SEORANG pemuda naik ke atas mimbar pada hari terakhir bulan Ramadhan 1435 H. Ia adalah imam muda Masjid ar-Riyadh, Pondok Pesantren Hidayatullah Kampus Pusat Gunung Tembak, Balikpapan, Kalimantan Timur, Muhammad Baharun Musaddad.
Harun, sapaannya, saat itu tengah berpamitan kepada para jamaah sebelum meninggalkan Balikpapan menuju Jakarta, Ahad (27/7/2014), 29 Ramadhan 1435 H, untuk kembali ke Sudan.
Mahasiswa Universitas Internasional Afrika, Khortoum, Sudan ini, didatangkan ke Gunung Tembak untuk mengimami shalat tahajud berjamaah di ar-Riyadh selama Ramadhan 1435 H.
Sudah dua tahun ini Harun mengimami shalat tahajud selama Ramadhan di ar-Riyadh. Berdasarkan pantauan Hidayatullah.com selama itu, Harun tampil cukup ‘memanjakan’ jamaah dengan lantunan qori’-nya.
Selain berpamitan dari atas mimbar, penghafal al-Qur’an 30 juz yang sudah bersanad ini juga menyampaikan betapa pentingnya menjaga hafalan al-Qur’an. Sikap ini, katanya, tidak mudah dilakukan secara konsisten. Apalagi saat menjadi imam shalat.
“Saya mohon maaf sekali kalau saya jadi imam kebanyakan salahnya. Nggak mudah, pak, bagi saya. Karena masih ‘hijau’ mungkin hafalannya,” ujar penyabet Juara II perlombaan menghafal Al-Qur’an antar mahasiswa internasional di Sudan ini merendah.
Harun mengaku, untuk menjaga hafal al-Qur’annya, lajang kelahiran Balikpapan, 10 September 1992 ini punya spirit khusus. Di antara spiritnya adalah pesan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang dikutip Harun, yaitu bahwa menjaga al-Qur’an lebih sulit daripada menjaga unta yang diikat.
Spirit lainnya didapatkan Harun dari gurunya, Pimpinan Pondok Pesantren Daarul Huffaadz Tujutuju, Bone, Sulawesi Selatan.
“Pimpinan ‘Tujutuju’ berkata, ‘Bukan cepatnya kalian menghafal (al-Qur’an), tapi ketahanan kalian mempertahankan hafalan itu yang kalian ukur. Mungkin hari ini bisa menjaga hafalannya di pondok, tapi ketika kalian sudah keluar ke masyarakat, jangan sampai hafalan itu pergi begitu saja’,” ujar Harun menirukan pesan sang guru.
Kisah Penghafal dari Somalia
Dalam kesempatan itu, Harun bercerita tentang seorang peserta lomba menghafal al-Qur’an yang diikutinya di Sudan. Saat itu ia berkenalan dengan Muhammad Ahmad Ali, peserta asal Somalia yang lolos ke babak final. Ahmad Ali merupakan seorang doktor bidang tafsir, anak keempat dari 20 bersaudara yang semua saudaranya penghafal al-Qur’an.
Dalam percakapan dengan Harun, Ali yang mengaku sudah 12 tahun tinggal di Sudan sangat berharap bisa meraih juara. Sebab ia ingin pergi umrah sebagai salah satu hadiah pada lomba ini.
“Masya Allah, saya berharap sekali bisa umrah,” ujar Ali ditirukan Harun.
Tapi ternyata, kata Harun, saat mengikuti lomba, hafalan Ali macet-macet. Ketika berkumpul dengan Harun dkk pasca lomba, Ali pun mengungkap alasan kenapa hafalannya bisa macet.
Ali mengungkap, dia sudah 25 tahun menghafal al-Qur’an, dan selama itu selalu murojaah alias mengulang-ulang hafalan.
Lantas kenapa macet-macet dalam perlombaan?
“Itu masalahnya. Sekalipun kamu sering murojaah, tetapi ketika lemah dalam beberapa minggu maka akan melenceng (hafalannya),” ungkap Ali masih ditirukan Harun kepada jamaah ar-Riyadh.
Ali pun mengatakan, di Somalia ada kaidah tentang menghafal, yaitu, “Al-Qur’an ibarat burung terbang yang kamu tangkap. Apa yang terjadi kalau kamu buka tanganmu? Ya terbang (burungnya). Begitulah hafalan al-Qur’an.”
Harun lantas mengakhiri pamitannya dengan pesan-pesan kepada para jamaah Masjid ar-Riyadh. Ia berharap Allah tetap memberikan keistiqomahan untuk tetap menjaga hafalan al-Qur’an.
“Semoga Ramadhan memberi motivasi semoga kita lebih dekat dengan al-Qur’an,” ujarnya sebelum turun dari mimbar masjid.*