Di depan gerbang utama Terminal Bekasi, sore tanggal 13 Agustus 2016 kami bertemu seorang anak remaja. Wajahnya hitam berdebu, berhias sebilah codet di dahi kirinya, seperti akibat disayat.
Jarak kami hanya tiga hasta. Aku dan dia terjebak diantara dua mini bus yang tengah diparkir.
“Heh, bang! Sini, beri lima ribu! ujarnya setengah berbisik. Namun dingin. Sorot matanya menikam.
Dia makin mendekat, “Heh! Uang!” gertaknya lagi. “Pergi! Ku tumbuk kau!” balas ku sembari menatap balik matanya. Dia pun bersingut pergi.
“Ah, ini bukan soal takut,” hati ku menghibur jantung yang tiba-tiba berdegub lebih kencang dari biasanya. Agaknya aku hanya kaget, setelah sekian lama tidak berjumpa dengan hal semacam ini.
Jalannya masih bergoyang. Kakinya mungil sekali, mukanya bulat dibalut rambut tipis disisir poni. Anak itu menangis. Membawa sepelastik teh merajuk pada ibunya.
“Nangis mulu! Ibu buang, nih!” sang ibu menyambutnya.
Tangis dia makin menjadi. Tidak insaf dan melunakan suaranya, sang ibu malah makin meninggi, bahkan memaki anak itu, di depan ku. Ku taksir umurnya belum genap tiga tahun.
Kejadian itu terjadi hanya berselang beberapa langkah dari tempat ku bertemu remaja bercodet tadi. Saat membeli sebotol minuman di kedai milik si ibu. Beberapa detik aku terpatung di depan etalase. Selembar uang lima ribu rupiah batal ku bayarkan. Menunggu sang ibu selesai memaki maki anaknya sendiri di tengah keramaian.
“Ini, Bu uangnya..” ucapku pelan. Khawatir menyinggung. Dia menoleh sekilas, mengambil uangnya, lantas melanjutkan berteriak sumpah serapah.
Tentang anak berponi itu. Lelah pikir mu membuat simulasi akan nasibnya. Adakah dia disumpahi begitu hari itu saja, atau demikian adanya setiap harinya? Bagaimama jiwanya bila selalu dihantam kata-kata semacam itu. Betapa kasihan. Sebuah suara dari sudut hatiku malah sempat berteriak mencaci si ibu.
Ah, Allah.. Maafkan hamba telah memaki hamba Mu. Insafkan beliau dan kami semua.
Betapa hati ini mudah membenci. Sukar mencinta. Gampang menyetempel cap jahat. Susah memberi hadiah.
Tidak kah sedari kecil hingga remaja aku mendapat nasib yang jauh lebih baik dari kedua anak dan remaja itu? Lingkungan pesantren, tempat aku menghabiskan masa remaja jauh dari kehidupan keras macam terminal. Para guru pun selalu berkata baik, padahal aku bukan anak kandungnya. Sempat kah hati ini berayukur, dan lisan bertutur terimakasih?
Para Pemupuk Jiwa
Suatu pagi di tahun 2002. Kala itu aku masih duduk di bangku kelas IV Salafiyah Ula (Setingkat MI). Ustadz Sumarji memanggil ku, untuk maju memperkenalkan diri di depan kawan-kawan.
“Subhanallah. Kalau begini kan, jadi ganteng!” sapanya sembari menepuk pundak ku. Sebelumnya beliau merapihkan kopiah, baju Muslim dan celana yang ku kenakan. Semenjak hari itu, sampai hari ini aku bangga setiap kali mengenakan pakean Muslim. Merasa ganteng!
Dua belas tahun beliau memupuk jiwa kami. Berganti-gantian setiap waktunya dengam Ustadz lain. Betapa santun, sopan, tulus mencinta, hingga cuplikan itu abadi di benak ku. Tak lekang disapu waktu. Tak terhitung Kalimah Tayyibah yang mengalir dari lisan mereka, demi membasuh jiwa-jiwa kami. Menyempurnakannya.
Guru..
Tentang kalian, pepatah arab bersenandung..
أقبل النفس واستكمل فضائلها فإنك با الروح لا با الجسم إنسان
(Temuilah diri dan sempurnakan budinya).
Karena engkau menjadi manusia dengan jiwa, bukan badan mu..
Setip kali mentari menyapa bumi, kalian menyapa jiwa kami dengan senyuman.
Setiap hari kalian memabasuhnya, dari debu-debu akhir zaman.
Kalian datangi jiwa kami. Kalian sempurnakan budinya. Berjuang tiada pamrih, demi jadikan kami manusia..
Terimakasih, Guru..
Telah menjadi apa yang disebut oleh Anis Matta dengan, “Orang-orang biasa yang melakukan kerja-kerja besar,” dalam bukunya, Mencari Pahlawan Indonesia.
Guru..
Kini murid mu yang nakal ini begitu lancang mengikuti jejak mu. Menjadi guru. Engkaulah tauladan. Inspirasi dalam menjadi.
Mohon ampun bila daku tidak berbudi, sebagai santri yang terlampau berani menerima panggilan “Guru,” dari murid-murid ku.
Izinkan daku berucap layaknya Buya Hamka kepada M. Natsir,
Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu,
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi,
Ini berjuta kawan sepaham,
Hidup dan mati bersama-sama,
Untuk menuntut Ridha Ilahi,
Dan aku pun masukkan,
Dalam daftarmu……!*/M Rizqi Utama