Hidayatullah.com | KALA itu kami sekeluarga menikmati liburan akhir pekan bersama di rumah. Semua duduk berkumpul, duduk tak beraturan. Ada yang duduk di dekat pintu, berbaring di tengah ruangan, ada juga yang berkumpul di dekat mama.
Diusia belia tentu saja ia bagai magnet, kami selalu berebutan berada di dekatnya. Sehingga orangtua pun berkisah akan pengamalannya semasa jadi santri.
Bapak mulai berbagi kisahnya, konon semasa santri ia termasuk santri teladan. Hafalan lumayan banyak, serta menjadi salah satu santri andalan ketika ada penugasan mengisi ceramah di masjid-masjid jama’ah. Hal ini menjadi sebab cukup seringnya beliau berkomunikasi dengan pimpinan pesantren.
Suatu ketika, bapak begitu rindu sang ibu dan kampung halaman. Maklum, selama sejak lulus SMP berada di salah satu Pondok Pesantren di Balikpapan, hingga menjelang pernikahannya, beliau tidak pernah pulang kampung. Saat bapak pimpinan menahan dan tidak mendapatkan izin ia pun merasa dunianya seakan runtuh.
“Tidak usah pulang, do’akan saja orangtuamu dari sini. Itu lebih baik daripada kau harus pulang kampong!” Bapak meniru beliau dengan logat Bugisnya.
Hati bapak pun bergemuruh dan dilema, apakah harus ta`at pada pemimpin, atau pulang dan meninggalkan semua. Rindu yang begitu memuncak terhalang perintah untuk tetap tinggal. Di tengah rasa ketidakpastian, merasa ada bisikan yang sangat kuat untuk tetap berangkat. Tekadpun menguat, disiapkanlah segala keperluannya. Baju yang hanya beberapa lembar serta beberapa keperluan lain dimasukkan ke dalam tas kecil.
“Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahiim, jika memang ini jalanku, perlihatkanlah kekuasaan-Mu padaku. Hanya Engkau tempat bergantungku, Tiada Tuhan yang patut Aku sembah selain Engkau. Engkaulah saksi kerinduan hamba kepada ibu. Namun hamba tidak ingin, kepulangan hamba ini tidak Engkau ridhoi sebab hamba tidak taat kepada pemimpin. Hamba mohon kepada-Mu,perlihatkan bukti kekuasaan-Mu kepada Hamba-Mu yang hina ini,” demikian doa yang diiringi linangan air mata.
Dengan Langkah gontai ia berjalan menuju gerbang. Kemudian duduk di bawah pohon sambil menunggu mobil angkutan menuju ke Pelabuhan. Tanpa patah semangat, hingga detik berganti menit, menit berganti jam, mobil tidak kunjung datang. Kepala mulai tidak stabil oleh serangan kantuk, akhirnya tertidur lelap.
Ia pun bermimpi bertemu ibunya. Hati nan girang, “Pucuk dicinta ulam pun tiba”, dipeluk erat sang ibu, bagai tak akan dilepasnya lagi. Diciumnya tangan sang ibu, lama. Senyum hangat yang sangat dirindukannya itu, sambil ibu mengusap-usap kepalanya. Begitu hangat dan lembutnya kasih sayang seorang ibu. Dipandanginya wajah Ibu. Rasa rindu yang tak terbendung telah menemukan alirannya, terobati.
Begitu keadaan kaget ketika terbangun dari tidur singkatnya. Sentuhan ibu dalam mimpi terasa begitu nyata. Genggaman tangannya juga masih terasa hangat. Ajaib! Rasa rindu yang tadinya begitu bergemuruh, kini telah terobati. Berangsur-angsur hatinya menjadi tenang kembali, seakan-akan ia telah mengunjungi ibu yang sangat ia cintai.
Bapak menceritakan kisahnya dengan genangan air mata di pelupuk. Kami pun ikut terbawa suasana. Tak terasa, sebagai anak sulung ikut meneteskan air mata mendengar kisahnya.
“Bagi seorang Muslim, do’a adalah senjata utama. Berdo’alah, Allah akan mendengarmu di manapun berada, apapun keadaanmu, apapun kebutuhanmu, mintalah kepada Allah, sebab hanya Dialah Sang Pemilik Segalanya. Tak ada yang mustahil jika Allah telah berkehendak.”
Nasihat yang begitu menginspirasi bagiku. Sehingga saya mengamalkannya ketika berhadapan suatu masalah. Khususnya tahun 2009, tepat di hari-hari terakhir di bangku Madrasah Aliyah, dan tidak lama lagi berganti status menjadi mahasiswi.
Saat itu kami sedang belajar Bahasa Arab bersama salah satu guru favoritku.
“Kamu akan lanjut dimana setelah lulus sekolah?” Tanya sang Guru padaku.
“Saya ingin kuliah di luar Balikpapan,” jawabku.
“Wah, bagus itu. Saya sarankan kamu kuliah di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA). Di sana bagus, gurunya orang Arab, jadi bahasanya bisa lebih bagus.” Kata beliau lagi.
Saat itu adalah pertama kalinya mendengar nama LIPIA, dan langsung jatuh cinta. Sejak itulah do’a khusus selalu kupanjatkan, semoga suatu hari bisa kuliah di sana. Tiba masa, harapan itu pupus sebab terkendala biaya. Maka kuputuskan untuk kuliah di Perguruan Tinggi, di Balikpapan.
Alhamdulillah, pertengahan 2010 Perguruan Tinggi ini membuka kesempatan bagi mahasiswi yang ingin kuliah di LIPIA untuk tugas belajar disana. Saya pun ikut tes. Betapa gembiranya hati ini. Do’a yang selama ini kupanjatkan terjawab begitu cepat. Sungguh Allah Maha mendengar do’a hamba-Nya. Segala persiapan berjalan lancar hingga keberangkatan bersama beberapa kawan untuk menuntut ilmu ke Ibu Kota. Ini menjadi salah satu pengalaman dari beberapa pengalaman. Semoga menjadi inspirasi bagi kawan-kawan semua. Aamiin. */Ummu Aidan, Pengajar di STIS Hidayatullah Balikpapan