Sambungan dari tulisan pertama
PETAK-petak kebun masih memamerkan kemolekannya, saat awan tipis mulai memeluk mesra punggung perbukitan. Di ufuk barat, matahari sedang bersiap. Tak lama lagi sinarnya dilumat senja.
Pemandangan indah itu terlihat dari jalur pendakian Gunung Prau. Di dataran tinggi Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah ini, saya tengah rehat sejenak.
Berhenti sesaat saat mendaki gunung adalah keniscayaan. Semua pendaki yang saya lihat, siang hingga sore, Sabtu (17/10/2015) itu, pasti begitu. Sejak mulai menjejaki Gunung Prau, sekitar pukul 15.26 WIB, sudah berkali-kali saya istirahat.
Saya mendaki bersama 11 anggota Tim Ekspedisi Baitul Maal Hidayatullah (BMH) Pusat yang terbagi beberapa rombongan. Saya kebagian rombongan kedua. Di trek Patakbanteng yang kami pilih, terdapat 3 pos, ditandai plang nama berwarna hijau.
Pos I kulalui dengan agak tertatih. Jalur setelah pos ini mengitari lereng anak Gunung Prau. Jalannya cukup sempit, mengular di antara perkebunan kentang yang dibatasi pagar bambu. Para pendaki mesti antrian melintasinya.
Pos II Canggal Walangan, baru kulewati pada pukul 16.26 WIB. Memasuki pos ini, treknya berubah. Hutan pinus menghadang. Jalannya pun lebih lebar, dengan tanah berlubang dan berundak-undak tak karuan. Di sini para pendaki bisa saling menyalip. Tapi target tim kami bukan tiba dengan cepat, melainkan dengan selamat.
Selain itu, saat naik ke gunung, sebenarnya tak perlu buru-buru apalagi berlari. Cukup melangkah dengan santai dan teratur. Jika sudah lemas, berhentilah sejenak, jangan terlalu lama. Teori-teori itu saya dapatkan dari pengamatan terhadap para pendaki lain. Meski sudah punya banyak referensi soal pendakian, namun lebih banyak referensi baru yang kudapatkan di lapangan.
Selepas rehat, badan terasa segar dan bertenaga lagi. Tapi baru beberapa langkah, kembali lemas. Saat begini, yang paling dibutuhkan adalah semangat. Begitulah tampaknya yang dirasakan setiap pendaki. Tampak mereka saling menyemangati. Saya pun turut menyemangati pendaki lain. Pun sebaliknya, mereka menyemangatiku, “Ayo, Bang!”
Rupanya, cukup banyak pendaki dari kalangan anak-anak, jauh lebih muda dariku. Tak sedikit pula dari kaum hawa, termasuk yang berjilbab. Sempat saya berpikir nyeleneh, kok ada cewek mau naik gunung?
Jelang ujung trek Pos II, ada spirit tambahan. Pada batang sebuah pohon terlihat tulisan dari spidol, “Semangat, 5 menit lagi.” Entah siapa penulisnya. Saya pun memperlihatkannya kepada sejumlah rekan setimku untuk menyemangatinya.
Pukul 17.01 WIB. Akhirnya kujumpai Pos III, namanya Cacingan, membuatku agak tergelitik. Seperti Pos II, Pos III juga tak ada penjaganya. Di sini para pendaki beristirahat sejenak sembari duduk dan minum.
Langkah demi langkah kuayun. Jelang puncak, treknya makin terjal. Di sini kudapati tiga pria pendaki yang berjalan kompak dan teratur. “Jalan lima langkah, ngasonya (berhenti) lima detik. Ini pesanan dari orangtua,” terang pemimpinnya tanpa menjelaskan lebih jauh saat kusamperi.
Trik itu sempat kupraktekkan. Memang agak nyaman jika melangkah teratur. Hingga akhirnya, setelah berjam-jam mendaki, saya pun tiba di puncak Gunung Prau sekitar pukul 17.37 WIB. Suatu kebahagiaan tak terhingga menghampiri. Segala kepenatan menguap, terbayar oleh indahnya pemandangan di sekeliling kami.
Puncak Prau berketinggian 2.565 mdpl, disebut-sebut sebagai puncak dengan pemandangan sunrise terindah se-Asia Tenggara. Dari sini tersaji indahnya Telaga Warna Dieng yang dikelilingi sawah dan pedesaan. Juga keindahan puncak gunung-gunung lain, seperti Gunung Lawu, Gunung Merbabu, Gunung Merapi, dan Gunung Sumbing. Masya Allah!
Begitu semua anggota Tim Ekspedisi BMH sudah tiba di puncak, kami segera memasang tenda-tenda. Lanjut masak, santap malam, dan shalat Maghrib jamak Isya.
Suhu puncak sangat dingin. Tanganku selalu bergetar saat memegang sesuatu. Karena tak sanggup menyentuh air, terpaksa bertayammum saja untuk shalat. Syukurnya, jaket tebal mampu menghangatkan tubuhku.
Malam itu, kami dihampiri seorang pendaki dari tenda sebelah. Sofyan, pria 40 tahun asal Tegal itu, mengaku sudah berpengalaman mendaki. Bermula saat masih SMA. Beberapa bulan sebelum ke Prau, ia mendaki Gunung Gede Pangrango, Cianjur, Jawa Barat. Darinya kutahu bahwa trek Patakbanteng, meski tergolong pendek tapi paling ekstrem dan terjal dibanding trek lain ke Prau.
Baginya, selain olahraga, mendaki adalah ajang mengikis kesombongan dan mentadabburi ciptaan Allah. “Saat di puncak, kita akan merasa bahwa kita tak pantas untuk sombong,” ujarnya. Dalam pendakiannya ke Prau, ia mengajak anaknya, kelas 4 SD, untuk menanamkan padanya akan hakikat mendaki.
Ia mengaku, istrinya sempat tak suka ia naik gunung. Tapi ia bilang, “Daripada saya main perempuan lebih baik saya main ke gunung.” Sebelum kami terlelap bersama sleeping bag masing-masing, kurenungi nasihat Sofyan.
Untuk Palestina
Esoknya, Ahad (18/10/2015), tepat 5 Muharram 1437 H. Usai shalat Shubuh berjamaah, kami menyambut keindahan sunrise. Lagi-lagi hanya kepada Allah kami memuji. Detik-detik terbitnya mentari tak luput dari bidikan kamera para pendaki.
Ada tradisi unik pendaki di puncak, yaitu menulis salam atau doa di atas kertas untuk yang dicintainya. Kertas itu difoto dengan latar belakang pemandangan, dan biasanya dikirim ke media sosial. Entah dari mana asal tradisi ini.
Seorang sobat pernah mengirim salam untukku dari Puncak Gunung Cikuray, Garut, Jawa Barat. Saat melihat foto kirimannya, saya senang banget. Mungkin itu cara pendaki membahagiakan orang yang ia cintai.
Atas dasar itu, saya menuliskan pesan cinta untuk keluarga di kampung halaman, Balikpapan, Kalimantan Timur. Juga buat kawan-kawan di Jakarta. Tapi ada yang lebih penting kurasa. Bekerjasama dengan Syukur Sudani Hulu, staf BMH, saya menulis sebait doa berikut:
“Untuk kalian umat Islam dan para Mujahidin di Palestina, Suriah, Yaman, serta seluruh dunia. Doa dan dukungan kami selalu menyertai kalian. Salam perjuangan dari Tim BMH dan Hidayatullah media. (Munas IV Hidayatullah).”
Melengkapi kampanye itu, saya mengenakan ikat kepala “Save Gaza” dan baju kaos berbentuk bendera Palestina. Hingga kami turun dari gunung, atribut itu tetap melekat di badan. Berharap kampanye ini mengingatkan para pendaki akan Palestina dan negara Islam lainnya. Di sisi lain, hati kecilku merasa baru segini yang bisa kami perbuat.
Dalam perjalanan turun gunung, saya melangkah cepat, kadang berlari kecil. Selain trik ini disarankan oleh Sofyan, sebuah semangat baru tertanam dalam diriku. Pendakian perdanaku memang memberi kesan mendalam. Kesan buruknya, saat turun, debunya jauh lebih banyak daripada saat naik.
Oya, dulu saya pernah bertanya-tanya, ngapaian sih capek-capek mendaki gunung? Ternyata, mendaki itu bikin ketagihan. Ibarat guyonan pengantin baru, “Lebih baik ketagihan daripada penasaran”. Ke gunung yuk!*