TANGIS Ina Safitri pecah seketika saat Hakim Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Bali, mengetuk palu dengan keputusan bila ia resmi bercerai dan memperoleh hak perwalian atas kedua anaknya. Air mata bergulir makin deras ketika kedua anaknya erat memeluknya.
Baginya, inilah titik terang atas perjuangan selama bertahun-tahun memperjuangkan akidah dan kedua anaknya.
Hakim mengatakan alasan hak perwalian jatuh ke tangan perempuan asal Kendal, Jawa Tengah, itu karena kedua anaknya dinilai sudah tidak seagama lagi dengan sang ayah.
Menurut pertimbangan hakim, mereka (kedua anaknya, red) sudah menjadi muallaf, maka, lebih baik tinggal dengan ibunya yang juga beragama Islam.
Sementara mantan suami Ina dikenakan kewajiban memberi nafkah masing-masing anak sebesar Rp. 5 Juta.
Kenangan Berliku
Kenangan perjalanan Ina dan kedua anaknya sangat berliku. Seperti diketahui, sebelumnya, mereka sekeluarga beragama Hindu.
Sejak berpindah agama, Ina mengaku tidak mendapat ketenangan dalam menjalani ritual agama barunya. Biduk rumah tangganya dirasakan mengalami persoalan demi persoalan yang akhirnya memperkeruh hubungannya dengan suaminya.
Ina terlahir sebagai seorang Muslimah. Ia memutuskan memeluk Hindu saat menikah dengan mantan suaminya tahun 1990. Meski berpindah agama, ia merasakan selama pernikahan, suaminya juga tidak pernah mengajarinya ritual sembahyang agama Hindu.
“Saat suami bertugas di luar Jawa, malah saya dirangkul dan dibimbing oleh isteri pimpinan suami yang beragama Hindu,”tutur Ina kepada hidayatullah.com pekan lalu.
Melalui istri pimpinan suami itulah Ina dikenalkan pada nama-nama dewa dalam kepercayaan Hindu. Namun, ia selalu mengalami kesulitan berdoa dengan bahasa Sansekerta.
Meski dia telah berpindah agama, diam-dia hati Ina selalu merindukan kembali memeluk Islam. Meski suami bertugas di luar pulau Jawasejak tahun 1991, Ia dan anaknya punya kebiasaan pulang ke Kendal saat Hari Raya Idul Fitri. Sementara sang suaminya jarang ikut serta menemani pulang. Ia bahkan tetap ikut melaksanakan shalat Ied bersama dengan keluarganya di kendal.
Pertentangan keyakinan dalam diri Ina menguat saat tugas suaminya dipindah ke Bali tahun 2000. Selama tiga tahun mereka tinggal serumah dengan orangtua mantan suami Ina. Di depan keluarga besar mantan suaminya, Ina tetap pergi ke Pura. Walaupun tangannya menyembah dan memegang dupa, hati Ina terus berucap istighfar.
Selain itu, ada hal yang menarik. Setiap mengantar anaknya sekolah pada siang hari, diam-diam Ina selalu mampir ke sebuah Mushola di Kampung Jawa. Di wilayah yang banyak dihuni kaum Muslim suku Jawa di Bali ini ia selalu melakukan shalat Maghrib sambil menunggu kedua anaknya pulang.
“Saya sembunyi-sembunyi shalat. Padahal suami saya sebelum jam 5 sore sudah sampai rumah,” ungkapnya.
Ketidaktenangan hatinya membuat ia harus mengucapkan syahadat berkali khususnya setiap kali Ia berangkat dan juga bangun dari tidur. Ia terus melakukan hal itu dan berharap suatu saat bisa shalat lagi.
Awal 2004, suaminya membangun rumah pribadi. Ina memboyong serta kedua anaknya di rumah baru. Di tempat ini, Ina semakin bebas melaksanakan shalat karena rumahnya berbeda kota dengan rumah mertuanya. Apalagi karena tugas, suaminya masih tetap tinggal bersama orangtuanya. Komunikasi hanya sebatas jika anak-anak mereka sakit dan perlu dijenguk.
Setelah hampir setahun keduanya tiba pernah bertemu, rupanya akhir 2004 tiba-tiba suaminya pulang di rumah baru.
“Itulah awal mula saya ketahuan shalat. Dia datang, dia temukan mukena yang saya sembunyikan di kolong tempat tidur anak lelaki saya,” ujarnya.
Padahal mukena sutera yang dibelinya bisa dilipat sampai hanya segenggaman tangan. Melihat mukena itu suaminya naik pitam dan kembali memukuli Ina dan membakar pakaian untu shalat itu di depan matanya.
“Kamu sudah bukan isteri saya lagi karena sudah kembali masuk Islam. Berarti kita bukan suami-isteri lagi secara agama,”ucap suaminya saat itu dengan emosi tak tertahan.
Perkataan itu dimaknai Ina sebagai pernyataan talak. Namun, baru 2012 mereka resmi bercerai.
“Bagi orang Bali, kalau cerai, si perempuan hanya dikembalikan pada orangtuanya. Tidak dapat harta gono-gini dan tidak boleh bawa anak. Dan yang menang laki-laki,”jelas Ina.
Itulah mengapa sejak tahun 2004 keinginan bercerai selalu ditahannya. Ia tidak tega berpisah dengan anak-anaknya yang masih kecil. Anak pertamanya kala itu masih duduk dibangku SMP. Sedangkan anak kedua masih berusia enam tahun.
Ada sedikit keuntungan bagi Ina. Karena suaminya tak menjadi penganut agama yang baik, maka sekalipun ia tak pernah mengajari kedua anaknya agama ayahnya. Sementara ia sendiri memiliki keterbatasan tentang agama suaminya.
“Anak-anak pernah tanya, kenapa Tuhan agama Hindu banyak?” Semua pertanyaan itu dijawab Ina dengan gelengan kepala.*/bersambung.. jangan menikah beda agama..