HANIFA Hanifa Hasan merasa tersentil ketika Sekolah Tinggi Ilmu Usluhuddin (STIU) Al-Hikmah, Jakarta, mengadakan seminar tentang berhijab syar’i pada bulan Februari lalu. Saat itu, sang penceramah memaparkan fakta masih adanya jilbab bongkar pasang di kalangan Muslimah.
Di kampus pakai rok atau gamis tapi ketika di rumah atau pergi ke pasar pakai celana panjang yang memperlihatkan lekuk tubuh.
Menurut mahasiswi STIU Al-Hikmah itu apa yang dipaparkan oleh pembicara seminar adalah hal yang pernah Ia lakukan. Berjilbab secara lebih sempurna, dalam arti menutup tubuh dan mencegah dari perbuatan-perbuatan kurang baginya memerlukan waktu. Hal itu terutama menyiapkan mentalnya.
Berbagai seminar dan kajian tentang terus ia kejar. Mulai dari seminar di kampus sampai seminar professional yang dihadiri ratusan perempuan. Menurutnya, rata-rata, keinginan peserta sama yakni ingin mengetahui lebih dalam seperti apa menutup aurat sesuai apa yang Islam tuntunkan.
Dari sana ia mendapatkan benang merah. Jilbab yang dikatakan sesuai dengan tuntunan Islam adalah jilbab yang tidak transparan dan terjulur menutupi dada. Selain itu tidak boleh memperlihatkan lekuk tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
“Tidak menyerupai pakaian orang kafir dan laki-laki serta bukan pakaian untuk mencari popularitas atau tabaruj,”ungkapnya kepada hidayatullah.com.
Hanifa juga mulai paham, selain Surat An-Nur ayat 31, terdapat banyak perintah Allah lainnya tentang menutup aurat secara keseluruhan. Jika mengacu pada surat Al-Ahzab ayat 59, maka terdapat perintah untuk mengulurkan jilbab keseluruh tubuh, termasuk menutupi wajah.
Akhirnya, berangsur-angsur terdapat perubahan dalam diri gadis berusia 21 tahun itu. Ia mulai mencari toko kain untuk memilih jenis kain macam apa yang nyaman digunakan sebagai kerudung.
“Kalau kita beli bahan kain sendiri, kita bebas menentukan sepanjang apa ukurannya. Hal itu yang belum bisa diakomodir oleh kerudung Paris,”ucapnya. Kerudung yang ia sebutkan tadi adalah jenis kain penutup kepala yang banyak beredar di toko-toko jilbab.
Sayangnya ketebalan jilbab jenis Paris tidak memenuhi syarat berjilbab secara syar’i.
“Sangat transparan. Malahan aku harus mendobel dua. Seringkali jadi bikin susah untuk merapihkan lipatan dua kerudung yang disatukan,”tuturnya.
Sejak menggunakan kerudung hasil kreasi sendiri, kini ia mulai terbiasa ber-abaya dengan kerudung besar menutupi tubuh.
Perhiasan Dunia
Sementara itu, Erika Suryani, Lc, seorang pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah-Dirosat Islamiyah (STID-DI) Al-Hikmah, Jakarta mengatakan tentang maksud tabarruj yang dimaksud Hanifa.
“Wanita itu bagaikan perhiasan. Untuk sebagian besar orang, perhiasan seperti emas akan disimpan di rumah. Hanya pada tempat dan acara tertentu saja perhiasan dipakai,”ujar lulusan Universitas Al-Azhar, Mesir ini.
“Didalam rumah-pun tidak sembarang tempat. Karena perhiasan merupakan barang yang berharga, maka ia disimpan di dalam kamar, di dalam laci atau brangkas.” Seperti itulah wanita diperlakukan dalam Islam. Agama ini sangat menjaga harkat dan martabat wanita, lanjutnya.
Menurut Erika, tabaruj sendiri menurutnya lebih pada niat. Perempuan yang sudah melabuhkan jilbab melewati dada dan berpakaian menutupi lekuk tubuh, masih saja bisa tabaruj. Warna dan model pakaian adalah media bagi wanita untuk tabaruj.
“Kalaupun sudah tertutup, hanya terlihat mata saja, masih bisa tabaruj dengan celak mata dan hena di tangan,”ulasnya.
Sebagian ulama, menurutnya berpendapat tentang dibolehkannya menghiasi wajah dengan berbagai warna.
“Menurut sebagian kecil ulama ketika turun surat An-Nur ayat 31 tentang menutupi tubuh kecuali yang biasa nampak daripadanya (wajah dan telapak tangan), maka ditafsirkan make-up wajah adalah hal yang diperbolehkan,”ulasnya.
Erika mengatakan, soal memakai cadar atau tidak, pada intinya adalah memaknai perintah menutup aurat itu. Asalkan syarat-syarat menutup aurat sesuai syari’ah terpenuhi, maka kewajiban sudah ditunaikan.
“Tapi bagi orang yang ingin meneladani para isteri Rasulullah dengan bercadar, maka itu lebih utama,” ulas ibu enam anak ini.
Erika sedikit berkisah tentang pengalamannya menggunakan cadar, sebelum akhirnya dilepas. Kala itu, kepulangannya ke Indonesia tahun 2005 saat terakhirnya ia bercadar. Sebelumnya, selama tiga belas tahun di Timur Tengah, ia telah bercadar. Ketika pulang, ia mendapati kondisi yang tidak memungkinkan apalagi dengan adanya stigma negatif terhadap wanita bercadar.
“Asli. Sulit sekali berdakwah ke perkantoran dengan bercadar,”ucapnya. Apalagi pada saat itu, euphoria wanita berjilbab tidak setinggi saat ini. Jangankan bercadar, wanita berjilbab dengan menampakkan wajah dan telapak tangan saja, masih dianggap ekslusif. Sampai sekarang menurutnya, stigma negatif itu masih ada.
“Penerimaan security untuk perkantoran swasta biasanya lebih ketat. Proseduralnya menyulitkan bagi wanita yang berjilbab dengan abaya atau jubah,”ungkapnya.
Dalam pengamatannya, masyarakat Indonesia telah mengalami tahapan dalam menerima jilbab.
Ia menceritakan tentang perubahan gaya anak muda dalam berjilbab dari masa ke masa. Pada tahun 80-90-an, pemakaian jilbab dilarang masuk kedalam sekolah-sekolah. Siswa yang nekat memakai akan diberi ultimatum akan dikeluarkan dari sekolah. Dan Erika mengalami periode itu.
“Umur 18 tahun saya mulai berjilbab dan umur 19 tahun saya mulai bercadar di luar sekolah,” ulas mantan siswi SMU 3 Jakarta itu.
Enam bulan sebelum Ebtanas atau ujian kelulusan, Erika mengajukan surat pengunduran diri sebagai siswa di sekolah unggulan DKI Jakarta itu. Ia diberi ultimatum oleh sekolah apakah tetap bersekolah sampai lulus atau keluar.
“Saya memilih pindah ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Jakarta. Orangtua langsung memproses kepindahan saya,” ucapnya. Hanya berselang dua bulan sejak kepindahannya, Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) dibolehkannya siswi dan guru berjilbab dilingkungan sekolah dan kampus.
“Banyak yang menyayangkan kenapa saya tidak sabar menunggu sampai SK itu turun. Tapi, siapa yang tahu akan begitu jadinya?” tanyanya.
Tapi akhirnya ia bersyukur, kepindahannya ke MAN 1 Jakarta sebagai jalannya untuk kuliah di Timur Tengah.
“Kalau tidak begitu, saya mungkin tidak akan sampai ke Mesir dan Sudan,” ucap wanita yang pernah kuliah di International University of Africa, Sudan itu.
Ia juga mengaku mengalami masa-masa diskriminasi dengan pakaian yang ia kenakan. “Bahkan ada isu tentang bom gas beracun yang dibawa para wanita bercadar dibalik jilbabnya,” kenang Erika.
Parahnya lagi, kesalahpahaman itu sampai pada kekerasan fisik pada seorang perempuan yang sedang mengandung. Kejadiannya berlangsung saat ia sedang berada di pasar.
“Padahal, wanita itu ke pasar memang betul-betul ingin belanja. Tapi karena kecurigaan orang yang awam, wanita itu sampai dipukuli dan masuk rumah sakit,”ujarnya.
Kreatif dan Tidak Eklusif
Saat ini, menurut Erika, penerimaan orang terhadap jilbab dan cadar tidak seburuk 10 tahun lalu. Di mana periode ketika jilbab dianggap sebagai pakaian ekslusif yang berusaha memisahkan diri dari pergaulan sosial.
“Sekarang pandangan itu masih ada walaupun tidak sesanter dulu. Tapi sebetulnya kesan ekslusif itu lebih pada akhlaknya,” ucap pembina 15 Majelis Taklim itu.
Untuk mencairkan kesan itu, Erika menyarankan untuk menerapkan dakwah ala Rasulullah. Beliau berdakwah dengan kelembutan. Ketika para Sahabat naik pitam saat Islam dihujat, tidak begitu dengan Rasulullah. Beliau tetap tenang dan berperangai lembut. Begitu juga dengan kita. Erika menuturkan, berdakwah memerlukan tahapan.
“Sebagai Muslimah kita harus membaur. Jangan membentengi diri sebagai pihak ekslusif, merasa lebih dari orang yang belum berjilbab. Akhlak kita juga akan dilihat oleh mereka,” ulasnya.
Menurutnya, walaupun Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia, namun tingkat pemahaman terhadap Islam masih rendah. Karena itulah diperlukan cara-cara yang lebih kreatif dalam berdakwah pada masyarakat awam.
“Misalnya, mendatangi tempat di mana mereka biasa nongkrong dan menggunakan bahasa yang dipahami oleh mereka,”ucap Erika yang pernah menjadi pembicara di sebuah mall di Jakarta.
Erika berpendapat, perbedaan fikih termasuk fikih berjilbab janganlah diperuncing. “Saat ini yang kita butuhkan adalah persatuan umat Islam untuk menghadapi musuh-musuh Islam di luar sana,” jelasnya. Erika setuju jika jilbab dijadikan pintu masuk menuju dakwah yang lebih besar lagi. Ia mencontohkan seperti Hijabers Community (HJ). Komunitas anak muda berjilbab penyuka tren mode itu memfasilitasi kegemaran perempuan mengkreasikan jilbabnya.
Bahkan, sudah dua tahun terakhir ini, Erika menjadi salah satu pembina komunitas yang didirikan oleh Dian Pelangi-Perancang Mode- itu.
“Pada anak-anak muda seperti itu, kita tidak bisa terlalu kaku dalam penyampaian dakwah. Baginya, untuk sementara, tak masalah mereka mau pakai jilbab dengan beragam gaya dan warna. Tapi, kita kasih rambu-rambu tentang kerudung yang menjulur sampai ke dada. Jika mereka masih belum bisa memakai abaya, kita bolehkan pakai celana asalkan modelnya kulot, alias celana gombrang yang sama sekali tidak memperlihatkan lekuk-tubuh. Diusahakan baju atasannya adalah baju yang sangat longgar dengan panjang melewati dengkul,” ulasnya.
Pengalaman Erika berinteraksi dengan anak muda selama ini membuktikan, tidak semua jiwa anak muda labil. Lambat laun ketertarikan mempelajari Islam semakin tinggi.
“Dari setiap jiwa yang dilihat adalah hatinya. Boleh jadi dia tidak paham syari’atnya. Kita harus berbicara dari hati ke hati,”ungkapnya. Sama seperti seorang Sales Promotion Girl (SPG). “Ketika berpromosi, pakaiannya ketat. Roknya jauh diatas betis. Tapi ketika sudah masuk waktu sholat, mereka pergi ke musholla dan mau memakai mukena. Begitu selesai sholat, mereka kembali berpakaian mini,”ulasnya.
Hal itu berarti mereka masih menganggap mukena sebagai pakaian yang hanya digunakan untuk sholat saja. “Tapi mungkin itu karena mereka tidak mengerti bahwa pakaian menutup aurat tidak hanya dipakai ketika sholat saja,”ucap Erika tandas. Pendekatan dengan dialog akan sangat berperan dalam keefektifan dakwah.
Berdakwah pada orang-orang semacam itu, memerlukan cara tersendiri. Tidak bisa terlalu frontal. Melalui jilbab syar’i, diharapkan anak muda akan lebih mudah digiring untuk peduli dengan isu-isu Islam lainnya yang lebih strategis.
Menurutnya, anak-muda semacam itu akan lari dan bahkan menjauh dari Islam jika penyampaian pesan tidak tepat. Karenya ia memahami jika banyak para Muslimah sendiri tidak punya kepekaan terhadap masalah Islam.
“Bagaimana mereka bisa aware dan care terhadap masalah Mesir, Suriah dan apalagi sekarang tentang tolak Miss World jika hal yang menjadi kewajiban saja belum mereka tunaikan,” ungkap Erika yang saat ini sedang menempuh pendidikan S2 jurusan Pemikiran Islam di Universitas Ibnu Khaldun (UIKA), Bogor itu.*