KATA orang, “Masa anak-anak adalah masa bermain”. Ungkapan ini sudah jamak diketahui. Dan semua memafhumi; bahwa usia anak-anak adalah usia beriang-bergembira, karena waktu yang ada digunakan untuk bermain dan bergembira dengan anak-anak sebaya.
Namun tidak demikian yang kualami. Boleh dibilang, masa anak-anakku justru kulalui dengan tindakan-tindakan kriminalitas.
Tumbuh kembang di lingkungan yang akrab dengan aksi kekerasan, tawuran dan kriminalitas, telah menyeretku ke dalam kubangan serupa. Tidak main-main tingkat kejahatan yang pernah kulakukan, bukan lagi sekedar tawuran, mengedar sabu-sabu juga pernah kujalani.
Pernah suatu hari; aku bersama komplotan yang umur mereka jauh lebih tua dariku yang baru duduk di bangku kelas enam Sekolah Dasar (SD) melakukan transaksi barang haram jenis sabu-sabu.
Di luar dugaan, ternyata aksi kami ini terendus oleh aparat keamanan. Singkat cerita, tertangkap basahlah kami semua, sehingga digiring ke kantor polisi.
Meski demikian parah pengalaman pahit yang pernah kuaalami, semua itu sama sekali tidak membuatku jera. Terhitung, lebih dari empat kali aku harus keluar-masuk bui untuk mempertanggungjawabkan kriminalitas yang kulakukan.
Ada kejadian lain yang tidak kalah parah, bahkan nyaris merenggut nyawa. Suatu hari aku terlibat aksi tawuran antar pemuda. Kericuhan itu memicu kemarah warga sekitar sehingga mereka bersatu padu menghakimi para pembuat onar.
Akupun tak lepas dari amukan mereka. Beruntung, aku yang memiliki hobi lari, mampu meloloskan diri dari masa yang sudah sangat emosi/marah/jengkel dengan ulah pemuda yang gemar tawuran.
Ancaman Ayah
Sejatinya bukan sekali dua kali ayah berusaha menasehatiku agar merubah sikap; baik itu dengan jalur lemah lembut maupun keras. Akan tetapi semua tak kugubris.
Hingga tibalah suatu hari, ayah melayangkan ancaman keras sehingga menyiutkan nyaliku. Beliau yang notabene pensiunan meliter mengancam akan memasukkanku ke penjara meliter bila masih tidak ingin berubah.
“Ayah akan memasukkan kamu ke penjara meliter, kalau tetap tidak mau berubah. Biar kamu tahu, bagaimana sengsaranya dipenjara di sana,” ancam ayah waktu itu.
Saya yang memahami betul sikap tegas ayah hanya bisa tertunduk. Nyaliku langsung ciut. Dan tekat berubah semakin menguat, ketika bersilaturrahim ke rumah seorang paman, dan beliau mengingatkanku untuk berubah, karena sudah terlalu lama munyusahkan orang tua.
“Kasihan bapak ibu kamu. Sudah cukup kamu menyusahkan mereka. Buatlah mereka bahagia,” nasihatnya yang membuat hati tersentuh.
Dan tekat itu semakin membaja, ketika suatu sore aku harus mengantar adik belajar mengaji di salah satu masjid besar di tempat kami berdomisili.
Sesampainya di sana, sayup-sayup aku mendengar lantunan ayat suci al-Qur’an. Ternyata yang membaca adalah guru ngaji adikku. Bacaan itu benar-benar mampu membuat gemuruh di hati. Aku terpesona dengan keindahan bacaan itu. Entah mengapa ada ketenangan yang kurasa ketika menyimak lantunan ayat-ayat al-Qur’an. Padahal aku sama sekali tidak mengerti arti dari ayat-ayat itu.
Singkat cerita, selepas shalat Maghrib, kuberanikan diri untuk menghadap sang ustadz. Kepadanya kuutarakan niat untuk belajar mengaji. Kukisahkan juga tentang kegelapan masa laluku.
Pada akhirnya, sang ustadz menunjukkanku kepada sebuah pondok pesantren yang juga menjadi tempat beliau mengabdikan diri belajar al-Qur’an. Beliau merekomendasikanku untuk masuk ke pesantren, bila memang ingin serius mengubah diri dan belajar al-Qur’an.
Sedari itu lah aku akrab dengan dunia pesantren, bahkan hingga hari ini. Selain mengabdikan diri di pesantren, saat ini alhamdulillah beberapa waktu silam, aku pun telah menyelesaikkan S2 ku di salah satu universitas Islam di Jawa Timur, mengambil bidang pendidikan.
Semoga ilmu yang kupelajari ini bisa membawa kebaikan bagi diri, keluarga, dan orang lain, tentunya, di dunia lebih-lebih di akhirat kelak. Amiin.*/Khairul Hibri, sebagaimana dikisahkan oleh Rijal (nama samaran), asal Jakarta