MENINGGALKAN sanak keluarga dan tanah air tercinta untuk menuntut ilmu adalah salah satu hal paling dramatis dalam perjalanan hidup seorang penuntut ilmu. Apalagi tanah air itu sedang dalam kondisi sulit dan membutuhkannya secara fisik dan moril.
Itulah bagian menarik dari cerita Abd el-Qadir Umar Abd el-Qadir Fayyadh, 19 tahun, seorang anak kelahiran Gaza pada makan malam kami, Sabtu (15/12/2012) itu di kantin kampus Universitas Islam Madinah (UIM). Saat itu saya ditemani dua kawan saya, Lukman Hakim dan Abdil Munzir. Bagian kedua dari tulisan ini mengajak Anda membuka mata melihat semangat Bangsa Palestina dalam menuntut ilmu di tengah kepungan maut Bangsa Yahudi yang hina.
“Anda datang sendiri atau bersama rombongan Mahasiswa Palestina?” tanya saya membuka hiwar (percakapan) perjalanan Abd el-Qadir menuju Madinah.
“Saya hanya sendiri ke sini. Sebenarnya jumlah mahasiswa Palestina yang diterima tahun ini di Madinah ada 13 orang, namun hanya ana (saya) yang berangkat,” jawab Abd el-Qadir sambil menikmati makroni kukusnya.
Masya Allah! Saya langsung membandingkan jumlah teman-teman Indonesia seangkatan saya yang diterima tahun ini, ada 112 orang. Palestina yang negara Arab dan dekat Arab Saudi hanya bisa mengutus 13 orang, itupun hanya Abd el-Qadir yang bisa tembus ke jantung Kota Nabi seorang diri.
“Ikhwah (saudara) yang lain?” Mundzir mencoba memastikan.
“Wallahu a’lam. Saya tidak bertemu mereka di Mesir kemarin, semoga mereka menyusul,” terangnya.
“Mesir? Anda pernah kesana?” tanya saya keheranan, karena dia katakan sebelumnya bahwa ia baru pertama keluar dari Jalur Gaza.
“Ya, Mesir. Ana sempat tinggal dua bulan setengah di sana. Dan di sanalah saya mengurus administrasi dan imigrasi untuk masuk ke Arab Saudi,” jawabnya meyakinkan.
“Lho, kok di Mesir, bukannya di Palestina sana mengurusnya?” tanya Lukman dengan nada heran mewakili keheranan kami.
“Wallahi, ya Akhi (Demi Allah, wahai saudaraku)! Kami tidak mempunyai bangunan kantor yang memadai dan mampu mengurus administrasi. Semuanya lumpuh, sibuk dengan kekhawatiran. Bahkan negara kami tidak mempunyai pesawat untuk perjalanan luar negeri. Alhamdulillah, Mesir adalah saudara negeri kami, ia banyak membantu kami,” jelas Abd el-Qadir.
Penjelasan teman baru kami ini mengingatkan saya akan Indonesia tercinta, negara kaya yang diliputi banyaknya fasilitas umum, baik berstandar nasional maupun internasional. Mulai dari masjid jami, bandara internasional, pelabuhan megah yang diisi kapal-kapal dagang negara asing, mall, apartemen, kampus dan taman kota. Belum lagi fasilitas-fasilitas olahraga dari stadion-stadion megah dan venue-venue pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional. Sangat kontras dengan Palestina, yang menurut cerita Abd el-Qadir, jangankan mall, gedung untuk mengurus administrasi keimigrasian saja lumpuh. Pesawat banyak, tapi pesawat tempur milik Yahudi yang bandaranya ada di Kapal Induk Amerika, di lautan luas sana.
“Lalu, dari Gaza ke Mesir naik apa? Mobil?” tanya saya.
“Ya, naik mobil menempuh kurang lebih 7 jam perjalanan, melewati pos-pos keamanan Israel. Bisa lolos satu pos saja Anda harus sujud syukur memuji Allah. Itu ajaib, karena setiap pos menyediakan peluru hangat untuk Anda. Ana juga melewati Terusan Suez, yang sebelumnya melewati ‘pulau’ Sina (Sinai) yang ada Bukit Tur Sina di dalamnya, bukit bersejarah yang Allah bercakap dengan Nabi Musa As disana,” cerita Abd el-Qadir.
“Kemudian kami berempat (tanpa ada komando) membaca bersama bagian terakhir ayat ke 164 dari surat An-Nisa: “وَكَلَّمَ اللهُ مُوْسَى تَكْلِيْمًا” sambil kami mengangkat jari telunjuk kami dengan senyuman, bak isyarat mengingatkan satu sama lain tentang ayat mulia ini,” tambahnya.
Pergi untuk Kembali
Abd el-Qadir melanjutkan ceritanya. Selama 2,5 bulan di Mesir, dia sibuk mengurus administrasi. Dia tinggal bersama kerabatnya di sana. Petugas administrasi di Mesir sempat heran, mengapa Abd el-Qadir bisa keluar dari Gaza untuk keperluan menuntut ilmu?
“Bahkan mereka sempat mengatakan bahwa ‘Tidak ada belajar di luar, tidak ada Arab Saudi, tidak ada Jami’ah Islamiyah Madinah, lebih baik Anda pulang ke Gaza!’” tutur Abd el-Qadir dengan mimik memperagakan nada bicara petugas keimigrasian Mesir.
“Ana juga sempat berkeliling Mesir, mengunjungi Universitas Al-Azhar. Sempat ada keinginan untuk membatalkan perjalanan ke Madinah dan belajar di Al-Azhar saja, berhubung pihak imigrasi tidak memberikan lampu hijau selama dua bulan itu. Tapi alhamdulillah, Allah menguatkan hati saya. Seberat apapun perjalanan menuju Kota Nabi, harus saya tempuh. Bukankah perjalanan menuju Masjid Nabawi itu disyari’atkan walaupun dengan susah payah?!” lanjutnya dengan bahasa meyakinkan.
Langsung terbersit oleh penulis akan Hadits Rasulullah SAW:
لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ؛ المَسْجِدِ الحَرَامِ، وَمَسْجِدِي هَذَا، وَالمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Tidaklah pelana unta itu dikencangkan (janganlah bersusah payah melakukan perjalanan dengan sengaja) kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawi) dan Masjidil Aqsho.”
Kemudian Abd el-Qadir Umar menggambarkan bahwa Palestina pasti membutuhkan dirinya sekarang sebagai bahan bakar perjuangan melawan Yahudi Israel. Di usia 7 tahun masa kecilnya saja, tuturnya, dia sudah keluar bersama teman-temannya dalam ‘proyek’ Intifadhah. Mengumpulkan batu-batu dan kerikil-kerikil tajam untuk orang dewasa. Tapi menuntut ilmu itu juga disyari’atkan walaupun dalam kondisi perang. Niat Abd el-Qadir keluar dari Gaza adalah menuntut ilmu, pengamalan dari firman Allah SWT:
وَمَا كَانَ المُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوْا كَافَّةً فَلَوْ لَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوْا فِي الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُم إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS At-Taubah: 122), ayat ini sempat dibaca oleh Munzir sebelum dibaca oleh Abd el-Qadir.
“Ana meminta pada Allah agar ana menjadi golongan dalam ayat ini. Menuntut ilmu di Kota Nabi adalah impian indah anak-anak kecil Palestina, mereka selalu menyebut-nyebut dalam permainan mereka; ‘Belajar… belajar… berangkat ke Makkah, belajar… belajar… berangkat ke Madinah…’ Tapi itu semua hanyalah mimpi bagi mereka. Semuanya lumpuh, semuanya sibuk membebaskan Palestina,” ujar Abd el-Qadir setelah membaca ayat tadi.
“Demi Allah ikhwah, kalau bukan karena menuntut ilmu, ana lebih memilih tinggal di Gaza. Mati di tanah kami adalah kemuliaan bagi kami, tapi cinta ana pada ilmu menahan itu. Ana melihat potensi besar dalam diri ana untuk mendalami ilmu agama, agar ana kembali nanti membimbing teman-teman di sana. Mereka juga membutuhkan ilmu-ilmu syari’at untuk mereka beribadah dengan benar. Mereka juga harus belajar, karena tidak ada manusia yang dilahirkan berilmu,” lanjutnya.*/Bersambung…
* Muhammad Dinul Haq/Kontributor hidayatullah.com di Madinah
“Selamat Datang Duta Palestina!” (Bagian 1)