HARI Ahad, 3 Mei 2015, rombongan pengurus Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) dari berbagai daerah di Indonesia melakukan napak tilas ke Gua Selarong, Jogjakarta.
Gua Selarong adalah gua bermuatan sejarah berlokasi di Dukuh Kembangputihan, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Provinsi DI Yogyakarta.
Gua yang terbentuk di perbukitan batu padas ini digunakan sebagai markas gerilya Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830) melawan tentara Hindia Belanda.
Di Gua Selarong inilah, Pangeran Diponegoro menjadikan sebagai tempat persembunyian dan menyusun strategi setelah rumahnya di Tegalrejo diserang dan dibakar habis oleh Belanda.
Pangeran Diponegoro yang bernama kecil Raden Mas Antawirya, dikenal seorang pahlawan sekaligus seorang ulama yang berkepribadian mulia.
Perjalanan rombongan pengurus Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) ini bukan perjalanan biasa, namun ‘perjalanan ruhani’ mengenang perjuangan jihad Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda.
Diponegoro, Keraton Khilafah Islam
Sejak perjalanan di dalam bus, peserta mendapat penjelasan secara terperinci tentang visi misi dan perjalanan jihad Pangeran Diponegoro yang begitu hebat Salim A. Fillah, seorang penulis produktif sekaligus seorang dai muda yang sangat mendalami kisah sejarah perjalanan jihad Pangeran Diponegoro dan hubungan Keraton Jogjakarta yang mengambil dari para saksis dan buku-buku sejarah.
Dengan penjelasannya yang rinci dan fasih, penulis “Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim” (2007) dan “Lapis-lapis Keberkahan” (2014) ini begitu sangat menjiwai perjuangan para mujahidin di Tanah Jawa itu.
Pangeran Diponegoro (lahir di Yogyakarta, 11 November 1785) terkenal karena memimpin Perang Jawa (Java Oorlog 1825-1830) melawan penjajah Belanda.
“Perang tersebut tercatat sebagai perang dengan korban paling besar dalam sejarah Indonesia. Pemerintahan Belanda di Jawa sampai hampir mengalami kebangkrutan karena kas pemerintah dikeluarkan sangat banyak untuk peperangan ini. Kurang lebih menghabiskan uang 20 juta gulden dan jumlah tentara Belanda yang tewas ribuan,” ujar Salim A Fillah.
Diponegoro, adalah seorang pangeran alim dari keraton Jogjakarta. Putra sulung Sultan Hamengkubuwono III, seorang raja Mataram di Yogyakarta.
Pangeran Diponegoro memiliki banyak nama dan gelar. Diantaranya, Muhammad Muthahar, Syaikh Abdurrahim, Pangeran Antawirya, Sultan Abdul Hamid.
“Lihat salah satu panggilannya adalah “Syaikh”. Menunjukkan beliau bukan hanya orang ningkrat kerajaan, tapi seorang ulama,” demikian ujar Salim A Fillah.
Mengutip beberapa bukti sejarah, Salim menceritakan, kurikulum Keraton Mataram sejak Hamengkubuwono I sampai IV menggunakan Kurikulum Islam.
Kala itu, anak-anak Keraton diwajibkan Bahasa Arab. Raja Hamengkubuwono bahkan dikenal fasih berbahasa Arab kala itu.
Ini bisa dimaklumi, sebab pada masa itu Mataran tunduk kepada Kesultanan Turki Utsmani. Raja menyatakan bagian dari Daulah Utsmaniyah. Maka tidak heran hubungannya sangat erat dan kuat.
Hubungan-hubungan yang menunjukkan jejak Turki diantaranya adalah salah satu gelar Pangeran Diponegoro adalah ‘Abdul Hamid’, di mana di Turki sultannya kala itu bernama Abdul Hamid.
Selain itu, jejak pengaruh Kekhalifahan Turki juga terlihat dari struktur militer Pangeran Diponegoro di mana salah satu Brigade Laskar Diponegoro bernama “Turkiyo”, konon mereka berasal dari Turki.
Panglima tertingginya kala itu adalah Sentot Ali Basah, yang diadaptasi dari gelar Ali Pasha bagi jenderal militer Turki.
Perubahan terjadi sejak masa Hamengkubowono V dan seterusnya. Di Keraton tidak ada lagi pelajaran Bahasa Arab. Bahkan tarian wanita yang sejak masa Hamangkubuwono I hingga IV dilarang justru, justru masuk dan menjadi pertunjukan di Keraton.
Di masa Hamengkubuwono V inilah, masa setelah Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda diasingkan ke Manado kemudian dipindah ke Makassar hingga wafat.*/A Kholili Hasib (bersambung).. ‘kemben, blankon dan Islam’