Hidayatullah.com | ALLAH yang membolak-balikan hati manusia. Dari cinta kadang bisa menjadi benci. Pun sebaliknya, dari benci bisa berubah menjadi cinta
Melihat kebersamaan santri dalam acara buka bersama pada bulan Ramadhan sungguh membuatku bahagia. Keceriaan mereka, saling berbagi, sopan santun, dan sebagainya. Selalu terbesit rasa sesal, kenapa dahulu semasa remaja tidak aku habiskan di pesantren saja. Padahal, orangtuaku sering menawari aku untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA) di sebuah pesantren.
Semasa remaja, sungguh aku merasa risih ketika mendengar kata pesantren. Dulu, dalam pandanganku pesantren itu sangat terbelakang, tempatnya orang-orang yang bepikiran kolot.
Apalagi setelah peristiwa bom Bali, anggapanku terhadap pesantren semakin negatif. Padahal, tidak ada keluarga atau kerabatku yang ikut menjadi korban dan tidak ada hubungannya kejadian itu dengan pesantren. Namun, saat itu di pikiranku, orang yang memakai sorban, gamis, dan jenggotan itu menakutkan.
Berbeda dengan orangtuaku. Mereka memandang pesantren sebagai sebuah harapan. Pesantren bagi mereka suatu tempat yang bisa menjadikan aku anak sholeh. Mereka ingin aku menjadi penghafal al-Qur’an, mengusai ilmu agama, dan lainnya. Dari keinginan-keinginan besar tersebut, mereka ingin sekali aku masuk pesantren.
Tetapi, aku bersikukuh untuk melanjutkan pendidikan di SMA Negeri. Akhirnya mereka pun menyerah dan membiarkanku untuk menentukan pilihan sendiri. Aku habiskan masa SMA dengan pergaulan yang lebih bebas dibandingkan saat SMP. Masa di mana aku banyak menyia-nyiakan waktu.
Aku sering kumpul dan nongkrong di kafe bersama teman-teman. Bahkan, aku mulai merasakan yang namanya pacaran. Aku tak mengenal apa yang namanya mahrom. Tak jarang aku meninggalkan kewajibanku sebagai seorang Muslim seperti shalat 5 waktu. Sampai-sampai orangtua bosan untuk mengingatkanku.
Setelah tamat SMA, ternyata orangtuaku belum menyerah. Mereka tetap ingin aku masuk ke pesantren. Mereka ingin aku mendaftar di perguruan tinggi yang berada di lingkungan pesantren.
Tapi, karena pandanganku tentang pesantren belum berubah, mendorongku untuk menentang keinginan orangtua. Apalagi aku masih merasa nyaman sekolah di lembaga pendidikan umum.
Bahkan saat itu aku ingin melanjutkan ke kampus bergengsi. Karena aku bersikeras memilih bertahan, lagi-lagi orangtuaku menyerah. Aku melanjutkan ke perguruan tinggi umum.
Ternyata, kenakalanku kian menjadi-jadi. Tidak ada apa-apanya dibandingkan ketika SMP atau SMA. Aku mulai berani menentang orangtua.
Shalat 5 waktu pun bisa dihitung jari dalam seminggu. Semakin bertambah umurku, semakin tak karuan. Ibadah kian terlalaikan, apalagi beramal kebaikan.
Aku sering tidur di kos teman, jarang pulang ke rumah hingga membuat orangtuaku khawatir. Saat itu, aku tak pernah berpikir betapa durhakanya diriku.
Waktu begitu cepat berlalu. Wisuda pun telah kulewati. Aku diterima bekerja di perusahaan Semen. Kerja, kerja, dan kerja. Itu menjadi rutinitasku setamat kuliah.
Hingga tiba suatu hari di mana Allah ingin mengujiku. Mungkin ujian itu sekaligus menjadi peringatan keras bagiku.
Suatu hari pada bulan Ramadhan, aku mengalami kecelakaan. Sepeda motorku ditabrak pengendara lain, ketika aku sedang perjalanan pulang menuju rumah. Akibat kecelakaan itu, aku mengalami patah tulang di beberapa bagian tubuh. Bahkan, aku dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan pingsan.
Aku pun terbangun setelah beberapa hari tak sadarkan diri di ruang ICU. Sejak itulah, sedikit demi sedikit aku mulai menyadari apa yang kulakukan selama ini keliru. Tak urung air mataku menetes ketika menyesali dan menceritakan hal itu kepada orangtuaku.
Meskipun aku selalu menentang, mereka tetap setia menemaniku pada masa-masa koma. Berkat doa mereka dan izin Allah tentunya, aku masih menghirup udara segar hingga saat ini. Waktu itu, aku habiskan waktu bulan Ramadhan di rumah sakit, bahkan sampai beberapa hari selepas Idul Fitri.
Butuh berbulan-bulan hingga aku bisa berjalan normal. Selama itu aku hanya bisa terbaring di rumah sambil merenungi semua kenakalanku selama ini. Aku meyakini jika ujian yang Allah berikan itu tidak lain adalah kesempatan bagiku agar kembali kepada jalan kebenaran seperti mengerjakan sholat, membaca al-Qur’an, dan berbakti kepada orangtua.
Setelah sembuh total, suatu waktu Ayah mengajakku untuk sholat berjamaah di masjid sebuah pesantren. Di situ, aku merasa memperoleh ketenangan. Ada sebuah dorongan kuat dalam hati untuk kembali, dan kembali ke pesantren.
Suatu hari, sehabis Shalat Subuh di pesantren itu, aku bahagia sekali melihat santri-santri mengaji. Pemandangan itu sungguh membuat hatiku tenang. Rasa cintaku terhadap pesantren semakin bersemi. Aku semakin candu akan semua hal yang berkaitan dengan pesantren.
Dari situ aku memutuskan untuk menjadi donatur tetap. Meskipun aku sudah tak kerja lagi di perusahan semen. Aku lebih memilih usaha kecil-kecilan. Dari situ hasilnya aku sisihkan sebagian untuk membantu salah satu pesantren yang masih dalam tahap perintisan di Wajo, Sulawesi Selatan.
Setiap ada kegiatan dari pondok pesantren, aku berusaha ikut berpartisipasi untuk mensukseskannya. Aku ingin kebencianku tergantikan dengan rasa cinta. Karena, aku merasa bahagia melihat para santri bisa menghafal Qur’an dengan tenang. */Seperti dikisahkan oleh Abu Ahmad dan ditulis oleh Mahasiswa STAIL Surabaya Semester V, Muhammad Aras kepada Suara Hidayatullah