Gedung yang terletak di Jalan Bubutan VI No 2 Surabaya itu tampak seperti bangunan tua. Arsitekturnya mirip gedung Belanda. Bentuknya besar dan tinggi. Tinggi pintunya sekitar dua meter. Di sebelah kanan dan kiri ada jendela yang sama tingginya. Tepat di depan gedung berbentuk leter L yang luasnya sekitar 30 x 16 m persegi ini terdapat papan nama yang tertulis: “PCNU Surabaya.”
Gedung yang konon dibangun tahun 1909 ini memiliki nilai sejarah yang penting, terutama bagi Ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Pasalnya, sebelum digunakan sebagai kantor PCNU Surabaya, gedung tua ini menjadi kantor PBNU Pusat. Bahkan, selama lebih dari lima tahun sejak 1926 hingga akhirnya pindah ke Jakarta.
“Jadi, gedung ini memiliki nilai sejarah yang sangat penting. Terutama bagi tongggak perjalanan jamiyah NU,” tutur KH. Syaiful Chalim Ketua PCNU, Surabaya ini kepada hidayatullah.com, Selasa (8/11/2011) di ruang kantornya.
Menengok lebih jauh ke dalam gedung berlantai tiga ini terasa nyaman. Bentuknya tak seperti gedung-gedung pada umumnya. Jarak plafonya dengan lantai cukup tinggi hingga terasa sangat lapang dan luas. Menakjubkannya lagi, meski tergolong tua, tapi bangunan ini masih sangat terawat. Tak terlihat ada bagian yang retak atau cat yang pudar. Pengurusnya tampak merawatnya dengan sangat baik.
“Gedung ini memiliki amanah sejarah yang besar. Jadi, harus dijaga dan dirawat dengan baik,” ujar lelaki yang akrab disapa Gus Syaiful ini.
Di ruang tamu, terdapat sekitar delapan kursi dari kayu yang disusun melingkar. Dua meja bundar terdapat di tengah-tengahnya. Tempat ini biasanya menjadi tempat diskusi. Baik dengan para tamu maupun sesama pengurus. Di dinding dekat pintu masuk ada plakat keterangan diresmikannya gedung ini sebagai kantor NU Cabang Kotamadya Surabaya tertanggal 3 Safar 1401 atau 11 H Desember 1980 M.
Sedangkan ukuran ruangan bagian dalamnya cukup luas, seperti aula. Cocok untuk diskusi maupun pertemuan dalam jumlah besar. Ruangan itu, kata Gus Syaiful, memang sering dijadikan tempat diskusi, rapat dan koordinasi urusan internal jamiyah dan banom NU yang jumlahnya puluhan. Di dinding aula ini tampak sejumlah pendiri NU dan mantan Ketua PBNU. Poto KH. Hasim Muzadi, mantan Ketua PBNU juga ada di sana.
Uniknya, di gedung ini ada TK dan SD. Untuk TK di lantai dasar sedangkan SD di lantai dua dan tiga. Meski memiliki siswa tidak terlalu banyak karena kendala tempat, tapi pihak pengurus sengaja mempertahankannya. Hal itu tidak lain karena mengenang sejarahnya.
“Gedung ini dulu sempat ditinggal berperang. Nah, setelah kembali tib-tiba sudah ditempati China,” ujarnya.
Untuk menempat kembali tidak mudah. Apalagi bila atas nama organisasi masa besar. Solusi satu-satunya, katanya melalui jalur pendidikan. Dan, kebetulan ketika itu sudah ada TK dan SD.
“Dari situ kita bisa masuk dan menempati kembali. Karena itu, meski siswanya sedikit, tapi kita tetap mempertahankannya,” ungkapnya.
Menurut pria berbadan bongsor ini, ada 38 orang pengurus yang setiap hari dinas. Itu belum lagi ditambah pengurus dari 16 lembaga yang lainnya. Padahal, per lembaga katanya, bisa mencapai 10 orang.
“Iya, memang banyak yang ngantor di sini. Tapi kan pengurus lembaga tidak harus masuk setiap hari,” terangnya.
Selain 16 lembaga itu, imbuhnya lagi, ada sekitar 12 Badan Otonom (Banom) NU yang juga menempati kantor di gedung itu. Seperti Ansor, IPPNU, Fatayat, dan lainnya.
Sebagai Ketua PCNU yang memimpin selama dua periode 2005-2010 hingga 2010-2015 ini Gus Syaiful mengaku merasa memiliki beban amanah sejarah yang berat. Selain merawat secara fisik gedung itu, ia juga harus memajukan NU seperti yang diamanahkan para pendiri.
Lahirnya Resolusi Jihad
Menurut Gus Syaiful, selain menjadi tempat kantor PBNU Pusat pertama, gedung tua di Jalan Bubutan ini juga menjadi tempat lahirnya Resolusi Jihad NU. Dikatakannya, Resolusi Jihad itu lahir setelah rapat wakil besar perhimpunan NU seluruh Jawa dan Madura tanggal 21-22 Oktober 1945 di Surabaya.
Resolusi itu memutuskan untuk mempertahankan dan menegakkan NKRI menurut hukum Islam dari penjajah Belanda. Resolusi itu mewajibkan setiap Muslim, terutama laki-laki yang tinggal di radius 94 kilometer untuk bertempur. Bagi yang meninggal dalam keadaan tempur dihukumi mati sahid dan bagi siapapun yang berusaha memecah belah kesatuan NKRI, wajib diperangi.
“Alhamdulillah. Berkat Resolusi itu, kita bisa menggalang kekuatan umat Islam dan mengusir Belanda yang akan kembali menduduki Indonesia,” terangnya.
Padahal, ujarnya, medio September 1945 Pasukan Inggris telah mendarat di Jakarta dengan nama Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Tidak hanya itu, mereka juga sudah menduduki beberapa daerah, seperti Medan, Padang, Palembang, dan Bandung.
Dan, dari Surabaya-lah mobilisasi kekuatan perlawanan itu dibangun dengan dukungan fatwa jihad dari KH. Hasyim Asyai. Hingga, katanya, terjadilah peristiwa heroik 10 November yang diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Untuk memperingati itu, kini PCNU Surabaya mendirikan monumen Resolusi Jihad NU yang berada persis di sebelah kiri gedung tersebut. Dana pembangunan monumen itu menelan sekitar Rp 26 juta. Pada Ahad 23 Oktober 2011, monumen itu telah diresmikan dan ditandatangani oleh Rais Aam PBNU Dr KH Sahal Mahfudh dan Ketua Umum PBNU Prof Dr KH Said Agil.
“Kita ingin mengedukasi kepada umat Islam, terutma warga NU tentang sejarah yang sebenarnya,” harap Gus Syaiful.*