Hidayatullah.com—Ramadhan telah berlalu, namun kenangangannya masih berbekas hingga bulan Syawal ini. Seperti hal nya kebanyakan kaum Muslim di seluruh dunia, detik-detik berbuka di negeri seperti Australia selalu dinantikan oleh setiap Muslim yang menjalani puasa. Apalagi hidangan takjil berupa aneka penganan kecil dan minuman serta kurma sudah tersedia di depan mata setelah berpuasa selama kurang lebih 12 jam di musim dingin kali ini.
Makanan khas selera Nusantara yang dihidangkan oleh host acara juga menjadi daya tarik tersendiri. Kebersamaan acara buka bersama selalu menghadirkan sensasi spiritual dan kekeluargaan yang mengundang kehadiran ratusan orang memenuhi Balai Kartini KBRI Indonesia di Canberra.
Kali ini keluarga Muslim yang tergabung dalam Australian Indonesian Muslim Foundation ACT (AIMFACT) dan Australian Indonesian Family Association (AIFA) menjadi host acara buka puasa bersama yang diadakan hari sabtu (13 Agustus 2011) tersebut.
Lebih dari 300 orang dari Queenbeyan, Woden, Belconnen, City dan Tuggeranong termasuk bapak Duta Besar hadir dalam acara mingguan tersebut. Bersama keluarga mereka menghadiri buka puasa bersama, beberapa diantaranya Bule Muslim beserta keluarga Indonesia dan anak-anak mereka serta para mahasiswa kita yang sedang menempuh study di Canberra.
Rangkaian acara Ramadhan di Canberra tahun ini pun terasa lebih ceria dari tahun kemarin karena dua hal. Pertama, karena keceriaan anak-anak yang tampil dalam berbagai perlombaan dan pentas seni. Kedua, anak-anak itu tergabung sebagai santriwan/santriwati “TPA Ceria”. Kegiatan TPA Ceria yang biasanya berlokasi di bangunan Australian National University Muslim Association (ANUMA) seperti berpindah ke Balai Kartini KBRI Indonesia di Canberra pada Ramadhan tahun ini.
Anak-anak mulai umur 1 sampai 12 tahun itu sibuk dengan lomba azan, cerdas cermat keislaman, lomba puzzle dan lomba mewarnai sesuai kelompok umur serta menyanyikan lagu islami.
Antusiasme anak-anak sangat tinggi mengikuti perlombaan tersebut seperti terlihat pada perlombaan mewarnai gambar islami. Lomba puzzle menjadi tantangan tersendiri bagi anak-anak yang baru pertama kali mengikutinya seperti pada kelompok umur 2-4 tahun. Lomba azan cukup memberikan oase tersendiri di negeri yang suara azan tidak boleh diperdengarkan di tempat terbuka.
Sedangkan lomba cerdas cermat keislaman cukup menarik perhatian para orang tua dengan menyemangati anak-anak mereka berlomba. Pada akhirnya keceriaan itu dinikmati oleh semuanya, karena setiap peserta lomba mendapatkan hadiah yang menarik.
Acara dilanjutkan dengan menyantap takjil, sholat maghrib berjamaah, berbuka puasa bersama, sholat isya serta sholat tarawih berjamaah. Kultum diberikan diantara sholat Isya’ dan sholat tarawih. Penjelasan sang ustadz tentang hadist sahih Nabi SAW bahwa silaturahmi bisa menambah umur dan rejeki dalam pendekatan ilmiah sangat menarik disimak oleh para jamaah. Hasil penelitian di sebuah kota kecil di Amerika di mana komunitas Italia rata-rata berumur lebih panjang diketahui karena kegemaran bersilaturahmi antara tetangga, saling menyapa dan mengenal satu dan lainnya memberikan pembenar atas hadist Nabi diatas. Sedangkan silaturahmi akan menambah rezeki menurut penceramah tentu masuk dalam common sense setiap orang karena luasnya jaringan pertemanan akan mendatangkan banyak hal termasuk rezeki.
Penyambung Silaturahmi
Bagi masyarakat Indonesia di Canberra, acara itu juga sebentuk penyambung tali silaturahmi masyarakat yang hidup terpencar di berbagai suburb. Bagi para mahasiswa yang baru datang ke Australia untuk menempuh studi tahun ini, acara tersebut bisa sedikit mengobati kerinduan Tanah Air yang ditinggalkan dan bertemu dengan “keluarganya” yang lain.
Beberapa warga non Muslim juga nampak hadir serta turut menikmati hidangan dan acara tersebut. Acara iftaar jama’i di Canberra mirip acara budaya tanpa kehilangan substansi nilai ibadahnya.
Sebagai komunitas minoritas di Canberra, Muslim terus bergeliat dengan berbagai kegiatan keislamannya. Ibadah puasa sebagai ritual melatih keimanan juga sebagai ajang ekspresi Muslim mewujudkan rahmatan lil alamin. Muslim Canberra tersentuh dengan penderitaan yang dialami masyarakat Somalia yang kelaparan, seperti nampak dalam penggalangan dana sumbangan sesaat setelah sholat Jumat di kampus ANU beberapa waktu lalu.
Yarralumla Mosque juga mengumpulkan donasi untuk masyarakat di tanduk Afrika yang sedang mendapat musibah bencana kelaparan seperti nampak pada poster di Canberra Institute of Technology (CIT) yang penulis jumpai.
Bagi orang di negara Barat yang rasional, puasa adalah hal yang dianggap aneh dan menyiksa diri. Namun sebagai seorang Muslim, puasa berarti menghayati rasa lapar orang-orang miskin dan tidak beruntung lainnya untuk meningkatkan rasa solidaritas dan kasih sayang. Hidup di tengah-tengah masyarakat liberal Australia ternyata tak menyurutkan keinginan Muslim untuk menyemarakkan bulan suci Ramadhan dengah ibadah, silaturahmi dan membangun kebersamaan. Liberalisme ternyata tak berpengaruh banyak bagi Muslim yang mempunya nilai-nilai dan keimanan yang khas. Wallohu a’lam bissawab. *
Nico Andrianto, penulis adalah Mahasiswa Master of Policy and Governance Program, Crawford School of Economics and Government, Australian National University, Canberra, Australia