmati pada kehidupan akhirat. Sebab kehidupan di dunia bagi seorang Muslim hanyalah sepenggal episode buat kehidupan selanjutnya setelah hari Kiamat nanti.
Kedua, mudah, murah, dan sederhana
Bukan rahasia lagi, jika dilema terbesar seorang pemuda Muslim saat ini adalah sulitnya mereka menikah. Mereka tak kunjung menikah “hanya” gara-gara tidak punya uang untuk membiayai pernikahannya. Pertanyaan “berapa gajimu sebulan?” atau “berapa banyak tabunganmu?” lebih dahulu menghantui benak mereka hingga akhirnya niat mulia menyempurnakan agama jadi urung terlaksana.
Belum lagi fenomena tradisi atau adat-istiadat yang melekat kuat pada sebagian masyarakat. Begitu banyak ritual adat dan embel-embel yang harus dihadirkan atau dipakai sejak masa pelamaran hingga acara walimah berlangsung. Selain hanya memberatkan calon pengantin, boleh jadi beberapa ritual adat tersebut juga mengandung kepercayaan-kepercayaan tertentu yang hanya mengantar kepada praktik syirik dan dosa semata.
Untuk itu, Pernikahan Mubarakah hadir sebagai jawaban atas keresahan umat Islam. Oleh panitia pernikahan, sebisa mungkin segala urusan dipermudah. Mulai dari urusan pelamaran, mahar, prosesi akad, hingga acara walimah. Meski demikian, bukan berarti panitia lalu menyepelekan dan bersikap tak acuh terhadap aturan pemerintah, baik secara administrasi atau yang lainnya.
Ketiga, pembekalan pra nikah
Dalam ajaran Islam, dikenal sebuah patokan “al-ilmu qabla al-qaul wa al-amal”. Adanya ilmu adalah keniscayaan sebelum seorang Muslim berkata dan berbuat. Nilai sebuah amalan sangat bergantung kepada ilmu yang dimiliki oleh orang tersebut. Dalam Pernikahan Mubarakah, seluruh peserta pernikahan wajib mengikuti pembekalan atau populer dengan sebutan istilah karantina. Hal ini berlaku tak hanya buat calon mempelai putra tapi juga diberikan kepada calon mempelai putri.
Biasanya pembekalan diadakan selama 10 atau 14 hari berturut-turut. Layaknya sebuah karantina, seluruh calon peserta diwajibkan untuk berdiam di ruang atau kamar tertentu sejak hari pertama pembekalan. Tentunya dengan lokasi yang berbeda antara calon mempelai laki-laki dan wanita.
Selama masa karantina, berbagai bekal ilmu telah disiapkan oleh panitia. Mulai dari kesiapan mental, penguatan visi misi Pernikahan Mubarakah hingga kedudukan nikah dalam syariat Islam. Tak ketinggalan beberapa adab fiqh dan doa-doa juga diajarkan kepada calon mempelai, terkait adab penyerahan mahar, etika malam pertama, hingga teori komunikasi bertemu dengan calon mertua. Semuanya disajikan dalam acara pembekalan peserta Pernikahan Mubarakah. Di penghujung acara pembekalan, biasanya ada penyuluhan kesehatan dan diskusi serta testimoni dari beberapa alumni Pernikahan Mubarakah sebelumnya.
Selain bermanfaat kepada calon mempelai, pembekalan pra nikah tersebut rupanya juga menuai apresiasi positif dari pengurus Kantor Urusan Agama (KUA) di Balikpapan. Mereka salut atas acara Pernikahan Mubarakah sebab secara tidak langsung kegiatan pembekalan ini sejalan dengan beberapa program KUA. Menurut Ketua KUA Balikpapan Timur KH Sirojuddin Munir al-Banjari, hal ini sangat penting. Sebab, katanya, akan mempengaruhi pemahaman dan komitmen mempelai dalam menjalani kehidupan rumah tangga kelak.
“Pernikahan seperti ini layak disosialisasikan kepada masyarakat. Sebab selain praktis, jauh dari tradisi yang memberatkan, para calon mempelai juga diberi banyak bekal ilmu sebelum menikah,” puji Sirojuddin dalam khutbah nikah Pernikahan Mubarakah 2011 silam.
Keempat, menikah untuk dakwah
Hal mendasar dalam sebuah gerakan dakwah adalah proses regenerasi yang berjalan secara simultan. Sebab ketika proses tersebut terganggu, niscaya gerakan dan tujuan yang hendak dicapai itu juga akan terhambat dengan sendirinya. Hal ini sangat disadari oleh Hidayatullah yang sejak awal telah menabuh gong “Membangun Peradaban Islam” di tengah masyarakat. Untuk itu diharapkan adanya Pernikahan Mubarakah tidak hanya memfasilitasi para santrinya menunaikan sunnah Nabi, tapi lebih dari itu ada spirit dakwah dan perjuangan di sana.
Pernikahan seorang kader atau mujahid untuk mengokohkan dakwah Islam. Menjadikan ia kian bersemangat dan all out (sepenuhnya) dalam mengurus dakwah ini. Bukan justru sebaliknya, kader tersebut malah kehilangan ruh dakwah setelah menikah. Alih-alih kian semangat berdakwah, ia bahkan sibuk mengurusi kebutuhan pribadi dan dan keluarga saja.
Bagi calon peserta Pernikahan Mubarakah, keikutsertaan mereka adalah reward (ganjaran) dari mujahadah mereka dalam dakwah dan perjuangan Islam. Sebab Pernikahan Mubarakah hanya bisa diikuti oleh kader-kader Hidayatullah yang telah membuktikan komitmen dakwah mereka di lapangan. Untuk itu mereka lalu dianggap layak mempersunting “bidadari dunia” hingga tiba masa ketika bidadari akhirat menjemput mereka kelak di surga.
“Pernikahan ini hanya diperuntukkan buat mujahid-mujahid dakwah Hidayatullah,” terang Abdul Ghofar Hadi (39), salah seorang panitia Pernikahan Mubarakah selama ini.
“Kekaderan mereka terlebih dahulu diuji dengan penugasan di berbagai daerah,” lanjut pria yang juga memangku amanah Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah Balikpapan ini.
Dahulu bahkan ada istilah yang populer di kalangan santri, yaitu “Cukur, Ukur, dan Gusur”. Sebuah istilah yang diberikan kepada mereka yang sebelumnya terdaftar sebagai calon peserta Pernikahan Massal (kala itu), namun akhirnya tidak lulus verifikasi oleh Panitia Pengarah (Steering Committee). Orang itu dianggap telah bersiap-siap diri dengan mencukur rambutnya dengan rapi. Panitia juga sudah mengukur pakaiannya untuk persiapan acara. Namun akhirnya ia dianggap tidak berhak mendapatkan “hadiah” menikah, selanjutnya namanya pun dicoret dan digusur oleh nama santri lainnya. Biasanya, hal itu terjadi jika nominator tersebut ternyata melanggar beberapa aturan hingga dikenai sanksi, digusur dari daftar nominasi peserta pernikahan.
Sejarah
Dalam perjalanannya sejak berdiri secara resmi tanggal 3 Maret 1976, Pesantren Hidayatullah Balikpapan telah menyelenggarakan Pernikahan Mubarakah sebanyak puluhan kali. Awalnya pada tanggal 6 Maret 1977, saat itu Pesantren Hidayatullah menikahkan dua orang santri (kader), yaitu Abdul Qadir Jailani dengan Nurhayati H Rowa dan Sarbini Nasir dengan Salmiyah. Dengan segala kesederhanaan ketika itu, acara pernikahan digelar di kampus Gunung Tembak, yang lebih tepat disebut pesantren di tengah hutan saat itu.
“Tak ada pesta mewah di gedung saat itu, yang ada hanya jamuan sayur gambas yang juga dipanen dari kebun para santri,” kenang Sarbini sembari tersenyum.
Mereka berdua kini telah menjadi ustadz sesepuh dan pembina di Pesantren Hidayatullah Balikpapan. Itulah titik awal Pesantren Hidayatullah dalam menggelar Pernikahan Mubarakah secara rutin sekali dalam setahun atau dua tahun. Terakhir kali adalah pada pernikahan 23 pasang santri pada hari Ahad, 16 Oktober 2011. Rencananya, Pesantren Hidayatullah Balikpapan kembali menggelar Pernikahan Mubarakah Nasional pada hari Ahad, 16 Juni 2013 mendatang, insya Allah.
Biaya Pernikahan
Awalnya, peserta pernikahan sama sekali tak dibebani biaya dalam proses pernikahan. Seluruh biaya pernikahan ditanggung oleh panitia pernikahan atau Pesantren Hidayatullah. Namun seiring bergulirnya waktu dengan jumlah peserta yang kian bertambah, tak pelak biaya pernikahan ikut membengkak. Olehnya, pada perhelatan tahun 2013 ini, bagi calon mempelai putra, mereka diharap berinfak Rp 2 juta.
Sejatinya, hal ini berpulang untuk kepentingan peserta pernikahan itu sendiri. Dana tersebut dipergunakan untuk membiayai konsumsi selama peserta menjalani masa karantina dan pembekalan dua pekan, pakaian seragam mempelai putra dan putri, belanja mahar, akomodasi, dan biaya administrasi di KUA serta buku nikah.
“Seluruh infak yang terkumpul dari peserta, penggunaannya kembali kepada kepentingan peserta itu sendiri, bukan untuk panitia,” ungkap Abdul Ghofar Hadi kembali.
Apa Bedanya?
Lalu apa bedanya dengan pernikahan yang umum terjadi di masyarakat? Pertanyaan ini tak jarang muncul dari sebagian masyarakat. Selain empat hal di atas yang menjadi kekhasan Pernikahan Mubarakah Hidayatullah, selebihnya tak ada yang berbeda dengan proses pelaksanaan pernikahan yang biasa dikenal masyarakat. Kecuali karena pernikahan tersebut melibatkan jumlah mempelai yang tidak sedikit. Jumlah peserta pun cenderung fluktuatif dan fleksibel sesuai dengan kondisi yang ada.
“Proses pernikahan di Gunung Tembak juga bekerja sama dengan Kantor Urusan Agama setempat dalam hal administrasi dan kehadiran penghulu,” ujar Syamsu Rijal Palu (60), salah seorang Panitia Pengarah Pernikahan Mubarakah.
Semua persyaratan dan rukun nikah juga ada pada Pernikahan Mubarakah. Mulai dari wali, saksi, mahar, penghulu, khutbah nikah, buku nikah, dan lain-lain.
“Yang membedakan pernikahan ini tak lain adalah spirit dan motivasi pernikahan itu sendiri. Inilah upaya nyata Pesantren Hidayatullah dalam membendung arus budaya jahiliyah, khususnya dalam masalah pernikahan di tengah masyarakat,” pungkas Syamsu Rijal bersemangat.*
Diceritakan Masykur, alumnus Pernikahan Mubarakah Hidayatullah di Cabang Makassar 2004, Sekretaris Panitia Pernikahan Mubarakah Nasional Hidayatullah (PMNH) Balikpapan 2011 dan 2013