SHOLAT Isya’ baru saja kukerjakan. Terdengar deringan nada panggil handphone. Seketika aku tengok. Oh, dari istri.
Beberapa hari sebelumnya, istri kuantar ke rumah mertua (beda Kabupaten), untuk persiapan lahiran. Keputusan itu kami sepakati, karena khawatir terjadi apa-apa dalam proses kelahiran.
Apa lagi ini anak pertama. Belum ada pengalaman. Lebih dari itu, tak ada sanak saudara juga di tempat perantauan.
Obrolan kami saat itu hanya seputar tanya kabar, serta saling mendoakan, agar semua proses kelahiran dipermudahkan dan diberi keselamatan.
Merasa cukup, telephon pun ditutup. Namun, belumlah beranjak dari tempat duduk, kembali HP berdering. Bedanya, kali ini nada pesan masuk.
Setelah dilihat, ternyata pesan dari istri.
“Mas, minta doanya. Ketuban sudah pecah. Ini mau diantar ke bidan. Semoga lancar kelahirannya dan selamat,” tulis istri.
Seketika aku langsung diselimuti perasaan yang campuraduk. Ada kebahagiaan, cemas, gelisah.
SMS ini sengaja tidak aku balas, karena pikirku tidak akan ada gunanya. Semua lagi pada sibuk. Pikirku.
Niat semula ingin beranjak dari tempat sholat pun aku batalkan. Aku azamkan fokus berdzikir dan berdoa untuk istriku yang tengah berjuang nun jauh di sana.
Jam telah menunjukkan pukul sepuluh lewat. Belum ada kabar apapun dari keluarga. Aku mulai gelisah.
Aku cuba menghubungi. Nyambung. Dikabari kalau belum ada perkembangan segnifikan. Masih pembukaan dua.
Mendengar itu, doa terus aku munajatkan kepada Allah. “Yaa Allah, berikanlah keselamatan kepada istri dan anakku,” lirihku.
Selang beberapa jam kemudian, ada panggilan masuk. Dari salah seorang keluarga yang mendampingi istri.
“Om, minta doanya. Ini adik mau dilarikan ke rumah sakit. Bidan angkat tangan,” tuturnya.
Laa haulaa wa laa quwwata illa billahi al’aliyul azhim
Kabar itu benar-benar mengagetkan. Syukurnya, dalam kondiai demikian Allah Subhanahu Wata’ala masih menganugerahi ketenangan hati. Sehingga tidak panik.
Boleh jadi, karena dzikir-dzikir di panjatkan sedari selesai sholat Isya’ itu. Bukankah Allah Subhanahu Wata’ala berfirman, bahwa dengan berdzikir hati akan menjadi tenang?
Karena keletihan dan serang rasa kantuk, akhirnya aku pun ketiduran. Dan bangun menjelang sholat Subuh.
Aku cek HP, tidak ada panggilan atau pesan yang masuk. Adzan Subuh pun berkumandang. Aku pergi ke masjid untuk menunaikan sholat berjamaah.
Selesai, kembali berdzikir dan berdoa kepada Allah. Setelah sirasa cukup kembali pulang ke rumah kintrakan. Lihat HP ada beberapa panggilan dari saudara yang mendampingi istri.
Ada perasaan dag…dig…dug….der… yang menyergap diri. Aku pun menelpon balik. Allah jualah yang memuruskan segala sesuatunya, meski tak jarang berlawanan dengan harapan sang hamba.
“Om, adik harus dioperasi cesar. Kata dokter, jantung bawah lemah. Sangat beresiko bila tidak diambil tindakan!”
Innaa lillahi wa inaa ilai raji’un
“Ya sudah, mbak. Ambil saja langkah yang terbaik,” ujarku.
“Oh ya mbak. Kata dokter, berapa kisaran biaya operasinya,” sambungku.
“Kisaran 4-5 jutaan,” sebutnya.
“Ya sudah, lakukan saja operasi, “ ujarku.
Sebelum menutup sambungan telephone, aku jelaskan bahwa kemungkinan besar akan datang terlambat. Karena akan ada yang diurus terlebih dahulu.
Dan sebenarnya, itu hanya alasan semata yang aku kedepankan agar dimaklumi atas keterlambatan.
Pokok persoalan sebenarnya, aku harus mencari biaya operasi istriku. Minimal sebesar angka di atas. Syukur-syukur kalau bisa lebih. Sebagai antisipasi ada keperluan lain, termasuk obat-obatan dan sebagainya.
Sedangkan yang ada di saku, sungguh tidak ada sama sekali. Di dompet dan rekening semuanya kosong.
Alhamdulillah, di tengah kepelikan musibah yang dihadapi, ditambah persoalan finansial yang menimpa, aku sama sekali tidak panik.
Hati masih tenang dan pikiran masih jernih. Dzikir terus aku lafalkan. Satu hal lagi yang menjadi penguat, firman Allah di akhir-akhir Surat al-Baqarah, bahwa;
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” [QS: Al Baqarah: 286]
Dalil ini sebagai pengokoh. Karenanya, meski saat itu kantong kosong dan belum ada titik terang penyelesaian persoalan, seakan ada bisikan yang memberikan kekuatan;
“Allah pasti akan membantu saya dalam mengetaskan persoalanya ini.”
“Tinggal saya harus bergerak untuk menjemputnya.”
Maka di tengah kesendirian itu, aku mulai memutar otak untuk mendapatkan jalan keluar.
Teringatlah satu teman di Jakarta yang bekerja di salah satu instansi yang menyalurkan bantuan-bantuan.
Aku hubungi dia, dan sampaikan persoalan yang tengah kuhadapi. “Ya sudah mas, kamu siapkan surat permohonan, kirim segera ke saya. Insya Allah akan saya bantu tembuskan ke atasan,” jawabnya.
Al-Hamdulillah….
Teringat lagi salah satu sahabat senior di Surabaya. Ia bekerja di instansi yang berbeda tapi memiliki salah satu program serupa; memberikan bantuan kepada yang membutuh.
Aku hubungi dia dan minta bantuan. Al-Hamdulillah juga siap mengulurkan tangan.
Sudah dua instansi yang aku hubungi. Adapun jumlah nominal yang akan cair, sama sekali tidak tahu.
Akhirnya dengan bermodal jaminan akan dibantu oleh dua instansi inilah, aku nekatkan diri untuk menghadap pimpinan tempat aku beraktivitas guna meminjam uang.
Sejatinya, aku sendiri ragu untuk melakukan itu. Karena tahu, uang yang dibutuhkan relatif cukup besar, sedangkan pemasukan dari instansi itu pasang surut. Bahkan sering surutnya.
Beberapa kali laporan bulannya mengalami minus. Tapi untuk sementata tidak ada pikihan lain untuk mendapatkan uang tunai hari itu juga.
Guna memaksimalkan ikhtiar, aku tekatkan juga berangkat. Jam masuk kantor sudah tiba. Maka sesampainya di sana, aku langsung menghadap bagian keuangan.
Aku sampaikan musibah yang tengah kualami, termasuk hajat yang tengah kubutuhkan. Tidak lupa juga jaminanku dari bantuan instansi yang telah dihubungi, dan gaji bulan depan.
Yang aku minta waktu itu tujuh juta. “Aduh mas, kamu terlambat. Saya kemarin baru saja transfer ke saudara ‘Fulan’ untuk keperluan A…B…C,” terangnya.
Duugggg…..
Mendengar kabar itu sejatinya hati dirundung kesedihan. Tapi tetap berusaha tegar. Kupaksakan untuk tetap tersenyum meskipun terasa susah.
“Ya sudah, nggak apa-apa, pak” jawabku dengan nada berat.
Di tengah kecatut-marutan pikiran mencari alternatif lain mendapatkan uang secepat-nya, secara tetiba bapak bagian keuangan itu ‘menghembuskan sedikit angin segar.’
Katanya, sebenarnya di tangannya masih ada uang cadangan. Untuk nilai tujuh juta itu cukup. Tapi ia tidak berani untuk mengeluarkanya. Khawatir ada keperluan kantor yang mendesak.
Sebagai solusinya, ia meminta aku menghadap pimpinan. Bila pimpinan mengizinkan, maka ia akan mengeluarkannya.
Maka bersegeralah aku menemui pimpinan. Letak kantornya ada di sebelah bagian keuangan. Setelah berucap salam dan mengutarakan keperluan, ada respon positif, meski belum kejelasan.
“Begini saja. Kembali saja ke bagian keuangan. Tanyakan, bila hak-hak kepegawaian telah ditunaikan, serta cadangan masih cukup memenuhi kebutuhan kantor, ya silakan dipakai,” jawabnya.
Maka sejurus kemudian,aku kembali ke ruang semula, untuk menanyaka seperti yang diperintahkan.
“Kalau begitu kata pimpinan, insya Allah semuanya aman. Hak-hak pegawai sudah diberikan.”
Al-hamdulillah, akhirnya Allah pun memberi jalan keluar dari persoalan yang aku hadapi.
Aku bisa pergi ke rumah sakit untuk menjenguk istri, sekaligus dengan biaya operasinya.
Sesampainya di rumah sakit, kudapati istri telah berada di ruang perawatan. Operasi telah selesai dilakukan dan berjalan lancar.
Setelah bersalaman dan menanyakan kondisinya, aku pun diantar oleh saudara ke ruang bayi. Dari balik kaca aku melihat bayi perempuan manis tengah menggerak-gerakkan badannya.
Rasa bahagia dan haru menyatu bercampraduk di hati. Tidak lama setelah itu, karena belum diperbolehkan untuk masuk ke ruangan bayi, aku pergi kebagian kasir untuk melunasi pembiayaan operasi.
Akhirnya urusan administrasi pun selesai. Di saku masih tersisa beberapa juta. Karena masih proses perawatan pasca operasi, istri harus tetap minap di rumah sakit sampai 3 harian.
Uang di saku itulah yang digunakan untuk kebutuhan. Akhirnya istri pun diperbolehkan pulang. Tapi harus menjalani rawat jalan. Seminggu sekali harus melakukan ceck up ke rumah sakit.
Dari peristiwa yang kualami ini, semakin meyakinkanku, bahwa Allah benar-benar akan membantu hamba-Nya, selagi hambanya itu ridha dan mau berusaha semaksimal mungkin mengetaskan persoalan yang dihadapi.
Pelajaran lainnya, Allah tudak pernah dholim terhadap hamba-Nya. Setiap ujian yang menimpa, itu sudah sesuai kadar yang ditentukan.
Doaku, semoga Allah senantiasa menganugerahi keluarga kami, dan menjadikan anak keturunan kami (dan pembaca sekalian) sholih/ah, senantiasa taat kepada Allah dan Rasul-Nya.*/Sebagaimana yang dikisahkan oleh Abu Kamila, Gresik, kepada Khairul Hibri