Hidayatullah.com | IBRAHIM, seorang mualaf yang mengambil Studi Ekonomi Politik Global di Jerman, dibesarkan sebagai ateis. Sedari dini, ia diajari bahwa orang-orang beragama adalah orang-orang bodoh.
Ia tumbuh dengan meyakini sains sebagai kebenaran mutlak. Bagaimanapun, ‘iman’-nya mulai goyah ketika ia berumur enam belas tahun. Semua bermula dari sebuah kelas Kimia, di mana ia mempelajari Tabel Periodik dan mulai bertanya-tanya kenapa semua unsur ini bisa terorganisir dengan baik. Apa yang mencegah mereka, dari semua hukum yang mengatur, untuk berubah dan bergeser.
Masalah selanjutnya datang dari kelas Sejarah Seni. Ia mendapati hampir semua peradaban membangun dan mewariskan situs-situs besar yang dipergunakan sebagai tempat ataupun simbol ibadah. Apakah semua manusia dari sejarah yang panjang ini bodoh, ia mulai meragukannya.
Beberapa tahun selajutnya, di masa kuliah, ia mulai mengenal Psychedelic Drugs. Ia mengonsumsi obat-obat seperti DMT dan LSD yang mempengaruhi otak dalam mengenali realita dan membuatnya seolah keluar dari tubuhnya sendiri.
Pengalaman itu merubah cara pandangnya terhadap sains. Sains hanya mengakui kebenaran yang berdasarkan pada pengalaman empiris. Sedangkan ia secara nyata telah mengalami suatu level lain dari persepsi yang berada di luar nalar. Semenjak itu, semua klaim ilmuwan akan sebuah kebenaran terasa kosong baginya.
Ibrahim kemudian mendengar tentang para biksu, yang dapat mencapai kondisi mental yang sama seperti yang ia alami tanpa memerlukan obat-obatan. Ia mulai mempertimbangkan untuk menjadi biksu dan mencoba bermeditasi. Tapi ia mendapati dirinya pergi dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainya.
Ibrahim kemudian mulai mengenal kebenaran-kebenaran agama. Dari semula tidak mempercayai satupun, ia berubah menjadi pribadi yang mempercayai semua kebenaran agama. Ternyata paham itu begitu popular di pesisir barat Amerika. Beberapa memanggilnya sebagai kepercayaan “New Age”. Ia mulai mengikuti berbagai festival New Age, dan mulai berkenalan dengan puisi-puisi Sufi.
Beberapa puisi Sufi itu membicarakan kemuliaan dan spiritualisme, tapi ada pula yang ber-referensikan Al-Qur’an dan Hadits. Tapi perkenalanya dengan Islam terhenti di situ.
Festival New Age banyak mempromosikan ajaran spiritual penduduk asli Amerika. Ia membaca dan tertarik pada fakta bahwa beberapa suku di Amerika Selatan memproduksi tetumbuhan yang merupakan bahan dasar dari DMT. Tabib mereka, atau yang biasa disebut sebagai Shaman, mengatur produksi obat dari tumbuhan tersebut.
Ibrahim pun memutuskan untuk pergi ke sana untuk mempelajarinya. Hingga kemudian, seorang teman menawarkannya untuk mendaftar program pascasarjana di Jerman dengan bidang studi Ekonomi Politik Global. Ia mendaftar, dan diterima bersamaan dengan kawannya tersebut. Maka ia berangkat ke Jerman, dengan niatan untuk bekerja di PBB ataupun di sebuah NGO setelahnya.
Sebagaimana lulusan-lulusan dari bidang tersebut pada umumnya. Di sana, ia banyak mengunjungi berbagai gereja di penjuru Eropa. Ia ingin mempelajari kenapa leluhurnya memutuskan untuk meninggalkan Eropa.
Di saat yang bersamaan, ia juga mempelajari sistem politik dan finansial internasional. Ibrahim meniliti dengan serius penyebab terjadinya perang dunia 1 dan 2. Dan ia menemukan bahwa banyak peperangan yang dapat ditelusuri jejaknya bermuasal dari para pemodal Yahudi.
Pada suatu ketika, ia mendapatkan kesempatan bicara di sebuah seminar finansial Islam. Ia menyadari satu-satunya komunitas sosial tersisa yang tidak menggunakan bunga adalah negara-negara Muslim. Dan bahwasanya, melalui penyerangan dan penjajahan-lah, negara-negara tersebut dikenalkan dengan institusi bank berbunga.
Ibrahim juga belajar mengenai zakat. Ia telah mempelajari berbagai teori ekonomi untuk melawan krisis finansial. Tetapi ia mendapati, dengan sederhana mengaplikasikan ajaran Islam mengenai zakat, semua teori yang dikembangkan para ekonom di menara gading mereka, dikalahkan.
Setelah itu, beberapa kali Ibrahim ingin memasuki masjid dan meminta diajarkan tata cara shalat. Tapi ia merasa ragu, sebab kecanduan alkohol yang telah ia alami sejak masa remaja.
Ibrahim mengidap penyakit sosial yang membuatnya tidak bisa lepas dari alkohol. Ia secara teratur, terbiasa minum hingga hilang kesadaran. Sehingga ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa alkohol.
Dalam periode itu, ia mendapatkan perasaan kuat bahwasanya memang ada sebuah hukum ilahiah, syari’at Tuhan. Ia pun berdo’a agar dapat diajarkan hukum tersebut.
Lalu suatu saat, Ibrahim merasa mendapat sebuah penglihatan dalam dirinya, di mana seorang pria berjalan mengelilingi sebuah struktur bangunan sebanyak tujuh kali dan bersujud di tanah.
Semenjak itu, Ibrahim berhasil menghentikan kebiasaan minumnya. Namun ia merasa perlu menemukan sesuatu untuk menggantikan kebiasaan yang telah mendarah-daging itu. Ia pun kembali ke Jerman untuk menyelesaikan studinya.
Penerbanganya waktu itu tepat pada hari ke-21 di bulan Ramadan. Ia membuat resolusi untuk dirinya sendiri, untuk mendatangi Masjid dan mulai berpuasa ketika matahari terbit.
Ketika ia tiba di apartemennya di Jerman. Ia mendapati dealer Yamaha terbengkalai tepat di samping apartemennya telah dibeli oleh sebuah komunitas Afghanistan dan dirubah menjadi sebuah pusat budaya Afghanistan.
Ibrahim pun mendatangi tempat tersebut dengan maksud menanyakan keberadaan masjid di sekitar tempatnya. Tak ia sangka, tempat itu memiliki sebuah Musholla di dalamnya. Ia menyampaikan pada mereka keinginanya untuk memeluk Islam. Setelah itu dengan segera, kejadian selanjutnya berlanjut.
Ia membaca syahadat di depan jamaah, melaksanakan wudhu, dan kemudian selalu berbuka puasa bersama di sembilan hari terakhir bulan Ramadan. Ia merasa seperti itulah Natal dan Thanksgiving seharusnya.
Ibrahim merasakan berkah dalam perjamuan di tengah banyak Muslim. Sebagai penutup, ia berharap kisahnya dapat bermanfaat bagi orang lain, sebagaimana ia bermanfaat bagi dirinya.*/ Fida’ Ahmad Syuhada, sumber: Muslim Convert Stories