Oleh: Alwi AlatasHidayatullah.com–Ada banyak perang besar di sepanjang sejarah umat manusia, tapi tidak semuanya dianggap sebagai perang yang menentukan (decisive battles). Hanya sebagian dari peperangan penting yang dianggap sangat menentukan dalam perjalanan sejarah. Sebuah perang dianggap sangat menentukan biasanya disebabkan perannya sebagai sebuah titik balik (turning point) yang penting bagi sejarah dan peradaban. Tentu saja hal ini berdasarkan asumsi dan analisa para ahli, karena kita tidak pernah bisa benar-benar mengetahui, apakah jika peperangan-peperangan itu memberikan hasil yang berbeda, maka suatu titik balik atau sebuah perubahan yang besar dalam sejarah tidak mungkin terjadi segera setelah itu.
Dalam sejarah Islam, ada beberapa perang yang dianggap sangat menentukan, dan beberapa di antaranya terjadi pada bulan Ramadhan. Perang Badar, sebagaimana kita tahu, merupakan salah satu perang yang sangat menentukan dan ia terjadi pada bulan Ramadhan. Pentingnya peperangan ini serta posisinya yang sangat menentukan, terabadikan di dalam doa Nabi shallallahu a’alihi wasallam di tengah berkecamuknya perang, ”Ya Allah, sekiranya kaum Muslimin dikalahkan, maka tidak ada lagi yang akan menyembah-Mu setelah hari ini.”
Ada beberapa perang menentukan lainnya yang terjadi pada bulan Ramadhan, di antaranya adalah perang yang terjadi di Ayn Jalut, Palestina, pada tahun 658H/1260M. Perang ini terjadi antara pasukan Mamluk dari Mesir dengan pasukan Mongol yang datang menyerang dari arah Suriah.
Perang Ayn Jalut sangat menentukan karena ia merupakan perang pertama, di mana pihak Mongol berhasil dikalahkan dan dihentikan laju penaklukkannya (sejak kemunculan Jenghis Khan).
Pada tahun-tahun itu, anak cucu Jenghis Khan telah memimpin proses penaklukkan besar-besaran yang telah meluluhlantakkan negeri-negeri yang ada di Asia. Satu demi satu kerajaan yang ada di Cina, Persia, Asia Tengah, dan yang lainnya, jatuh ke tangan bangsa Mongol dengan relatif mudah. Mereka yang berani melawan, dihancurkan dan dihabisi secara kejam. Di antara korban terbesar dari penaklukkan Mongol adalah negeri-negeri Muslim berikut penduduknya.
Pada tahun 1258M, Hulagu Khan memimpin pasukannya, menaklukkan Baghdad, ibukota kekhalifahan Abbasiyah, dan membunuh Khalifahnya. Dengan begitu jatuhlah pusat pemerintahan Islam serta simbol utamanya. Tidak merasa cukup dengan ini, Hulagu meneruskan invasinya ke wilayah Suriah. Satu per satu kota yang ada di wilayah ini, seperti Harran, Nisbis, dan Edessa, jatuh dan dihancurkan oleh Mongol. Dinasti Ayyubiyah yang pada masa itu mengendalikan wilayah Suriah, tidak mampu menahan laju serangan Mongol. Sisa-sisa pasukan Salib yang masih bercokol di beberapa tempat di Suriah, juga merasa ketar-ketir dengan adanya ancaman dari Timur ini.
Pada bulan Muharram 658H/1260M, pasukan Tartar Mongol mencapai kota Aleppo. Setelah mengepungnya selama beberapa hari, mereka berhasil merebutnya dan membunuh ribuan penduduk. Penguasa Bani Ayyub di Damaskus yang merasa tak mampu menghadapi kekuatan Mongol, akhirnya memilih meninggalkan Damaskus dan menyerahkan kota tersebut kepada musuh.
Setelah meraih keberhasilan ini, maka sasaran Mongol berikutnya adalah Mesir yang dipimpin oleh Sultan Qutuz dari dinasti Mamluk. Mesir, dan peradaban Islam secara umum, menghadapi situasi yang sangat genting. Musuh yang mereka hadapi sangat kuat, kejam, dan belum terkalahkan. Mesir sendiri sedang menghadapi persoalan internal yang cukup serius; pembunuhan elit dan pergantian kekuasaan, serta konflik internal yang cukup serius. Mesir juga memiliki ketegangan dengan penguasa Damaskus dan sisa-sisa pasukan Salib di Suriah, yang mereka itu bisa saja memutuskan untuk bergabung dengan tentara Mongol dan menghadapi mereka.
Di tengah suasana genting itu, Qutuz yang baru saja diangkat sebagai raja muda (viceroy) mengambil tindakan-tindakan tegas untuk menghadapi kemungkinan serangan dari Mongol. Ia menganggap Mesir hanya bisa menghadapi ancaman Mongol melalui kepemimpinan yang kuat. Maka ia menurunkan Sultan Mesir yang ketika itu masih berada di bawah umur dan mengangkat dirinya sendiri sebagai Sultan yang baru. Ia menyatakan bahwa kesultanannya hanya bersifat sementara, hingga Mongol berhasil dikalahkan. Sementara pasukan Mongol menaklukkan wilayah Suriah, Sultan Qutuz melakukan konsolidasi di Mesir dan membangun hubungan dengan penguasa Suriah.
Mongol memang menjadikan Mesir sebagai sasaran berikutnya, setelah Suriah. Mesir merupakan wilayah yang sangat strategis dan pintu menuju benua Afrika dan juga Eropa. Hulagu mengirim beberapa orang utusan kepada Mesir dengan membawa sebuah surat berisi ancaman agar Mesir menyerah. “… Kami tidak mengenal kasih sayang terhadap mereka yang menangis, tidak juga rasa simpati pada mereka yang mengeluh. Kamu mendengar bahwa kami telah menaklukkan negeri-negeri, membersihkan bumi dari kejahatan, dan membunuh kebanyakan manusia,” demikian antara lain bunyi surat yang dikirim oleh Hulagu. “Berhati-hatilah karenanya, dan jawablah dengan segera, sebelum perang berkecamuk dan sebelum ia menghanguskanmu … kami tidak mencari-cari orang (sasaran) lain selain kamu ….”
Qutuz merespons surat itu dengan menangkap para utusan Mongol, menghukum mati mereka, dan menggantung kepala-kepala mereka di Gerbang Zawila. Dengan demikian genderang perang sudah ditabuhkan dan kedua belah pihak bersiap-siap untuk saling berhadapan. Sultan Qutuz tidak ingin menunggu Mongol di negerinya. Ia menyerukan jihad dan menghimpun kepala-kepala tentara untuk bergabung dengannya dalam menghadapi Mongol. Ia dan pasukannya kemudian berangkat keluar dari Kairo menuju Salihiyya pada tanggal 5 Sha’ban 658 H (Agustus 1260M). Ia memimpin sendiri pasukannya dan mengirimkan pasukan pendahulu yang dipimpin Rukn al-Din Baybars untuk mengamat-amati pergerakan musuh.
Sementara itu, Hulagu bersama sebagian pasukannya memutuskan untuk kembali ke pusat kerajaan Mongol, setelah mendengar Great Khan baru saja meninggal dunia. Ia menyerahkan proses penaklukkan Mesir pada orang kepercayaannya, Kitbuqa, yang menganut Kristen Nestorian. Perginya Hulagu dan berkurangnya jumlah tentara Mongol menjadi keuntungan tersendiri bagi pasukan Mesir. Namun ancaman dari pasukan Mongol di bawah kepemimpinan Kitbuqa tetap tidak bisa dipandang remeh.
Pasukan Mongol berhasil mencapai Gaza yang berbatasan dengan Mesir. Tapi saat mereka melihat pasukan yang dipimpin Baybars tiba di Gaza, mereka memilih untuk meninggalkannya tanpa konfrontasi. Tak lama kemudian Pasukan Utama yang dipimpin Sultan Qutuz bergabung dengan pasukan Baybars. Mereka bergerak menyusuri wilayah pantai hingga tiba di dekat Acre yang ketika itu dikuasai oleh pasukan Salib. Sultan berhasil menjalin persekutuan dengan pasukan Salib di Acre agar yang terakhir ini tidak bergabung dengan Mongol. Lalu mereka mendapat kabar kalau Kitbuqa dan pasukannya menuju Mesir dari arah Tenggara. Maka Pasukan Mesir pun berbalik arah untuk menghadang pasukan Mongol.
Kedua pasukan kemudian berjumpa di lembah yang dikenal sebagai Ayn Jalut, tak jauh dari Nablus. Baybars dan pasukannya bergerak lebih dulu menghadapi musuh, sementara Qutuz dan pasukan lainnya menunggu di tempat tersembunyi. Baybars berhasil memancing pasukan Mongol untuk mengejar mereka sampai kemudian Qutuz dan pasukan Mesir muncul dan menyergap secara tiba-tiba. Pasukan Tartar sempat terdesak oleh serangan pasukan Mesir, tetapi mampu menghimpun kekuatan mereka kembali dan mengimbangi pasukan Islam. Pada pertempuran ini, pasukan Mamluk Mesir disebut-sebut sudah mulai menggunakan meriam tangan (midfa) untuk mengejutkan kuda-kuda lawan dan menimbulkan kekacauan dalam shaf pasukan musuh.
Puncak pertempuran terjadi pada tanggal 25 Ramadhan 658H (6 September 1260M). Sejak pagi, pasukan Mongol menyerang dengan ganas dan membuat pasukan Mesir mengalami kekacauan dan tekanan. Namun, Sultan Qutuz kemudian menyerang dengan kekuatan penuh dari arah tengah sambil memberikan semangat pada pasukannya. Pertempuran berkecamuk ,dan pada satu waktu Sultan Qutuz sendiri sempat terjatuh dan hampir terbunuh. Namun ia berhasil mendapatkan kudanya kembali dan terus memimpin peperangan. Ia berseru dan berdoa di tengah berkecamuknya perang, ”O Islam! Ya Allah, berikan hamba-Mu Qutuz kemenangan terhadap Tartar!”
Pasukan Mesir akhirnya berhasil memukul mundur pasukan Mongol dan menangkap pemimpinnya, Kitbuqa, yang kemudian dihukum mati. Sisa-sisa pasukan Tartar melarikan diri dari medan perang. Pasukan Muslim meraih kemenangan yang gemilang. Sultan Qutuz turun dari kudanya, bersujud di atas tanah, dan memuji Allah atas kemenangan itu. Pasukan Mesir di bawah pimpinan Baybars mengejar dan membunuh sisa-sisa pasukan Tartar. Sultan memasuki Damaskus pada akhir Ramadhan setelah kota itu ditinggal lari oleh tentara Tartar. Wilayah Suriah kemudian dibersihkan dari kekuatan Mongol dan kedaulatan Islam kembali ditegakkan di sana.
Hulagu dan tentaranya tak pernah berhasil membalas kekalahan pasukannya di Ayn Jalut. Dengan begitu, laju pasukan Mongol telah berhasil dihentikan untuk pertama kalinya di Ayn Jalut oleh pasukan Islam dari Mesir. Sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Abdullah Enan, “(Perang) Ayn Jalut adalah sebuah hari yang penting, tidak hanya dalam Sejarah Mesir dan Islam, tetapi juga dalam seluruh sejarah peradaban.” Karena kalau saja Mesir jatuh ke tangan Mongol, maka besar kemungkinan Afrika Utara dan setelah itu Eropa akan mengalami nasib yang sama. Wallahu a’lam.
Penulis adalah mahasiswa PhD di Universiti Islam Antarabangsa Malaysia pada bidang sejarah