SIANG itu di sebuah kendaraan angkot (angkutan kota) di Jakarta, sekelompok pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) tampak masyuk mengobrol.
Sesekali terdengar tawa mereka yang cekikikan. Sepertinya ada sesuatu yang asyik yang membuat mereka hingga tertawa begitu.
Aku sendiri duduk di pojok belakang kendaraan. Awalnya aku tak peduli dengan pembicaraan mereka.
Cuma volume mereka sepertinya kian meninggi mengimbangi kehebohan cerita tersebut. Akhirnya mau tak mau kini seisi angkot itu ikut mendengar pembicaraan mereka.
Sejurus, terbetik dalam hati untuk turun lalu berganti angkutan sejurusan yang berbeda. Iya, entah kenapa aku bisa dikata termasuk makhluk yang anti dengan ucapan-ucapan seperti itu.
Masih dalam bimbang yang tak kunjung pudar, tiba-tiba seorang bapak tua menegur para pelajar itu. “Kalian ini kelas berapa, Nak?” tukas bapak itu bertanya.
Dalam hati, aku menduga bapak yang kutaksir berumuran 50 tahun ini ikut jengah dengan pembicaraan yang sejak tadi merajai seisi mobil angkutan tersebut.
Bapak itu sendiri duduk persis di hadapanku. Pastinya ia ikut mendengar hal yang sama denganku. Aku masih saja bergumam dalam diam.
“Kelas VIII,” seorang pelajar itu akhirnya buka suara untuk menjawab.
“Masih kelas VIII kok omongannya sudah cowok-cowok sejak tadi. Kalian itu siswa sekolah, belajar dulu yang benar,” ucap sang bapak menasihati.
“Apalagi adik-adik berjilbab. Seharusnya menampilkan adab sebagai seorang pelajar Muslimah,” imbuh bapak itu agi.
Diam-diam aku mengamati wajah pelajar itu satu persatu. Tampak di antara mereka menundukkan wajah.
Suara yang tadinya berisik kini hilang ditelan oleh suara mesin kendaraan yang terus membelah keramaian kota Jakarta.
Aku sendiri merasa larut dalam nasihat sang bapak tersebut. Takjub, ternyata masih ada orang yang peduli dengan generasi muda sekarang.
Bapak itu bahkan sudah menunjukkan pedulinya, meski “hanya” dengan nasihat singkat. Tak lebih dari lima menit, ingatku tadi.
Apa kabar remaja Muslim hari ini? Iya inilah pertanyaan yang layak mengemuka. Sebab setiap orang merasakan dampak yang luar biasa dengan kepesatan teknologi dan kecepatan informasi sekarang.
Semua orang terpapar dengan hal tersebut. Tak peduli tua muda, orang tua hingga anak-anak semuanya mengalami kondisi yang sama di zaman serba modern saat ini.
Lihatlah, entah siapa yang harus bertanggung jawab. Apakah orang tua di rumah, guru di sekolah, lingkungan, kawan bermain, dan sebagainya.
Di usia dini anak-anak dan remaja tersebut sudah terracuni hal yang tak semestinya. Tentu bukan untuk saling menyalahkan. Apalagi saling lempar tanggung jawab.
Jelasnya, pengalaman di atas hanyalah potret sederhana dari gambaran remaja saat ini.
Sebagian anak-anak dan remaja tak lagi malu memamerkan asap rokok hingga menutupi wajahnya di depan umum.
Beberapa di antara mereka bahkan masih mengenakan seragam sekolah.
Belum lagi sejumlah remaja yang kian berani memamerkan kemesraan atau berdua-duaan. Entah apa alasan mereka, setidaknya pemandangan itu terlihat di tempat-tempat umum.
Ironis, sebab biasanya remaja putri itu juga menutupi kepalanya dengan jilbab. Pertanda, ia seorang gadis Muslimah.
Boleh jadi di antara mereka beralasan mencari identitas diri. Atau mungkin ada yang merasa bangga dengan perbuatan tersebut.
Untuk itu, hendaknya para orang tua dan guru memberi pemahaman yang benar kepada para remaja tersebut. Apa yang dimaksud dengan kebanggaan itu dan seperti apa identitas yang mereka buru tersebut.
Sebab bangga bukanlah ketika seorang pelajar memiliki teman dekat yang bukan mahram (pacar) lalu kesana kemari berduaan dengan sepeda motor atau mobil.
Prestasi itu tak harus dinyatakan dengan sepuntung atau sebungkus rokok lalu mengisapnya dalam-dalam dengan asap yang mengepul.
Bangga dan sensasinya bukan pula diraih dengan melewatkan malam Ahad dengan hura-hura tanpa tujuan.
Ia bukan juga dicari dengan nongkrong di mall-mall apalagi di kafe-kafe hingga larut malam.
Namun prestasi remaja Muslim itu dinyatakan ketika dapat melewati masa remaja dengan perbuatan-perbuatan positif.
Menghiasinya dengan adab dan akhlak yang terpuji, serta aktivitas-aktivitas yang bermanfaat di masa depan.
Para orangtua hendaknya menyadari hal tersebut dengan memberikan contoh yang pantas ditiru oleh anak-anak dan remaja.
Mereka sejatinya butuh perhatian dan dukungan bernama teladan. Itulah pencarian identitas yang dimaksud oleh remaja di usia masih labil tersebut.
Saatnya memikir ulang untuk menyimpan kotak kaca bernama televisi di rumah. Berbagai kasus amoral dan kejahatan yang terjadi ternyata dipicu oleh tontonan melalui saluran kotak kaca tersebut.
Berilah ketegasan dan tuntunan yang benar atas setiap tindakan yang dilakukan oleh anak-anak.
Pun dengan para guru dan pendidik. Jangan pernah menyerah mengajarkan kebaikan dan memberi contoh yang terbaik.
Sebab guru adalah orang tua kedua bagi anak-anak setelah ibu-bapak kandungnya.
Ketulusan dan keikhlasan seorang guru adalah harga tak ternilai dalam mendidik para generasi muda pelanjut tersebut.
Terakhir, bagi semua kalangan, mari saling menggandeng tangan, bersatu menyelamatkan bangsa dengan cara menjaga dan memperbaiki moral anak-anak dan para remaja.
Ini adalah tanggung jawab dan amanah besar. Tak ada hal yang berat jika dipikul dan dijinjing bersama. Demi kejayaan bangsa dan agama tercinta.*/Nur Bayyinah, Mahasiswi Syariah LIPIA Jakarta