BRUM, brum, brum… Rentetan deru sepeda motor memecah hening dan gelapnya langit. Puluhan kendaraan roda dua itu melaju di jalan beraspal. Para pengemudinya segerombolan pria berpakaian lengan panjang dan penutup kepala. Seakan lomba balap motor liar yang ketat, mereka finish di tempat tujuan nyaris bersamaan.
Di depan ‘garis finish’, berdiri sebuah bangunan berlantai tinggi mirip panggung. Di situ telah menunggu kelompok pemotor lainnya. Mereka lalu saling sapa dan bersalam-salaman. Sebagian langsung fokus mendengarkan pengumuman. Bukan pengumuman pemenang lomba, tapi pengumuman pengisi ceramah. Para pemotor tersebut memang bukan pembalap, melainkan jamaah sebuah majelis taklim.
Subuh itu, tengah berlangsung acara Subuh Gabungan, disebut juga Subuh Keliling. Ratusan jamaah berseragam khas Muslim memenuhi lantai utama Masjid Ummul Quraa, Kalimulya, Cilodong, Depok, Jawa Barat. Sebagian besar jamaah dari masjid tersebut. Sebagian lainnya, jamaah dari masjid-masjid di sekitar Cilodong.
Sesuai namanya, Subuh Gabungan atau Subuh Keliling merupakan kegiatan shalat berjamaah dan pengajian Subuh yang dilangsungkan secara bergantian di berbagai masjid. Para pesertanya adalah jamaah masjid yang tergabung dalam Majelis Taklim Al-Fajriyah (MTAF). Seperti Subuh itu, sebagian hadirin ada yang shalat berjamaah di masjid asalnya, lalu datang ke masjid ‘tuan rumah’ untuk ikut pengajian.
Ketua MTAF KH Hanafi Effendi menjelaskan, kegiatan ini telah berlangsung sejak 12 tahun lalu. Majelis ini didirikan oleh para tokoh masyarakat pada 18 Februari 2002 di Depok. Bukan suatu kebetulan ketika tanggal tersebut bertepatan dengan hari lahir Hanafi Effendi.
“Banyak sih pendirinya. Seperti Kiai Abu Bakar Madris begitu ya, dia juga masih aktif. Jadi dari awal itu ana (saya, red) disahkan juga (sebagai) koordinatornya, tadinya itu adalah Pak Abu Bakar Madris. Ana ketua majelisnya,” jelasnya, menyebut tokoh agama setempat, saat ditemui hidayatullah.com usai acara tersebut, Ahad (20/04/2014).
12 Tahun Berkeliling Subuh
Sebuah misi mulia mendasari kehadiran MTAF, yaitu ingin merekatkan persatuan umat Islam.
“Pertama untuk meningkatkan ukhuwah Islamiyah, dari masjid ke masjid itu. Bahkan ini alhamdulillah berjalan lancar dan mendapat ridho Allah Subhanahu Wata’ala dari tahun 2002,” jelas Hanafi.
Subuh Gabungan digelar satu kali dalam sepekan, yaitu setiap hari Ahad. Khusus pada bulan Ramadhan digelar dua kali, dengan tambahan hari Rabu. Kegiatannya berlangsung sejak dimulainya shalat Subuh berjamaah hingga pukul 06.00 WIB, diakhiri ramah tamah.
Kegiatan ini, jelas Hanafi, pertama kali digelar di Masjid Baiturrahman, Kalimulya. Hingga kini, sebanyak 22 masjid dan mushalla telah bergabung. Masjid-mushalla tersebut tidak terkhusus di Depok, tapi juga di Kabupaten Bogor.
“Terdiri dari kelurahan Kalimulya, Jatimulya, Pondok Rajeg, Harapan Jaya, Baitul Faizin Pemda (Bogor) sana. Jadi bebaslah gitu, bukan hanya Depok,” jelasnya.
Tak heran jika setiap Subuh Gabungan digelar, masjid yang ditempati sebagai tuan rumah selalu dipenuhi jamaah. Begitu pula saat berlangsung di Ummul Quraa. Tidak seperti biasa, masjid ini diisi jamaah lebih banyak dari hari-hari lainnya. Shalat Subuh jadi serasa shalat Jumat.
Hanafi menambahkan, Subuh Gabungan mendapat respon positif dari masyarakat Muslim di kawasan perbatasan Depok-Bogor itu. Para penceramahnya pun merupakan dai-dai yang telah dikenal baik oleh masyarakat.
Ahad itu di Ummul Quraa, hadir sebagai penceramah KH Abdul Mujib asal Cibinong. Dalam materinya, Abdul Mujib menyampaikan pentingnya menjadikan setiap aspek kehidupan bernilai ibadah. Materi ini disimak baik-baik oleh para hadirin, mulai anak-anak, remaja, hingga orangtua. Termasuk para Muslimah yang dipisahkan dengan hijab.
Sejauh ini, menurut Hanafi, Subuh Gabungan telah memberikan pengaruh yang baik bagi masyarakat. Ukhuwah Islamiyah warga semakin terjalin. Selain itu, dengan adanya MTAF, masyarakat lebih mengenal keberadaan masjid-masjid di sekitar mereka.
“Karena yang namanya tempat ibadah itu banyak, jangan sampai di wilayah kita itu tidak tahu. Jadi kesempatan yang sangat baik di dalam kuliah Subuh ini ya seminggu sekali kita silaturahim, ketemu. Bukan hanya hari Jumat saja. Kan biasanya kalau kita itu ketemunya hari-hari besar Islam saja, gitu, ditambah dengan hari Jumat,” papar pria berkacamata dan berkumis cukup tebal ini.

Melawan Yahudi dengan Shalat Subuh
Lantas mengapa memilih waktu Subuh? Ini yang menarik. Hanafi menjelaskan, waktu Subuh memiliki keistimewaan tersendiri dibanding waktu-waktu lainnya. Bertolak dari Hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang menyebut shalat sunnat dua rakaat sebelum Subuh lebih baik dari dunia dan seisinya.
“Karena salah satunya yang namanya Subuh itu kan lebih besar pahalanya. Bahkan di saat ujiannya Subuh itu sangat berat bagi orang Muslim,” jelasnya.
Menariknya lagi, MTAF tidak membeda-bedakan asal kelompok, organisasi, maupun partai politik. Yang penting, kata Hanafi, tetap satu aqidah Islam, ahlussunnah wal jamaah.
“Subuh Gabungan Al-Fajriyah ini tidak memandang itu istilahnya –maaf– partai. Yang ditanamkan tuh aqidahnya. Tidak apa-apa itu sebagai (Ormas) Persis, apakah itu sebagai Muhammadiyah. Bahkan kita itu memberikan masukan kepada para mubaligh jangan membawa nama-nama politik,” jelas pengurus Nahdlatul Ulama (NU) bagian kerohanian Islam di Kalimulya ini.
Menyinggung soal politik, Hanafi tak ingin MTAF dimanfaatkan untuk kepentingan parpol. Jika ada penceramah dalam taklimnya yang mengarah ke situ, maka dia tak sungkan menghentikan ceramahnya.
“Kenapa? Karena politik itu (bikin. Red) khawatir. Yang penting bukan masalah politiknya, (tapi) ukhuwahnya ini,” ujarnya.
Sudah lumrah, umat Islam di Indonesia memiliki “tradisi reliji” yang berbeda-beda. Biasanya, jika beda ormas, beda pula “tradisi reliji”-nya. Hanafi mengakui, hal itu bukan persoalan. Justru dengan Subuh Gabungan, perbedaan itu bisa dikesampingkan.
Selama ini, katanya, Subuh Gabungan selalu berjalan lancar tanpa terhambat perbedaan tersebut. “Tradisi reliji” yang dimaksud seperti pembacaan doa qunut, dzikir yang dikeraskan dan sebagainya.
“Nggak mandang itu. Jadi tetap saja kita jalankan (MTAF) itu, karena kita juga dari awal sampai akhir itu kita sudah siapkan, ya seperti MC-nya, kemudian imamnya, (pembaca) shalawatnya, dan lain sebagainya. Bahkan kadang-kadang di tuan rumah itu hanya memberikan fasilitas tempat. Dari beberapa masjid dan mushalla yang tergabung di dalam kuliah Subuh al-Fajriyah ini ya sama aqidahnya,” ujarnya.
Sikap saling menghargai perbedaan-perbedaan khilafiyah itu misalnya ditunjukkan oleh tuan rumah Masjid Ummul Quraa.
Pantauan hidayatullah.com selama ini, jamaah masjid tersebut tidak membaca qunut pada rakaat kedua tiap shalat Subuh. Namun, saat menjadi tuan rumah Subuh Gabungan, mereka legowo jika imam shalat yang ditunjuk MTAF membaca qunut. Begitu pula jika jamaah masjid ini mengikuti Subuh Gabungan di masjid-masjid lainnya yang tidak atau menggunakan qunut.
Belajar dari Subuh Gabungan, jika saja sikap saling menghargai perbedaan dimiliki segenap umat Islam, perbedaan baju organisasi bukan lagi sebuah masalah. Perbedaan partai politik juga bukan hambatan untuk “berkoalisi” membangun peradaban Islam.
Seperti pesan Hanafi, “Yang penting bukan masalah politiknya, (tapi) ukhuwahnya ini. Yang penting kita satu. Menunjukkan Allah itu satu, ya udah, satu.”
Subuh Gabungan ini tampaknya sebuah embrio persatuan kaum Muslimin. Sebagaimana dikuti Dr Raghib As-Sirjani dalam buku “Misteri Shalat Subuh” dan juga buku “Keajaiban Salat Subuh” karya Dr. Imad Ali Abdus Sami Husain, di mana Yahudi mengatakan, “akut terhadap umat Islam jika mereka telah melaksanakan shalat Subuh seperti melaksanakan shalat Jum’at.”
Setidaknya, fenomena itu sudah mulai terasa dii Masjid Ummul Quraa.*